Opini

DPR dan Pemerintah Sahkan UU Cipta Kerja: Tanda Bahaya Kemunduran Demokrasi Indonesia

Opini mengenai UU Cipta Kerja.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Detik.com

Jagat maya digemparkan dengan aksi ketok palu DPR bersama pemerintah untuk mengesahkan UU Cipta Kerja. Dikutip dari Hukum Online, sidang paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja di kompleks parlemen di Jakarta yang dihadiri sejumlah menteri seperti Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, Menkumham Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Mendagri Tito Karnavian, Menaker Ida Fauziyah, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil dan Menteri LHK Siti Nurbaya.  

Pada hari ini, ketika melihat pola kerja DPR, nampak terang kemunduran demokrasi sedang mengerogoti Indonesia sebagai suatu bangsa. Semangat reformasi sejak jatuhnya era orde baru, yaitu semangat menggeser paradigma kedaulatan rakyat dengan prinsip demokrasi representatif menuju demokrasi partisipatif telah dilumpuhkan DPR.

Dalam segi moral politik, Romo Frans Magnis Suseno merumuskan 4 butir prinsip yang harus diterapkan para pengemban amanah rakyat, yaitu kepastian hukum, tuntutan perlakuan yang sama, legitimasi demokrasi, dan tuntutan akal budi.

Melihat titik poin ini saja, ada prinsip yang dilanggar, yaitu legitimasi demokrasi dalam hal ini kedualatan rakyat. Kedaulatan rakyat dianggap sebatas mengikuti pemilihan umum, setelah memilih wakilnya, rakyat tidak dipedulikan partisipasinya. Paradigma seperti ini kalau meminjam istilah dari pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar, beliau menggunakan istilah “beli putus” sehingga setelah para wakil rakyat dipilih mereka bebas mengambil keputusan dengan melegitimasi dirinya sebagai suara rakyat. Padahal ketika kita sisir lebih jauh, keputusan wakil rakyat ini tidak berpihak pada rakyat itu sendiri dan cenderung termaktub kepentingan diri dan golongan tertentu.

Prinsip kedua yang dilanggar adalah prinsip akal budi. Ini adalah prinsip manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Sudah barang tentu para wakil rakyat di atas kursi terhormatnya adalah sosok yang berhati nurani dan berakal budi. Namun kenapa fenomena hari ini bisa terjadi, ketika sosok penyambung lidah rakyat mengkhianati prinsip akal budi yang itu adalah harga diri seorang manusia yang berbudaya. Kemudian berpaling kepada kepentingan oligarki yang mengatasnamakan investasi.

Memang ketika merujuk pendapat Soerjono Soekanto kesadaran hukum memiliki empat tingkatan: pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum. Ketika kita tarik benang merah teori ini terhadap DPR yang mengesahkan UU cipta kerja, para wakil rakyat kita ketika dianalogikan, baru duduk di kelas “memahami hukum”. Sebenarnya para wakil rakyat paham soal tindakan mereka, ada pihak yang sangat dirugikan yakni para pekerja, namun mereka tidak sanggup naik ke kelas selanjutnya. Masih mengulang di kelas yang sama, tentu itu memalukan.

Berdasarkan hal-hal di atas, kemunduran demokrasi pun tercipta. DPR dan pemerintah membutakan dan menulikan indra mereka terhadap partisipasi publik terlebih dalam kasus ini adalah para buruh yang sangat diancam hak hidupnya. Kendati demikian publik geram dan tidak akan tinggal diam, sudah pasti gong perlawanan akan di pukul untuk menegakan kedaulatan rakyat yang sudah dan sedang dikorupsi.

Ditulis oleh Stanis Deri Burin, Kepala Departemen Pustaka dan Informasi Lembaga Kajian Ilmiah Studi Hukum FH Unmul.



Kolom Komentar

Share this article