Jumbo: Duka dan Kehilangan dalam Perspektif Anak-Anak
Jumbo hadirkan petualangan anak-anak penuh pesan dan warna

Sumber Gambar: Visinema Studio
Tawa, haru, kehangatan, nuansa lokal yang kental, pun isu kompleks yang dikemas dengan sederhana membuat “Jumbo” menjadi salah satu film animasi yang layak menemani libur lebaran bersama keluarga.
“Jumbo” menjadi salah satu film animasi terbaik karya anak bangsa yang siap naik di kancah internasional. Animasi setiap karakter dibuat dengan memperhatikan detail-detail kecil, mulai dari ekspresi hingga gerak-gerik.
Tidak hanya karakter, bahkan latar hingga pemilihan tone warm yang mendominasi memberikan nuansa kehangatan saat dilihat. Pemilihan harmonisasi warna-warna cerah juga memanjakan mata penonton yang turut hadir berpetualang bersama Don, sang karakter utama, dan teman-temannya. Semua ini hasil kerja keras oleh 420 lebih kreator yang terlibat dalam proses produksi bersama Visinema Animation.
Disutradarai oleh Ryan Adriandhy yang juga sebagai penulis cerita bersama Widya Afrianti, kisah petualangan Don dan teman-teman sangat penuh dinamika. Namun, Ryan dan Widya berhasil mengemas perjalanan kompleks dalam bentuk yang sederhana serta penuh pesan mendalam tanpa menjadi polisi moral.
Lebih dari itu, karakter yang didominasi oleh anak-anak ini membawa kita melihat dunia melalui sudut pandang anak-anak. Karakterisasi dalam film animasi ini dibuat dengan begitu realistis, tidak ada karakter yang sempurna di dalamnya layaknya kehidupan sehari-hari. Mulai dari anak-anak yang memberi julukan Jumbo pada Don, Atta yang kerap merundungnya, Don yang berusaha agar diajak bermain, Don yang egois dan hanya mau didengar oleh teman-temannya, serta memikirkan dirinya sendiri. Semuanya adalah karakterisasi anak-anak yang realistis.
Dari karakterisasi tersebut lah konflik berkembang dan menghasilkan pelajaran-pelajaran yang berharga. Don yang ingin diakui dibantu oleh Mae, Nurman, dan Meri untuk memenangkan pentas dengan balasan tertentu. Namun, Don melanggar janji dan mementingkan pentas selanjutnya tanpa memikirkan kepentingan Meri.
Hal ini kemudian membuat pertengkaran di antara mereka berempat hingga Don menyadari bahwa sikapnya salah. Sejak itu, ia menyadari bahwa ia juga harus mendengar dan membantu teman-temannya. Bukan hanya ia yang ingin didengar dan dibantu.
Namun, film ini cukup kurang realistis untuk diadaptasi anak-anak ke dalam kehidupan. Kemunculan sosok hantu, orang tua Meri yang menjadi menyeramkan karena disetir oleh Pak Kades untuk menyerang, menciptakan suasana seram bagi anak-anak. Juga ketergantungan Don pada teman-temannya yang akan menimbulkan salah paham bagi anak-anak bahwa ia tidak bisa apa-apa tanpa orang lain.
Terlepas dari itu, film ini masih menarik apabila hendak ditonton bersama keluarga sebagai sebuah hiburan. Dengan mengamati hal-hal mendasar seperti sikap pantang menyerah Don dan teman-teman.
Perlu diketahui, perjalanan Don dan teman-teman lebih dari itu. Diawali dengan kehangatan keluarga Don, film animasi ini membawa isu perundungan dan isu sosial seperti kemiskinan dan penggusuran paksa. Makam-makam lama dirusak begitu saja tanpa memedulikan unsur sakral yang dipercayai masyarakat. Semua itu dikemas dalam standar yang masih bisa diterima dan dicerna oleh anak-anak hingga dewasa.
Melalui Jumbo, kita juga diajak untuk melihat bagaimana anak-anak memaknai duka dan kehilangan. Khususnya dari sudut pandang Don. Karakter anak-anak yang ditampilkan merupakan anak-anak yang tumbuh tanpa orang tua lengkap.
Di balik sifat ceria dan ambisiusnya, Don ternyata menyimpan rasa rindu yang mendalam terhadap orang tuanya. Ia bahkan menangis tatkala hanya mendengar suara ibunya. Hanya buku dongeng pemberian orang tuanya sebagai pengobat rindu Don.
Kita juga dapat melihat bagaimana Atta yang kerap merundung Don mengalami perkembangan karakter. Atta yang hanya hidup berdua dengan Acil, kakaknya, akan melakukan apa saja agar ia bisa membantu kakaknya. Hal ini pula yang membuat ia kemudian bekerja sama dengan Don serta teman-teman yang lain.
Don dan teman-teman yang tumbuh dengan merasakan duka dan kehilangan, mengharuskan mereka untuk bisa belajar menghargai apa yang ada. Teman, keluarga, hingga hal-hal kecil lainnya. Melalui sudut pandang anak-anak, film animasi ini mengajarkan untuk menghargai apa yang ada di hidup kita. Banyak dialog-dialog yang juga mengajarkan kita banyak hal.
Bagian sentral yang juga menjadi kunci dari film animasi ini adalah soundtrack yang disajikan dalam film. Salah satunya ketika lagu “Selalu Ada di Nadimu” oleh Bunga Citra Lestari dinyanyikan Don saat pentas dan juga muncul melalui Ibu Don saat anak itu mengenangnya di radio. Soundtrack tersebut sukses membawa kehangatan sekaligus mengingatkan kembali akan perasaan kehilangan.
Visual, cerita, hingga musik latar tidak ada yang tidak menarik perhatian ketika menyaksikan film animasi ini. Terlebih ketika unsur-unsur lokal ditampilkan. Karena Jumbo merupakan film animasi Indonesia, maka unsur-unsur di dalamnya pun kental akan nuansa lokal. Lomba tujuh belasan, panjat pinang, kepadatan penduduk, hingga suasana Kampung Seruni benar-benar mencerminkan ciri khas Indonesia.
Oleh karena itu, film animasi ini layak masuk dalam daftar film untuk menemani liburan keluarga. Film ini mengajak anak-anak melihat petualangan dan belajar dari pengembangan karakter Don dan teman-temannya.
Serta mengajak kita untuk melihat bagaimana dunia anak-anak dengan ambisi, kreativitas, dan imajinasinya. Juga mengajak untuk lebih menyadari bagaimana anak-anak memaknai perasaan duka bahkan kehilangan dan membuat mereka menjadi menghargai apa yang ada.
Terakhir, melalui dinamika konflik serta karakterisasi Don dan teman-teman, film animasi ini membawa pesan penting bahwa di dunia ini tidak hanya ada kita seorang. Dunia tidak berpusat pada kita. Kita harus belajar mendengar dan membantu orang lain juga. (ner/myy)