Militerisme dalam Kehidupan Demokrasi: Dari Ancaman Ruang Kebebasan Akademik Hingga Diskriminasi dalam Sistem Peradilan
Militerisme dinilai menguat dan mengancam ruang sipil, akademik, serta independensi peradilan di Indonesia
- 01 Dec 2025
- Komentar
- 102 Kali
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan bekerjasama dengan Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (SAKSI FH Unmul) dan Jurnal Prisma menggelar peluncuran Jurnal Prisma serta diskusi publik dengan tajuk “Hubungan Sipil dan Militer dalam Demokrasi: Menguatnya Militerisme dan Ancaman Kebebasan” di Aula FH Unmul pada Minggu, (28/11) lalu. Diskusi ini dibuka langsung oleh Dekan FH Unmul, Rosmini.
Perwakilan Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan, Gina Sabrina menguraikan menguatnya militerisme dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ia memaparkan kronik gejala militerisme dari monitoringnya sejak tahun 2018—2025.
Menurut Gina, ancaman terhadap kebebasan berpikir, berekspresi, dan berpendapat telah dimulai sejak 2018 ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyita buku-buku komunisme, dilanjutkan dengan masifnya penjagaan prajurit TNI di aksi demonstrasi besar sejak 2019 seperti pada Aksi Omnibus Law, Reformasi Dikorupsi, hingga kasus Affan.
Ia juga mencatat pola penjagaan dengan menerjunkan Pasukan Komando Operasi Khusus (Koopsus) saat pembahasan perubahan Undang-Undang (UU) TNI di Hotel Fairmont Jakarta dan terakhir dugaan infiltrasi demonstrasi di kasus demonstrasi Agustus 2025 lalu. Semua peristiwa menunjukkan sekuritisasi dan pendekatan koersif yang dikedepankan pemerintah dalam merespon kritik publik.
Menurut Gina, ancaman tersebut bukan hanya ada di ruang kebebasan sipil secara umum, tetapi juga di ruang akademik yang menjamin kebebasan akademik sebagai pilar utama pendidikan tinggi. Ia mencatat pelbagai peristiwa TNI masuk kampus, seperti penandatanganan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) TNI dengan sejumlah perguruan tinggi dan intervensi dalam berbagai diskusi mahasiswa saat Revisi UU TNI.
Ketika militer semakin sering mengintervensi ruang akademik, menurut Gina, teror ketakutan akan membuat civitas akademika mengurungkan pendapatnya bahkan melakukan self censorship terhadap kritik di ranah akademik.
Akademisi FISIP Unmul, Saiful Bahri mengamati pola militerisme sejak masa transisi demokrasi. Ia membandingkan kepemimpinan antara Presiden Ke-6, Susilo Bambang Yudhyono (SBY) dan Presiden Ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
SBY yang berlatarbelakang militer justru menampilkan kepemimpinan sipil dan menjaga sendi-sendi demokrasi, sementara Jokowi sebagai representasi figur sipil justru menampilkan kepemimpinan militerisme dengan membuka ruang-ruang militerisasi dalam kehidupan sipil.
Bagi Saiful, praktik militerisme dan gejala orde baru mulai kembali ditampakkan lagi di rezim hari ini. Militer mulai dalam kehidupan masyarakat sipil, bahkan dalam konteks bisnis.
Saiful memberi contoh di Kalimantan Timur (Kaltim) soal eksisnya tambang ilegal dan penguasaan lahan perkebunan sawit yang diduga kuat melibatkan para petinggi polisi dan militer, baik yang aktif maupun purnawirawan. Menurutnya, luka sejarah dan trauma masa lalu adalah hal yang tidak boleh terulang di masa depan.
Sementara itu Ketua SAKSI FH Unmul, Orin Gusta Andini menyoroti permasalahan buntunya reformasi peradilan militer. Pembedaan berdasarkan subjek hukum yang dianut hari ini menurutnya adalah diskriminasi dalam konteks sistem peradilan yang menyalahi konstitusi. Memilih peradilan bukan pada personal subjek hukumnya, tetapi harus dalam ”tindak pidananya”.
Orin mengamati ketidakpastian ini berdampak pada impunitas di mana vonis-vonis yang dijatuhkan di peradilan militer menjadi rendah dan jauh dari rasa keadilan. Pengajar FH Unmul ini memberikan perhatian serius terhadap kasus korupsi Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
Menurut Orin, diskriminasi terhadap subjek hukum hingga ditariknya kasus tersebut melalui mekanisme militer menjadi preseden buruk dan berdampak serius pada pemberantasan korupsi di Indonesia. Praktik baik di negara lain (Inggris, Jerman dan Australia) membedakan peradilan berdasarkan tindak pidana bukan subyek hukumnya.
Bagi Orin, perubahan UU Peradilan Militer merupakan kebutuhan mendesak yang harus didasarkan pada prinsip demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan independensi militer.
Masalah militerisme tersebut juga dipaparkan oleh Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra. Menurutnya, Indonesia saat ini berada di bawah bayang-bayang ancaman militerisme. Pemerintahan Prabowo Subianto tengah melakukan rekonsolidasi militerisme, yaitu elit politik sipil dan militer yang mendorong dominasi militer dalam ranah sipil.
Salah satu indikator menguatnya militerisme hari ini adalah lebih dari 133 MoU telah dibuat antara TNI dan berbagai kementerian atau lembaga negara. Keterlibatan TNI dalam urusan non-pertahanan melalui berbagai MoU tersebut tidak hanya menyalahi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, tetapi juga mengikis prinsip supremasi sipil yang menjadi dasar reformasi sektor keamanan pasca 1998.
Kondisi tersebut menghidupkan kembali pola lama di masa orde baru, di mana militer menjadi aktor serba bisa dan hadir dalam hampir semua sektor kehidupan masyarakat.
Padahal fungsi-fungsi tersebut seharusnya dijalankan oleh lembaga sipil yang memiliki mandat, kapasitas teknis, dan mekanisme pengawasan publik yang kuat. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan terjadi militerisasi kebijakan publik yang mengancam proses demokratisasi dan akuntabilitas pemerintahan sipil di Indonesia.
Selain itu, lonjakan anggaran pertahanan tahun 2025 yang mencapai Rp247,5 Triliun menjadi sinyal bahwa arah kebijakan negara tengah bergeser dari orientasi kesejahteraan rakyat menuju politik kontrol dan stabilitas keamanan.
Peningkatan alokasi untuk sektor keamanan tanpa transparansi dan kontrol publik berpotensi mempersempit ruang sipil, memperluas kewenangan aparat, dan melemahkan prinsip demokrasi konstitusional yang selama ini diperjuangkan pasca reformasi.
Press Release ini ditulis oleh Radja, mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum FH Unmul 2023.