Menempuh Jalan yang Lambat
Karena mencintaimu, adalah bagian dari prosesku menuju terang.

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Tak semua cinta lahir dalam gelegak,
sebagian datang seperti embun,
jatuhnya pelan, diam,
namun menetap tanpa tergesa.
Kita bicara sepanjang musim,
mengenal tanpa perlu mendesak,
membiarkan hati saling mengaji,
dalam jeda yang suci dan tak terburu.
Tak apa berjalan jauh
jika yang dituju adalah saling memahami.
Seperti anggur yang disimpan dalam ruang paling hening,
rasa terbaiknya datang setelah sabar yang panjang.
Aku ingin dikenali bukan saat aku bersinar,
melainkan saat aku retak dan rebah,
dan tetap ada tangan yang tak menarik diri.
Yang melihat celah namun tak menilai,
yang diam-diam menutup luka dengan liris.
Tak perlu janji yang diumbar,
cukup hadir yang setia di dalam doa.
Tak perlu memiliki,
asal saling tahu bahwa di antara banyak nama,
ada satu yang tak disebut,
namun selalu diingat dalam tanda yang hanya jiwa tahu artinya.
Aku ingin cinta yang tidak meledak,
tapi menyala lembut di balik dada.
Yang tak perlu terburu,
sebab ia tahu:
yang lambat adalah yang paling dalam.
Yang berkelok adalah yang paling mengakar.
Dan bila nanti raga tetap terpisah,
aku ingin merindumu seperti mendamba ruang suci:
tak selalu bisa disentuh,
tapi selalu jadi arah pulang.
Karena mencintaimu
adalah bagian dari prosesku menuju terang.
Dan untuk itu,
aku bersedia menempuh seluruh jalan panjangnya—
tanpa pintas,
tanpa keluh,
dengan cinta yang tenang dan tak banyak suara.
Puisi ini ditulis oleh Davynalia Pratiwi Putri, mahasiswi program studi Sastra Indonesia FIB Unmul 2021