Berita Kampus

Kritis Berpendapat dalam Bayang-Bayang UU ITE dan Pembungkaman Publik

Kritis berpendapat dalam bayang-bayang pembungkaman publik.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Kompasiana

SKETSA – Senin (8/2) lalu, Presiden Joko Widodo meminta agar masyarakat dapat aktif melakukan kritik demi pelayanan publik yang lebih baik. Adapun ia menyebut jika masyarakat harus berani terbuka agar potensi maladministrasi dan penyelenggara pelayanan publik dapat meningkatkan upaya perbaikan.

Lantas, pernyataan ini jelas kontradiktif dengan kenyataan di lapangan. Seperti yang kita ketahui, mulai dari individu hingga lembaga dibungkam dan dipolisikan atas layangan kritik mereka terhadap presiden. Baik melalui peraturan karet, yang tak lain adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sampai peretasan perangkat.

Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam tempo.co, sebanyak empat belas orang dalam sepuluh peristiwa mengalami proses hukum kala mengkritik Jokowi. Lainnya, 25 orang pada empat belas peristiwa dengan objek kritik Polri disusul empat orang yang diproses karena mengkritik pemerintah daerah (Pemda).

Dilansir dari tirto.id, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat setidaknya terdapat 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh Indonesia. Tak hanya itu, mereka juga sempat mengalami peretasan pada 15 Juni 2020 sehari setelah menggelar diskusi daring berjudul Mimbar Bebas Demokrasi Melawan Oligarki Seri 1: Tanda-Tanda Otoritarianisme Pemerintah.

Bersumber dari beragam kasus pembungkaman kebebasan berpendapat inilah yang menyebabkan rendahnya persepsi publik terhadap tingkat demokratisasi di Indonesia. Berdasarkan Survei Indikator Politik, 36 persen responden menyatakan jika Indonesia kurang demokratis sedang 37 persen lainnya menyebut jika keadaan demokrasi di Indonesia tetap sama. Hanya 17,7 persen saja yang setuju jika Indonesia lebih demokratis. 

Meski presiden membuka peluang revisi juga penghapusan pasal karet, beragam kritik masih mewarnai. Para tokoh hingga warganet ramai-ramai menyampaikan pendapatnya atas pernyataan tersebut. Lalu, seperti apa pendapat civitas academica Unmul terkait hal ini?

Koordinator Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi (Ilkom) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unmul, Rina Juwita mengatakan bahwa dari sisi komunikasi politik, pernyataan Jokowi adalah suatu bentuk branding  politik untuk membentuk opini publik. Ia menyebut bahwa dirinya adalah presiden yang demokratis, terbuka, dan bersahabat dengan masyarakat.

“Hal tersebut nampaknya sebagai strategi politik beliau untuk merespons hasil survei yang menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia menurun beberapa saat yang lalu,” ucap Rina kepada Sketsa, Senin (15/2).

Gaya komunikasi yang digunakan pun sebenarnya belum tentu menghasilkan respons yang buruk dari masyarakat. Ini relatif dan tergantung dari tindak lanjut yang akan diambil Jokowi atas pernyataannya tersebut. Jika terjadi perbaikan hukum dan iklim demokrasi menjadi lebih sehat, tentunya publik dapat membangun kembali harapan mereka terhadap pemerintah. Namun apabila hanya menjadi wacana atau imbauan semata, maka respons publik akan pesimis dan menganggap hal ini hanya statement politik yang sudah-sudah.

Herdiansyah Hamzah, dosen Fakultas Hukum (FH) Unmul turut memberikan tanggapannya kepada Sketsa terkait UU ITE yang kerap kali digunakan untuk menjerat masyarakat yang melakukan kritik, khususnya kepada pemerintahan. Ia memaparkan jika terdapat tiga lapisan persoalan dalam UU tersebut.

Ia menjabarkan, yang pertama ialah persoalan tafsir. Menurutnya, rumusan Pasal 27 hingga Pasal 29 tidaklah ketat sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum alias multitafsir. Kemudian adalah bentuk penerapannya, di mana hal ini berkaitan dengan kegagapan aparat penegak hukum dalam merekonstruksi UU ITE. Terakhir, yakni dampak yang ditimbulkan oleh UU ITE sendiri.

“Pada akhirnya cenderung digunakan sebagai alat untuk balas dendam, pembatasan kebebasan ekspresi, menggebuk lawan politik hingga barter kasus,” jelasnya, Rabu (17/2).

Herdi mengatakan jika UU ITE memerlukan revisi pada pasal-pasal terkait untuk memberikan masyarakat ruang kebebasan berpendapat senyaman mungkin tanpa ancaman pasal karet. Mengutip data SAFEnet, ia menuturkan jika pengguna pasal-pasal ini kebanyakan berasal dari kalangan pejabat. Sehingga tak hanya masyarakat saja yang perlu diedukasi mengenai UU ITE.

Sependapat dengan pernyataan Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif SAFEnet, ia menyebutkan jika pasal-pasal bermasalah tersebut memang harus dihapus demi menjamin kemerdekaan berpendapat, sebagaimana diperintahkan dalam konstitusi.

“Tidak ada alasan yang rationable untuk mempertahankan pasal-pasal karet tersebut,” tutupnya. (rst/aot/lms/len/fzn)



Kolom Komentar

Share this article