Opini

Politisasi Statuta Unmul dan Over Otoritas Rektor

Armin Beni Pasapan, Sekretaris Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Samarinda. (Sumber foto: Dok. Pribadi)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Statuta menurut Peraturan Pemerintah RI No 4 tahun 2014 adalah peraturan dasar Pengelolaan Perguruan Tinggi yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di perguruan tinggi. Secara rinci dapat dikatakan bahwa Statuta adalah pedoman yang paling dasar dalam penyelenggaraan kegiatan yang digunakan sebagai acuan untuk merencanakan, mengembangkan program dan penyelenggaraan kegiatan fungsional sesuai dengan tujuan perguruan tinggi yang bersangkutan. 

Statuta berisi dasar yang dipakai sebagai rujukan pengembangan peraturan umum, peraturan akademik dan prosedur operasional yang berlaku di perguruan tinggi yang bersangkutan. Artinya, Statuta perguruan tinggi adalah pedoman yang sangat strategis dalam mengatur penyelenggaraan perguruan tinggi tersebut.

Dalam konteks organisasi mahasiswa contohnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Secara nasional, GMKI mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART), namun di tingkat cabang setanah air juga memiliki aturan atau pedoman dasar khusus di cabang yang dinamakan Statuta Cabang. Urgensinya adalah untuk mengatur internal cabang, karena tidak semua cabang memiliki dinamika organisasi yang sama. Masing-masing memiliki analisis SWOT cabangnya.

Dalam perguruan tinggi pun sama, karena perguruan tinggi merupakan organisasi. Secara nasional, perguruan tinggi diatur dalam UU No.12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang turunannya adalah PP No.4 tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Dalam setiap Perguruan Tinggi juga memiliki Statuta yang secara umum mengatur jalannya sistem pendidikan di perguruan tinggi tersebut. Jika dikaitkan dengan Statuta Universitas Mulawarman, yang merupakan aturan atau pedoman dasar di dalam lingkungan Universitas Mulawarman. Seperti paparan di atas, Statuta memiliki peran yang sangat strategis. Oleh karena itu, perlu disusun sebaik mungkin sesuai dengan pedoman penyusunan Statuta Perguruan Tinggi.

Universitas Mulawarman sebagai kampus terbesar di Kalimantan yang memiliki kurang lebih 1.200 tenaga pengajar tetap hingga honor dan kurang lebih 37.816 jumlah mahasiswa yang menempuh pendidikan, mulai dari program sarjana hingga doktor, Unmul harusnya memiliki Statuta yang baik. Diketahui bersama, ternyata Statuta Unmul telah kadaluarsa, karena Statuta terakhir adalah Statuta tahun 2004.

Lalu, akhir-akhir ini universitas terbesar di Kalimantan ini menjadi sorotan banyak kalangan, termasuk kalangan mahasiswa, dosen sampai kalangan guru besar. Sorotan tersebut adalah soal dugaan kesalahan mekanisme pada perubahan Statuta Unmul. Melihat hal ini mahasiswa juga harus pro aktif melihat problematika ini. Tahun 2017, Universitas Mulawarman menyandang Akreditasi A, dan itu merupakan prestasi Rektor Prof. Masjaya, M.Si yang menjadikan Unmul sebagai kampus kedua di Indonesia Timur yang memiliki Akreditasi A.

Namun hemat saya, akreditasi ini kontradiksi dengan Statuta Unmul yang diduga pada tahun 2017 berbentuk draft kasaran yang belum disepakati dan masih dalam proses penyusunan. Namun, diduga diakali demi mencapai prestasi Akreditasi A. Padahal, melalui banyak pendapat kalangan, terutama mahasiswa juga menyebutkan Akreditasi tersebut belum layak diberikan pada kampus yang masih tidak aman, fasilitas yang tidak memadai dan akreditasi prodi serta fakultas yang tidak menyentuh angka 5 persen memiliki Akreditasi A.

Kembali pada ribut-ribut soal perubahan Statuta UNMUL yang menuai polemik baru jelang Pemilihan Rektor Juni mendatang untuk Periode 2018-2022. Melalui berbagai media online dan cetak tentang pelanggaran yang dilakukan Rektor Unmul 2014-2018, sembari mempelajari mekanisme perubahan Statuta dan keterlibatan guru besar dalam lingkungan Unmul, saya memiliki opini yang melihat keotoriteran seorang Pimpinan Universitas dan politisasi Statuta Unmul.

