Elegi Kebebasan Mahasiswa Hukum

Elegi Kebebasan Mahasiswa Hukum

SKETSA - Dilan menjejaki belantara kampus disertai hati senang lagi tenteram. Hari itu tercatat sebagai hari bersejarah, setidaknya buat dia, karena kali pertama akan mengikuti kelas perkuliahan. Sejak lama Dilan menanti momen ini, berdiri di tempat yang tepat untuk menempuh studi di Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman.

Tapi, sekarang lupakan dulu kesan pertama mahasiswa baru (maba) yang indah-indah, baik tentang teman dan kelas baru, dosen ramah atau sambutan hangat. Awalnya Dilan berpikir akan begitu, tetapi yang terjadi justru jauh dari yang diharapkan.

Baca http://sketsaunmul.co/berita-kampus/bem-km-unmul-tolak-imbauan-bem-hukum/baca juga http://sketsaunmul.co/berita-kampus/di-mana-fakultas-dipijak-di-situlah-adart-dijunjung/baca

Oleh Sketsa, Dilan dibuat sebagai nama rekaan, guna melindungi serta menghindari adanya buntut lebih dari keterangan yang diberikan narasumber asli ini.

“Pertama kali saya masuk kuliah itu di sweeping. Dibentak iya, dimarahi iya, diteriaki iya karena enggak ikut MPMB (Masa Penyambutan Mahasiswa Baru). Kata-kata yang keluar? Aduh, kebun binatang,” kata Dilan kepada Sketsa, Rabu (7/12) sore di depan Gedung MPK, Unmul, Gunung Kelua.

Dilan merupakan satu dari 27 nama maba FH yang masuk rilis daftar hitam dari BEM Hukum. Sebab, terbukti tidak mengikuti kegiatan MPMB dan Latihan Kepemimpinan (LK) 2016. Mereka dijatuhi sanksi berupa dicabut hak untuk berorganisasi dan berkegiatan, baik di tingkat fakultas maupun universitas, sebagaimana telah diatur dalam AD/ART KM Fakultas Hukum.

Selama tiga bulan Dilan menjadi mahasiswa, total empat kali dia dan kawan-kawannya terkena sweeping. Satu kali sweeping bisa memakan waktu hingga satu jam. Kegiatan sweeping tidak jauh dari upaya para senior yang ingin memastikan 27 nama tersebut tidak bebas berorganisasi dan berkegiatan. Pada hari pertama Dilan kuliah dan di sweeping karena absen di MPMB, ia mulai bertanya-tanya tentang wewenang BEM Hukum.

“Mereka bilang, ‘Saya punya hak untuk mencabut berkas kalian sebagai mahasiswa Fakultas Hukum. MPMB ini sebagai syarat sah kalian diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum.’ Setelahnya, saya menghadap ke dekanat. Ternyata enggak ada satu hak pun bagi BEM Hukum untuk mengeluarkan mahasiswa,” ucapnya.

Di situ Dilan diberi tahu bahwa mahasiswa hanya boleh dikeluarkan oleh tiga hal dan wewenang itu sepenuhnya dimiliki oleh rektorat. Tiga hal itu ialah wisuda, drop out (DO), dan karena kemauan sendiri. Semenjak itu ancaman tersebut tidak lagi digubris Dilan.

Meski begitu, sampai sekarang Dilan masih khawatir tiap kali melihat kumpulan anak-anak BEM Hukum. Seolah-olah dia adalah buruan yang tak boleh terang-terangan muncul di moncong senjata para pemburu. Banyak di antara maba ini, kata Dilan, sebenarnya tidak setuju tiap diberi sweeping, tapi mereka terlalu takut untuk melakukan hal lain di luar itu.

“Nama saya mereka tahu, NIM saya mereka tahu, kelas saya mereka juga tahu,” ujarnya.

Tidak Ikut Dua-duanya

MPMB FH telah dilaksanakan September lalu, selama tiga hari untuk pra dan tiga hari kegiatan, disusul LK pada Oktober dan dilakukan selama dua hari. Dari dua acara besar itu, tidak satu pun Dilan ikuti. Hal itu berani ia lakukan bukan tanpa alasan.

Dua tahun sebelum Dilan diterima di FH, dia punya kakak yang lebih dulu jadi mahasiswa Hukum. Secara pengalaman, kakaknya mengetahui atmosfer kegiatan seperti apa yang ada di MPMB dan LK, kemudian secara garis besar ia sampaikan langsung kepada Dilan.

“Jadi menurut saya sendiri kebanyakan enggak ada manfaatnya bagi saya. Ini persepsi saya,” imbuhnya.

