Resensi

Kabut Berduri: Kemerdekaan yang Redup Ditelan Kabut

Kasus penuh misteri dari bumi Kalimantan

Sumber Gambar: Akun X @NetflixID

SKETSA — Meski telah genap 79 tahun Bumi Pertiwi lolos dari cengkeraman kolonialisme, pada kenyataannya, hingga kini Tanah Air masih dibayang-bayangi oleh konflik tak berkesudahan. Meskipun secara teknis telah merdeka usai dikumandangkannya Proklamasi, kemerdekaan belum sepenuhnya digenggam oleh mereka yang berada di pelosok negeri.

Kabut Berduri hadir sebagai refleksi dari realita yang terjadi di belahan Nusantara. Berlatar di Pulau Kalimantan, tepatnya di perbatasan Indonesia dan Malaysia, Edwin, sutradara film ini ingin menyoroti kekisruhan yang terjadi di ujung Borneo.

Kabut Berduri bak angin segar bagi industri perfilman Indonesia yang masih dihujani oleh genre horor. Edwin ingin mengajak kita untuk mengungkap misteri di balik pembunuhan yang rupanya akan bermuara ke permasalahan baru, mulai dari human trafficking hingga bisnis gelap polisi.

Singkatnya, Kabut Berduri berkisah tentang Sanja (diperankan oleh Putri Marino), seorang polisi berpangkat Inspektur Polisi Dua (Ipda) yang dikirim dari Jakarta untuk mendalami kasus pembunuhan di Kalimantan. Omong-omong, film ini tersedia di platform streaming Netflix jika berminat untuk menonton.

Bukan sekadar film bertemakan misteri, Kabut Berduri seolah ingin menyentil bagaimana aparatur negara yang kerap lalai dalam tugasnya. Hal ini secara gamblang digambarkan dari dialog-dialog masyarakat adat dalam film ini yang muak karena laporan kasus orang hilang yang seringkali ikut hilang seperti korbannya karena kinerja pihak kepolisian yang tidak kompeten.

Kabut Berduri juga ingin menjadi media bagi suara-suara masyarakat Dayak yang seringkali tenggelam tak terdengar. Mereka kian terpinggirkan ketika ingin merebut haknya sebab suaranya selalu dibungkam oleh sejumlah oknum yang memiliki kepentingan berseberangan. 

Kabut di ujung Borneo itu tak hanya menutupi misteri, namun juga mengaburkan kebenaran dan dosa sang antagonis di sana. Ketika masyarakat adat menjerit memohon keadilan, aparat kepolisian yang seharusnya merangkul mereka seolah pura-pura buta dan terlihat malas-malasan dalam menangani tanggung jawab mereka sendiri. 

Belum lagi soal isu nepotisme yang turut disentil dalam film ini. Satu hal yang juga menarik adalah ketiga polisi yang menjadi tokoh sentral di Kabut Berduri memiliki kompas moralnya masing-masing.

Tentu bukan cerita fiksi. Hal yang sudah disebut di atas sudah jadi rahasia umum. Sentilan yang dimasukkan ke dalam Kabut Berduri menjadi langkah yang cukup berani dan diinterpretasikan dengan cukup baik. 

Adanya unsur mistis yang masih lekat di budaya Dayak turut diracik Edwin ke dalam Kabut Berduri, yakni mitos keberadaan hantu bernama Ambong. Hadirnya Ambong bukan sebagai penambah unsur mistis belaka agar suasana menjadi horor. 

Hantu yang tak terlihat sosoknya itu bukan sekadar mitos, namun suatu hal yang dipercaya kuat oleh penduduk setempat sebagai pelindung dari masyarakat Dayak. Di sisi lain, Ambong diinterpretasikan sebagai hantu komunis yang dibentuk untuk menghalau bangkitnya ideologi komunis. 

Meskipun Kabut Berduri adalah film yang cukup kompleks karena menampilkan konflik yang berlapis, saya rasa film ini tak begitu berat untuk diikuti. Tetapi, akhir dari ceritanya mungkin sedikit berat sebab kita sebagai penonton akan dibuat berpikir soal maksud dari ending yang ingin disampaikan. 

Ketika memasuki akhir film, penonton mungkin merasa bingung mendapati ending film yang menggantung. Ya, ending filmnya memang benar-benar “menggantung”—ini bukan metafora, omong-omong. 

Saya rasa, Edwin sengaja menjadikan akhir kisah Kabut Berduri sebagai open-ending dan menyerahkan kepada penonton untuk mengintepretasikan maksud ending-nya sesuai dengan kepercayaan masing-masing penonton.

Saya tak ingin bicara banyak soal teknis dalam film ini. Akting dari para aktor sudah tak perlu diragukan. Potret masyarakat dan pemukiman Dayak pun tergambar dengan baik. Saya yakin riset untuk produksi film ini sudah dilakukan dengan cukup baik. Itu dapat dilihat dari tradisi khas seperti penggunaan tato, rumah adat, serta logat khas Dayak dalam dialog para tokoh.

Hadirnya Kabut Berduri bukan sekadar film misteri untuk hiburan belaka, namun sebagai bahan refleksi atas realita di Tanah Air ketika saudara sebangsa masih belum menikmati kemerdekaan sepenuhnya. Dalam momentum Hari Kemerdekaan ini, sudahkah kita merdeka dalam menyuarakan suara keadilan? Sudahkah kita merdeka dalam mendapatkan haknya masing-masing? (dre/mar)




Kolom Komentar

Share this article