Hal ini dapat dilihat dalam cara pembahasan dan pengambilan keputusan terkait Statuta Unmul yang tidak demokratis. Sebagai universitas yang baru memiliki 52 guru besar, harusnya melibatkan seluruh guru besar dalam menggagas Statuta Unmul ini. Sebab, melihat peranan guru besar yang sangat penting dalam suatu perguruan tinggi khususnya di Unmul. Tidak hanya itu, bahkan harusnya berdasarkan mekanisme perubahan Statuta, harus juga diturunkan ke dalam seluruh fakultas, tenaga pengajar dan juga sosialisasi kepada mahasiswa. Agar dalam Statuta tersebut menampung seluruh aspirasi yang memihak kepada seluruh bagian dalam Unmul.

Sikap otoriter Rektor Unmul juga tidak hanya soal Statuta, beberapa di antaranya adalah soal memasukkan pameran Alutista Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam kampus, yang sangat bertentangan dengan semangat reformasi melalui SKB 3 Menteri yang menghapuskan militerisme dalam kampus.

Melihat sikap otoriter ini, mahasiswa harus angkat bicara demi terciptanya demokrasi di dalam kampus. Kembali menyoal Statuta Unmul, hal ini disinyalir kuat dengan kepentingan politik menuju Pemilihan Rektor Juni mendatang. Kepentingan itu diduga berasal dari keinginan Prof. Masjaya untuk maju kedua kalinya memimpin Universitas Mulawarman. 

Berdasarkan informasi yang dihimpun, salah satu konten perubahan Statuta itu adalah dengan tidak adanya hak suara guru besar dalam Pemilihan Rektor, dan hanya didasarkan pada perwakilan Senat Fakultas sebanyak 3 (tiga) suara termasuk dekan di dalamnya yang memiliki 1 (satu) suara. Sudah menjadi rahasia bersama bahwa hampir seluruh dekan fakultas merupakan “orang” atau “pegangan” rektor. Artinya seluruh suara dekan pasti akan mengarah pada rektor. Pun dalam perubahan atau acara yang diagendakan sebagai Workshop Statuta Unmul di Balikpapan juga tidak melibatkan seluruh guru besar yang ada di Universitas Mulawarman. Semua terlihat ditutup-tutupi, bahkan lebihnya adalah dugaan lebih banyak yang diundang dalam agenda di Balikpapan itu adalah kubu rektor untuk mengamankan Statuta tersebut.

Sebagai mahasiswa yang tidak apatis dengan berbagai keadaan di lingkungan kampus, turut prihatin dengan sikap rektor yang cenderung mempolitisasi Statuta Unmul demi kepentingan calon tunggal atau aklamasi dalam Pemilihan Rektor melihat banyaknya calon kuat yang juga akan bersaing adu program dalam Pemilihan Rektor Unmul 2018.

Berarti ada proses lobby to lobby yang berjalan demi memuluskan Statuta Unmul. Ini bukan menjadi rahasia kecil lagi, melainkan rahasia besar melihat banyaknya guru besar dan beberapa mahasiswa yang mengungkapkan kejanggalan dan keresahannya dalam agenda yang terlaksana di Balikpapan tersebut.

Lalu, suara kecil mahasiswa ini seharusnya menjadi kritik membangun bagi rektor agar kembali menginstropeksi diri dalam mengambil segala tindakan agar bijak dalam memberikan keputusan. Persoalan siapapun yang akan menjadi calon-calon rektor itu harus dilakukan dengan cara yang mengedepankan sistem demokrasi yang dianut Bangsa Indonesia. 

Mahasiswa tidak memiliki hak suara dalam pemilihan tersebut, maka inilah yang dilakukan untuk memberikan pendapat. Berharap bahwa tidak ada lagi ke otoriteran dalam kampus, cukup itu terjadi pada rezim orde baru yang mematikan seluruh sistem demokrasi. Dan meminta kepada setiap pihak-pihak yang berwenang untuk segera memproses dan mengusut tuntas politisasi Statuta tersebut.

Ditulis oleh Armin Beni Pasapan, Sekretaris Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Samarinda



Kolom Komentar

Share this article