Dilan menyebut beberapa tingkah yang ada di kegiatan itu, sulit baginya dipahami dan tak jelas manfaatnya apa. Misalnya, “cium tanah air” yaitu beberapa maba diminta berjejer, tiarap, dan diperintah untuk mencium tanah. Lalu ada, “tembak bintang” di mana maba berbaring kemudian disuruh meludah ke arah langit, melawan gravitasi sembari membiarkan ludah mendarat di wajah sendiri.

Begitu juga dengan atribut yang harus dibawa saat MPMB, Dilan memilih tidak membuatnya sama sekali. Kebanyakan temannya patuh terhadap perintah senior, berkali-kali mengeluh. Sebab, untuk dapat melengkapi atribut, mereka menghabiskan biaya yang lumayan.

Penolakan Dilan terus berlanjut sampai dilaksanakannya LK. Alasannya, dia merasa tidak punya kepentingan khusus di kegiatan tersebut.

“Kalau mau masuk ke kader BEM-nya kita akan ikut LK, tapi kalau tidak kan tidak papa. Saya tidak ada minat bergabung di Fakultas Hukum. Oleh karena itu, saya enggak ikut LK,” tegasnya.

Di balik alasan politis itu, Dilan sebenarnya memiliki kendala lain. Tiap peserta LK diwajibkan untuk membayar biaya selama kegiatan sebesar Rp 100 ribu. Sedangkan saat itu Dilan dihimpit masalah ekonomi, membuat dia tidak bisa mengeluarkan uang dengan nominal sebesar itu. Menjadi bumerang selanjutnya, pasca LK panitia menolak adanya ketidakhadiran dengan alasan ekonomi. Mestinya, sejak awal Dilan sudah bilang kalau terkendala ekonomi, karena hal itu masih dapat ditoleransi.

“Karena saya sudah takut, takut dengan mereka yang sweeping marah-marah seperti itu. Ya sudah, ya saya enggak ngomong,” tukasnya.

Akhirnya setelah LK digelar, mereka yang tidak mengikuti kegiatan diberi denda oleh BEM Hukum. Dendanya berhak ditentukan oleh maba yang tidak hadir saat LK. Awal-awal ada yang memberi penawaran agar dendanya berupa pot dan segala macam, tetapi tidak disetujui BEM Hukum. Tak lama, ada yang mengajukan ide supaya dendanya membayar Rp 100 ribu per orang. Para maba dan BEM Hukum setuju dengan ide itu.

“Saya bayar 100 ribu,” kata Dilan.

Dijepit, Terhimpit, dan Berusaha Berkelit

Atas sikap yang tidak kooperatif karena tak mengikuti MPMB dan LK, BEM Hukum mencabut hak Dilan dan 26 nama lainnya untuk dilarang berorganisasi dan berkegiatan di universitas. Saat Dilan melakukan penolakan-penolakan itu, ia tidak tahu BEM Hukum memiliki kuasa besar untuk mencekiknya, bahkan hingga di luar fakultas.

Mulai dari lomba hingga seminar yang ada di lingkungan Unmul, larangan BEM Hukum terus mengikuti. Dilan sudah pernah bertemu dengan pihak akademik, meminta izin agar diperbolehkan mengikuti lomba dan organisasi di universitas. Pihak akademik membolehkan, tapi sanksi dari BEM Hukum tidak juga kendur. BEM Hukum menjadi elang dan maba-maba seperti Dilan ialah ikan yang cuma bisa sembunyi mengintip permukaan.

“Dimatikan politiknya, diminta supaya kuliah-pulang kuliah-pulang. Tapi saya tetap ikut seminar, mereka enggak tahu,” ucapnya seraya tersenyum.

Larangan BEM Hukum ini terasa menghimpit bagi Dilan. Selama ini dia menyukai organisasi dan dinamika yang ada di dalamnya. Sehinggga pencabutan hak organisasi ini merepotkan dirinya untuk memilih organisasi yang dia mau.

BEM Hukum melalui AD/ART yang dianutnya dinilai Dilan telah mengangkangi konstitusi. Tidak sesuai dengan pasal 28 UUD 1945 dan lagi menerobos asas hukum “lex superior derogat legi inferiori”. Di mana aturan lebih tinggi bisa menyampingkan aturan yang lebih rendah dan aturan yang lebih rendah patut menyesuaikan dengan aturan yang lebih tinggi.

Dilan sudah pernah datang menemui para petinggi dekanat, tetapi hingga kini seperti tidak ditindaklanjuti. “Saya sudah berusaha, tapi belum ada langkah kongkretnya,” jelas Dilan.

Jalan di depan mungkin masih sempit, kendati begitu, Dilan tetap mencari cela. Barangkali ada cara baginya untuk bisa mendapatkan kebebasan dalam berorganisasi dan berkegiatan di lingkungan kampus. Sebagaimana dia tahu, tahun depan atau kapan saja dia ditekan, tetap dia tidak mau mengikuti MPMB dan LK. (wal/jdj)