Resensi

The Social Dilemma: Kecanggihan Teknologi dalam Mengubah Perilaku Manusia

Kecanggihan Teknologi dalam Mengubah Perilaku Manusia

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : CHS Globe

Sutradara: Jeff Orlowski

Produser: Larissa Rhodes

Musik: Mark A. Crawford

Sinematografi: John Behrens, Jonathan Pope

Produksi: Exposure Labs, Argent Pictures, The Space Program

Rilis: 9 September 2020 (Amerika Serikat)

Durasi: 94 menit

Menampilkan: Tristan Harris, Aza Raskin, Justin Rosenstein, Shoshana Zuboff, Jaron Lanier, Skyler Gisondo, Kara Hayward, Vincent Kartheiser, Anna Lembke

SKETSA – Tak dapat dimungkiri, media sosial (medsos) kini menjadi salah satu bagian dari kehidupan. Keberadaan medsos membuat antar individu bahkan masyarakat menjadi terhubung satu sama lain. Semua merasa dimudahkan dengan adanya aplikasi-aplikasi atau layanan berbasis daring, sebab akses yang diberikan dapat dijangkau siapapun.

Lantas, senaif itukah kita berpikir tentang hal ini tanpa sadar dengan sisi lain di baliknya? Inilah poin terpenting dalam The Social Dilemma, sebuah docudrama yang akan membawa kita kepada fakta-fakta di balik layar medsos.

Film yang satu ini menampilkan kegiatan wawancara dengan beragam mantan karyawan, eksekutif dan orang-orang profesional dari perusahaan teknologi besar bahkan platforms medsos besar dunia. Orang-orang tersebut kebanyakan berasal dari perusahaan mega industri seperti Google, Facebook, Twitter, Mozilla, Pinterest dan YouTube.

Mereka kemudian memaparkan pengalaman bekerja juga diskusi terhadap pengaruh medsos yang telah memberikan dampak negatif terhadap isu sosial, politik juga budaya. Meskipun begitu, beberapa diantaranya menilai jika layanan tersebut juga menghasilkan perubahan positif bagi masyarakat. Selain adegan wawancara, ditampilkan pula sebuah potret drama di mana remaja mengalami adiksi terhadap medsos.

Pembahasan dimulai dengan bagaimana pengaruh segelintir perusahaan teknologi terhadap masyarakat. Sebagai narasumber, para mantan karyawan dan eksekutif kemudian meninggalkan pekerjaan mereka karena beragam masalah etik pada industri tersebut.

The Social Dilemma lalu mengupas lebih dalam tentang teknik manipulasi yang diklaim merupakan cara perusahaan dalam membuat masyarakat menjadi adiktif dalam memakai medsos. Mereka menyebut, secara tidak sadar manusia kini menjadi ‘produk’ bagi medsos itu sendiri dengan adanya kecanduan dan tanpa diketahui menjadi monetisasi yang menguntungkan bagi perusahaan.

Dijelaskan pula, medsos adalah salah satu alasan mengapa tingkat depresi dan bunuh diri pada remaja dan dewasa muda khususnya perempuan meningkat. Peningkatan perilaku bunuh diri sebesar 70% pada remaja usia 15-19 tahun dan 151% pada remaja usia 10-14 tahun, hal itu terjadi di 2009 ketika medsos pertama kalinya diperkenalkan.

Semakin jauh, mereka menerangkan jika perusahaan selalu memantau dan mengawasi pergerakan setiap pengguna platforms. Hal ini kemudian menjadi sebuah ‘model’, menciptakan prediksi-prediksi dari seluruh kegiatan masyarakat selama online. Model tersebut dapat memperkirakan apa saja yang akan kita lakukan. Di balik layar, perusahaan mengeruk hasil dengan adanya keterlibatan, pertumbuhan dan pendapatan iklan dari aktivitas daring tersebut.

Tak sampai di situ, pembahasan mengenai Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan serta maraknya berita palsu turut disampaikan. Tristan Harris, Mantan Google Design Ethicist berpendapat jika hal ini merupakan model bisnis dengan disinformasi sebagai profit utama. Ini membuat perusahaan semakin untung dengan membiarkan aktivitas tanpa regulasi atau kontrol hukum dijangkau semua orang demi ‘harga terbaik’.

Semua narasumber sepakat jika keadaan ini perlu berubah, di mana ketakutan mereka terhadap peran AI di medsos dan pengaruh platforms ini perlahan menjadi kenyataan di masyarakat.

Sampai sini, apakah kamu sadar jika medsos sedikit banyak mengubah keseharianmu? Apa yang nampak nyata di layar kita, kini menjadi standar yang tidak masuk akal untuk diikuti. Sesuatu yang kita anggap penting dan menarik atensi agar terus online, mengurangi waktumu bersenang-senang di dunia nyata dan lingkunganmu sendiri.

Justin Rosenstein, Mantan Facebook Engineer mengatakan jika perhatian merupakan produk yang kita hasilkan untuk perusahaan. Mereka ‘menambang’ setiap ketertarikan kita untuk terus menatap layar, menatap iklan daripada menghabiskan waktu untuk menikmati hidup.

Ini memang benar adanya. Coba perhitungkan, berapa banyak momen yang kamu lewatkan ketika sibuk berjejaring? Keadaan ini tidak akan ada habisnya jika masyarakat mengabaikan kenyataan yang ada saat ini.

Mengutip Jaron Lanier, penulis Ten Arguments for Deleting Your Social Media Accounts Right Now (2018), ia mengatakan jika kita meneruskan situasi saat ini, dapat dikatakan dalam 20 tahun ke depan peradaban akan hancur karena kebodohan yang disengaja. Jadi, maukah kamu berperan bersama dalam mendukung perubahan teknologi ini menjadi ramah dan beretika? (len/fzn)



Kolom Komentar

Share this article