Resensi

The Breakfast Club: Andil Orang Tua Mencipta Anak-Anak Nakal

The Breakfast Club (Sumber: corporate.target.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Judul                           : The Breakfast Club (1985)
Genre                          : Komedi, Drama
Distribusi                     : Universal Pictures
Sutradara                     : John Hughes
Produser                      : Ned Tanen, John Hughes
Pemain                        : Judd Nelson, Emillio Esteves, Anthony Michael Hall, Molly Ringwald, Ally Sheedy. Paul Gleason, John Kapelos
Durasi                          : 97 menit

SKETSA – “We’re all pretty  bizzare. Some of us are just better at hiding it, that’s all.” The Breakfast Club adalah salah satu film bertema remaja yang pernah menjadi trendsetter pada masanya. Duduknya John Hughes (penulis skenario Home Alone Series) di kursi sutradara sekaligus penulis skenario, film ini menjadi begitu konik dan membuat penontonnya merasakan emosi serta pesan yang ingin disampaikan dalam film ini.

Film ini bercerita tentang lima anak yang harus menjalani “jam tambahan” di sekolah pada hari libur karena kenakalan serta ulah yang mereka lakukan. Mereka adalah John Bender, Andrew Clark, Brian Johnson, Claire Standish, dan Allison Reynolds. Mereka dikumpulkan dalam ruang perpustakaan dengan perintah tidak boleh berbicara, meninggalkan kursi mereka, dan tertidur, serta hukuman esai  dari guru mereka, Mr. Richard Vernon. Mungkin hal ini terkesan biasa, namun latar belakang masing-masing karakterlah yang menjadi daya tarik dari film ini. John adalah preman sekolah, Andrew adalah atlit gulat di sekolah, Brian seorang kutu buku yang pintar, Claire adalah gadis paling populer dan kaya, dan Allison adalah seorang gadis misterius yang diabaikan di sekolah.

Film ini mengangkat isu-isu sosial di mana pada masa lalu para orang tua memaksakan anaknya untuk menjadi seperti yang mereka inginkan, sistem sekolah yang mengkotak-kotakkan status, serta persoalan-persoalan yang seringkali dialami remaja pada saat itu. Tiap pemain menjadikan diri mereka sebagai ikon dan cerminan para remaja pada tahun 1980-an.

Ada beberapa adengan yang boleh dibilang memorable di benak penonton. Terutama akting dari Judd Nelson sebagai John Bender sang preman sekolah. Salah satunya etika Bender yang bandel berulah dengan mengendurkan dan mengambil sekrup pintu ruang perpustakaan sehingga Mr. Vernon kewalahan dan tidak dapat mengawasi mereka. Hal ini membuat keempat anak lainnya terkejut dan mau tidak mau harus beralasan untuk menutupi ulahnya.

Ketika pengawasan dari Mr. Vernon menjadi kendur, mereka mulai bertingkah gila, dan akhirnya membuka masing-masing permasalahan mereka, salah satunya hubungan yang mereka jalani dengan keluarga mereka. Orang tua Allison mengabaikannya karena masalah pribadi keduanya, Ayah Andrew yang selalu mengkritik perjuangannya dalam pertandingan gulat dan selalu menekannya sebanyak mungkin, Ayah Bender yang secara verbal dan fisik memukuli dan memperlakukannya dengan kasar, Brian yang ditekan oleh orang tuanya untuk mencapai nilai-nilai tertinggi, dan Claire yang digunakan orang tuanya hanya untuk rujuk kembali ketika mereka berselisih dan terancam bercerai. Mereka menyadari bahwa dibalik semua perbedaan mereka, mereka menghadapi masalah yang hampir sama.

Ketika hukuman mereka mendekati akhir, mereka setuju bahwa Brian-lah yang akan menulis esai untuk mewakili mereka semua. Setelah Brian selesai menulisnya, ia meninggalkannya di meja untuk dibaca Mr. Vernon.

Kelima pemain berhasil menghidupkan karakter dengan sangat sempurna. Dengan naskah yang berbobot dan mempunyai tone yang bervariasi, meskipun syuting hanya dilakukan di lorong serta ruangan sekolah, namun mereka dapat menampilkan kegilaan hingga kegalauan yang dirasakan oleh setiap karakter.

Lebih dari itu, pesan yang ingin disampaikan di dalam film ini adalah bagaimana menjadi remaja yang apa adanya. Sebab, apapun latar belakangnya, ketika dihadapkan pada sebuah tekanan dan masalah, semuanya akan berada pada keadaan yang sama. Semua permasalahan mengenai kekurangan pasti memiliki pemecahan, namun akan lebih baik apabila dapat diselesaikan bersama-sama dengan orang-orang yang mendukung kita.

Scene favorit serta ikonik dari The Breakfast Club adalah ending dari film ini sendiri, adalah setiap karakter merasa tergugah dan puas setelah pertemuan tidak terduga mereka pada Sabtu pagi yang membosankan. Meski jadul, film ini masih cukup relevan kok untuk disaksikan sekarang. (len/aml)



Kolom Komentar

Share this article