Resensi

Kinipan: Benang Kusut Komitmen Pemerintah Tanggapi Isu Lingkungan

Kinipan: Benang Kusut Komitmen Pemerintah Tanggapi Isu Lingkungan

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Hutanhujan.org

SKETSA - Setelah sukses dengan film dokumenter berjudul Sexy Killers, Watchdoc yang merupakan rumah produksi asal Indonesia ini kembali merilis film terbarunya yang berjudul Kinipan. Film ini diciptakan sebagai cerminan sejauh apa komitmen pemerintah dalam merespons kerusakan lingkungan di Indonesia.

Selama beberapa pekan, film dokumenter ini dijadikan agenda nonton bersama (nobar), dan telah melanglang buana untuk dijadikan bahan diskusi oleh berbagai kelompok masyarakat. Kini, Kinipan dapat diakses oleh semua kalangan di kanal YouTube Watchdoc, dengan durasi 2 jam 38 menit.

Dikemas ke dalam 7 bagian cerita yang menarik, dokumenter ini nampak kompleks dalam menyusun puzzle-puzzle permasalahan di negeri ini. Menjelaskan bagaimana deforestasi terjadi, aktivis lingkungan bekerja, kebijakan pemerintah yang masih dipertanyakan, dan advokasi masyarakat adat, hingga situasi pandemi yang masih mencekam.

Kinipan membuka ceritanya melalui upaya reforestasi di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Basuki Santoso, pegiat lingkungan dari Friend of National Park Foundation (FNPF) menceritakan bagaimana upayanya bersama warga setempat dalam menjaga hutan Kalimantan. Ia menuturkan bahwa pembukaan lahan menyebabkan minimnya cadangan air. Tak hanya itu, kegiatan tersebut juga menyebabkan potensi kebakaran hutan di lahan gambut semakin besar.

Basuki juga memaparkan pertumbuhan pohon yang ditanam sangat lambat, dan menurutnya Ini yang menjadi permasalahan serius. Jika laju deforestasi dengan reforestasi tak sejalan, maka penanaman pohon harus terus digalakkan dari sekarang.

Selanjutnya, film dokumenter ini memperkenalkan Feri Irawan yang merupakan mantan atlet panjat tebing di Pekan Olahraga Nasional, yang kini mendedikasikan dirinya untuk mendampingi masyarakat Bengkulu. Ia juga membantu kampanye penyelamatan hutan masyarakat adat hingga ke Eropa.

Beranjak dari pengenalan dua tokoh ini, film ini menjelaskan segala upaya dan keterkaitan atas kerusakan lingkungan di Indonesia. Bagaimana kedekatan antara hilangnya hutan dengan patogen saat ini. Keberadaan hutan yang menjamin ekosistem terus berputar seperti sediakala, beberapa tahun belakangan ini mengancam kesehatan manusia karena satwa yang seharusnya tetap berada di rantai makanan malah terganggu habitatnya oleh aktivitas pembukaan lahan. Ketidakseimbangan itulah yang menjadi alasan mengapa perlu menjaga hutan.

Terbenturnya masyarakat adat dengan perusahaan yang ingin menggerus keberadaan hutan juga dibahas di sini. Selain itu, film ini menyisipkan tanda tanya besar untuk pemerintah dalam memberi perizinan ke perusahaan. Iming-iming lapangan kerja dinilai tak tepat sasaran, khususnya untuk masyarakat adat yang paling terdampak sebab kesehariannya bersanding dengan hutan.

"Kami tidak bisa lagi berladang, berburu. Kami tidak bisa lagi mengambil air dan ikan, lihat sungai kami ini keruh," keluh perwakilan adat Laman Kinipan dalam film tersebut. Effendi Buhing, tokoh adat yang beberapa waktu lalu diwawancarai di program Mata Najwa, dalam edisi "Hukuman Suka Suka" menjadi gambaran rentannya masyarakat adat dipenjarakan atas tuduhan mengganggu usaha.

Ditambah lagi dengan undang-undang sapu jagat atau yang dikenal Omnibus Law, menambah keprihatinan aktivis lingkungan dan akademisi. Sebab, hal itu dianggap melanggengkan kekuasaan perusahaan tanpa memikirkan dampak lingkungan yang akan dirasakan masyarakat dan kaum marjinal.

Keberadaan hutan tak hanya dirampas perusahaan swasta, namun juga program Food Estate yang digagas pemerintah. Jokowi mencanangkan lumbung pangan ini di tiga pulau besar, yakni Sumatra, Kalimantan, dan Papua dengan luas yang bervariasi. Petani menganggap lumbung pangan dengan maksud untuk mengatasi masalah pangan ini malah berpotensi menambah krisis. Hama yang melanda dan kegagalan panen yang menghantui, jadi alasan mengapa lumbung pangan tak serta-merta jadi solusi.

Belum lagi tanda tanya disematkan pada definisi restorasi ala pemerintah. Konsesi perusahaan restorasi ekosistem kerap tumpang tindih dengan masyarakat adat. Layaknya yang terjadi di Jambi. Dalam izin ini, perusahaan tidak boleh menambang, menebang, juga membuka perkebunan satu jenis seperti sawit. Mereka hanya diperbolehkan membuka jasa lingkungan dan menjual hasil hutan non-kayu, seperti madu.

Masyarakat bersitegang saling tuduh dengan perusahaan, terkait siapa yang melakukan pembakaran hutan. Bahkan di wilayah yang sudah disepakati untuk tidak dieksploitasi. Di sinilah kekacauan atas komitmen pemerintah baik Indonesia maupun negara maju dalam merespons krisis iklim. Perdagangan karbon yang mereka perbincangkan lagi-lagi dinilai tak tepat sasaran untuk masyarakat adat, yang mana seharusnya merasakan dampak kesejahteraannya ketika membahas hutan dan hasil alam.

Masih rancunya aturan dan komitmen pemerintah terkait lingkungan tentu akan menyengsarakan tak hanya manusia, namun juga spesies lain yang tentu butuh hidup. Rusaknya ekosistem alam punya efek domino terhadap kesehatan dan kesejahteraan. Film dokumenter Kinipan ini bisa menjadi opsimu menyelami isu lingkungan saat ini lho. Bagaimana, tertarik menyaksikan? (rst/fzn)



Kolom Komentar

Share this article