Resensi

Raya and The Last Dragon: Film yang Kental Akan Kultur Asia Tenggara

Raya and The Last Dragon, animasi terbaru oleh Disney.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Engadget

SKETSA - Resmi dirilis pada Rabu (3/3) lalu, film animasi yang diproduksi oleh Disney yakni Raya and the Last Dragon sukses membuat penontonnya tercengang. Bukan hanya alur yang disuguhkan, tetapi karena film animasi garapan sutradara Varlos Lopez Estrada dan Don Hall ini mencuri perhatian dengan memasukan unsur-unsur budaya Asia Tenggara ke dalam film tersbut.

Dengan melibatkan beberapa artis Asia seperti Nora Lum yang lebih dikenal dengan nama panggungnya Awkwafina, Sandra oh Gemma Chan, Daniel Dae, Benedict Wong dan Izaac Wang sebagai pengisi suara karakter Sisu, Virana, Namaari, Benja, Tong, serta Boun. Sedangkan Kelly Marie Tran memerankan karakter utama sebagai Raya dan Alan Tudyk sebagai Tuk Tuk.

Berdurasi selama 107 menit, latar bermula dengan dunia fantasi bernama Kumandra. Saat itu, manusia dan naga hidup berdampngan secara harmonis. Sayangnya, keadaan seketika berubah. Suatu hari, Druun, wabah yang tercipta dari perselisihan manusia menyerang Kumandra dan mengubah semua makhluk menjadi batu dan mencerai berai mereka. Saat itu, para naga harus berjuang mengorbankan diri mereka demi menyelamatkan manusia.

Ketika proses penyelamatan tersebut, para naga termasuk Sisu, naga terakhir yang selamat dari Druun memusatkan semua sihirnya menjadi permata dan memusnahkan para Druun. Berkat sihir naga Sisu, semua orang yang berubah menjadi batu kembali hidup, kecuali para naga. Sejak saat itu, naga Sisu menghilang dan hanya menyisakan permata sihirnya. Manusia yang takut akan kemunculan kembali Druun, saling berebut untuk memiliki permata sihir tersebut yang mengakibatkan Kumandra terpecah menjadi lima suku yaitu Taring, Hati, Cakar, Tulang dan Ekor.

Cerita berlanjut kepada 500 tahun kemudian setelah kejadian itu. Benja (Daniel Dae), Kepala Klan Hati mengundang semua suku untuk datang ke Kumandra dan mengajak berdamai serta membangun kembali tempat yang sempat tercerai berai tersebut. Di tengah acara, Suku Taring berkhianat dan berniat mencuri permata sihir Sisu yang dijaga oleh Suku Hati.

Tak berhasil merebut permata tersebut secara utuh, perkelahian terjadi dan membuat permata tersebut terpecah belah. Masing-masing suku mengambil pecahan tersebut, namun pecahan permata justru membangkitkan kembali Druun dan mengubah semua orang menjadi batu termasuk Benja, ayah Raya.

Satu-satunya cara yang bisa menyelamatkan negeri dari kehancuran Druun adalah bangkitnya naga terakhir yang sempat berhasil memusnahkan Druun dari negeri Kumandra. Raya, sebagai keturunan penjaga roh naga bertanggung jawab untuk membuat kondisi ini menjadi normal dan mencari jalan keluar atas kutukan itu.

Dirinya terpaksa harus membangkitkan naga terakhir dan mengumpulkan semua kepingan roh naga untuk mengalahkan Druun. Namun, kebencian antar klan menjadi tantangan baginya. Raya tidak memiliki pilihan selain mencari keberadaan naga terakhir yang mampu menyatukan dan menyelamatkan Kumandra kedua kalinya.

Saat Raya dan Tuk Tuk bertualang mencari Sisu di berbagai sungai, akhirnya mereka berhasil menemukannya. Pertemuan Raya dan Sisu itu bukanlah akhir dari perjalanan atau kunci persatuan dan keselamatan dunia. Mereka harus melewati berbagai rintangan dan pertarungan yang mengancam.

Lucunya, Sisu bukanlah karakter naga yang bijaksana. Justru sebaliknya, karakter riang dan lucu dimunculkan lewat candaan dan celotehnya yang mampu menetralisir ketegangan di sepanjang film berlangsung. Lebih dari itu, Sisu juga banyak mengajarkan Raya tentang pentingnya kepercayaan dalam upaya menyatukan dan menyelamatkan dunia.

Ketika menonton film ini, ada banyak elemen yang cukup dekat dengan budaya Asia Tenggara salah satunya Indonesia. Terlihat dari beberapa properti dan ornamen yang muncul seperti senjata andalan Raya yang berupa pedang menyerupai keris. Lalu, warna kulit Raya yang sawo matang layaknya orang Indonesia.

Potrait pemandangan sawah-sawah yang mirip dengan Indonesia, juga kostum para prajurit yang sekilas identik dengan kostum prajurit kerajaan Indonesia di masa kerajaan Sriwijaya atau Majapahit juga turut menghiasi visual film ini. Tak sampai di situ, ada adegan ketika Virana, Kepala Klan Taring mendongeng kepada anak-anak menggunakan boneka seperti wayang. Ada pula adegan seorang wanita tengah melakukan proses membatik kain.

Tak hanya budaya Indonesia yang dimuat, topi yang dikenakan Raya mirip dengan Salakot atau tutup kepala tradisional khas Filipina. Kemudian, sahabat Raya, yang juga alat transportasinya yakni Tuk Tuk merupakan sebutan untuk becak yang adalah moda transportasi populer di kawasan Asia Tenggara.

Dalam adegan-adegan perkelahian yang ditayangkan, nampaknya terinspirasi dari teknik bertarung silat atau seni bela diri tradisional yang umum dipraktikkan di Malaysia dan Indonesia. Budaya Asia Tenggara juga makin ditonjolkan saat film ini memunculkan aksen-aksen seperti kain bercorak, makanan penuh warna, candi dan pemandangan alam khas negara tropis yang eksotis.

Identitas Asia Tenggara sangat dimunculkan dalam film ini. Terbukti ketika potongan-potongan budaya itu digabungkan menjadi satu. Seolah menjunjung multiculturalism atau toleransi antar budaya Asia. Hal itu juga didukung lantaran Adele Lim yang merupakan penulis naskah merupakan perempuan kelahiran Petaling Jaya, Malaysia.

Film ini sangat cocok ditonton bagi orang-orang yang menyukai film animasi dengan unsur-unsur budaya yang melekat dalam audio visual berbentuk animasi. Mengenai persoalan grafis memang sulit buat diperdebatkan. Disney selalu menjadi juaranya dalam membuat film animasi. Bagaimana, tertarik menonton film ini? (fzn/len)



Kolom Komentar

Share this article