Resensi

Venom, Sebuah Film Superhero yang Terasa Abu-Abu

Venom the Movie. (Sumber poster: venom.movie)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Judul: Venom
Produser: Av Arad, Matt Tolmach dan Amy Pascal
Sutradara: Ruben Fleischer
Penulis: Scott Risenberg, Jeff Pinker, dan Kelly Marcel
Genre: Superhero, Action
Rumah Produksi: Columbia Pictures
Distribution: Sony Pictures
Tayang: 5 Oktober 2018

Film bertema superhero selalu mengundang animo peminatnya di bioskop kesayangan. Terlebih akhir-akhir ini banyak film superhero  yang menembus box office, terutama film-film besutan Marvel Studios. Venom sebenarnya juga superhero buatan Marvel, hanya saja hak cipta filmnya dipegang oleh Columbia Pictures yang didistribusikan oleh Sony Pictures Releasing. Jadi walaupun sama-sama superhero Marvel, tapi Venom tidak menjadi bagian dari Marvel Cinematic Universe.

Film ini bukanlah debut perdana Venom dalam dunia layar lebar. Sebelumnya Venom pernah muncul di film Spiderman 3-nya Tobey Maguire dan menjadi salah satu villain  yang ikonik. Namun berbeda dengan debutnya, Venom di film tunggalnya ini memiliki role sebagai anti-hero. Jika villain  adalah antagonis, maka anti-hero adalah masuk klasifikasi protagonis. Berbeda dengan hero yang identik sebagai manusia sempurna yang sangat menjunjung tinggi kebenaran dan moralitas, anti-hero   lebih manusiawi, tidak sesuci hero ia masih mempunyai ego dan sifat jahat. Sederhananya, apabila villain diibaratkan hitam dan hero putih, maka anti-hero itu abu-abu.    

Venom sendiri adalah nama dari makhluk luar angkasa yang disebut symbiote. Makhluk ini tidak berbentuk selaykanya makhluk hidup pada umumnya, bisa dibilang mirip dengan ingus atau slime yang harus bertahan hidup dengan menumpang tubuh makhluk lain sebagai inangnya. Di film ini Venom menumpang tubuh Eddie Brock (Tom Hardy), seorang reporter investigasi di stasiun televisi MSNBC. Sebelum bertemu Venom, Eddie ditugaskan mewawancarai Dr. Cartlon Drake (Riz Ahmed) mengenai proyek roket miliknya. Eddie rupanya memiliki tendensi tidak suka kepada Dr. Cartlon.

Malamnya, Eddie secara tidak sengaja menemukan akses rahasia kejahatan perusahhan Dr. Cartlon, Life Foundation melalui laptop kekasihnya, Anne Weying (Michelle Williams). Tak ayal Eddie pun dipecat dan ditinggal kekasihnya. Eddie yang depresi kemudian menerima tawaran Dr. Dora Skirth (Jenny Slate) pegawai Life Foundation yang kemudian memberinya akses kepada untuk masuk ke laboratorium mereka. Di dalam laboratorium inilah kemudian Eddie dirasuki oleh Venom yang kemudian menjadi partnernya menuntaskan masalah-masalah hidupnya.

Film ini memang bukan yang terbaik yang bisa diharapkan dari Venom, tapi bukan film yang jelek juga. Plot dan konflik yang dibangun biasa saja, malah menyisakan bebrapa plothole,  seperti alasan symbiote memilih inang yang cocok tidak jelas. Lalu motif kejahatan Riot, symbiote selain Venom yang menjadi musuh utamanya cukup membingungkan.

Film ini tertolong dengan hubungan persahabatan Eddie dengan Venom yang cukup jenaka. Tom Hardy berhasil membangun karakter Eddie Brock yang loveable dan mengundag simpati. Selain itu beberapa humor yang diselipkan di beberapa adegan membuat film ini ringan untuk ditonton. (fer/aml) 



Kolom Komentar

Share this article