Perdamaian Para Pihak Melalui Proses Mediasi dalam Sistem Peradilan Agama: Sudah Efektifkah?
Peran mediasi dalam Peradilan Agama
Sumber Gambar: Pexels
Konon katanya, masyarakat Indonesia itu dikenal sebagai masyarakat yang gemar menyelesaikan masalahnya dengan cara damai. Apa benar?
Kalau berdasarkan pengamatan sih, benar, ya, masyarakat Indonesia itu selalu menempatkan tokoh agama ataupun tokoh masyarakat untuk turut membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Biasanya, tempat penyelesaian itu dilakukan di balai pertemuan desa yang dihadiri oleh orang-orang penting setempat. Sedangkan bagi masyarakat Muslim, penyelesaian masalah dengan cara damai (iṣlāḥ) biasanya dilakukan di serambi-serambi masjid, yang kemudian dikenal dengan Pengadilan Agama.
Ajaran damai yang menjadi karakter bangsa Indonesia yang bersumber dari ajaran agama ini kemudian menjadi embrio dalam sistem peradilan. Pengadilan sebelum melakukan penyelesaian secara ajudikatif harus selalu mengajak para pihak untuk berdamai.
Hal ini berdasar dalam konsideran huruf A Perma Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa mediasi (upaya perdamaian) merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
Selanjutnya, dalam huruf B disebutkan pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus.
Melalui Perma Nomor 1 Tahun 2008, mediasi sudah terintegrasikan dalam sistem peradilan dan disebut mediasi peradilan. Setiap perkara perdata yang diajukan di pengadilan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui tahap mediasi. Mediasi di pengadilan dilakukan oleh mediator hakim maupun mediator non hakim yang telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Mediator (PKPM) yang diselenggarakan oleh lembaga yang sudah terakreditasi oleh Mahkamah Agung.
Jadi, tidak bisa asal menerobos tiap ada perkara, harus melewati mediasi dulu, dan tidak bisa sembarang orang yang boleh melakukan mediasi. Harus kita akui, kalau dalam praktiknya, mendamaikan para pihak yang sedang berperkara di pengadilan bukanlah pekerjaan yang mudah, bahkan yang ahli dalam bidangnya sekali pun belum tentu mampu mendamaikan para pihak yang berperkara. Apalagi jika sentimen pribadi lebih mengemuka dibanding pokok persoalan yang sebenarnya.
Kemudian, bagaimana pengimplementasian mediasi dalam pengadilan agama? Apakah sudah berjalan dengan efektif?
Sebagai contoh, proses implementasi mediasi di Pengadilan Jawa Tengah. Pengadilan Agama di Jawa Tengah (Semarang, Surakarta, dan Rembang) telah melaksanakan amanat Mahkamah Agung dalam penyelesaian perkara perdata melalui mediasi yang tertuang dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008. Perkara perceraian yang terdaftar di tiga Pengadilan Agama Jawa Tengah (Semarang, Surakarta, dan Rembang) diselesaikan melalui cara mediasi, dan angka keberhasilannya sangat kecil.
Di Pengadilan Agama Semarang, hanya 23 perkara dari 10.817 perkara perceraian yang didaftarkan. Di Pengadilan Agama Surakarta, keberhasilan mediasi hanya mencapai dua perkara dari 3.217 perkara perceraian yang didaftarkan. Sedangkan di Pengadilan Agama Rembang, keberhasilan mediasi mencapai tujuh perkara dari 4.523 perkara perceraian yang didaftarkan. Terlihat bahwa tingkat keberhasilannya masih jauh dari harapan Mahkamah Agung, yang salah satu tujuan diterbitkannya Perma mediasi adalah untuk menyelesaikan perkara secara win-win solution dan mengurangi jumlah penumpukan perkara.
Timbul pertanyaan, apakah profesionalisme mediator hakim berpengaruh terhadap rendahnya keberhasilan dalam melakukan proses mediasi? Seseorang yang menjalankan fungsi sebagai mediator harus memiliki sertifikat yang diperoleh setelah mengikuti PKPM yang diselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Namun, jika dalam wilayah pengadilan tidak ada hakim yang bersertifikat, maka hakim di lingkungan pengadilan tersebut dapat menjalankan fungsi sebagai mediator.
Dengan demikian, maka bagi hakim yang tidak atau belum bersertifikat pun dapat menjalankan fungsi mediator. Pada teknis pelaksanaannya, hampir semua hakim di Pengadilan Agama bertindak sebagai mediator, karena Ketua Pengadilan harus menunjuk dan mencantumkan nama-nama mediator sekurang-kurangnya lima mediator.
Hal ini dimaksudkan agar semua hakim secara bergantian dapat berfungsi sebagai mediator untuk proses mediasi, di samping melaksanakan tugas utama sebagai hakim untuk proses litigasi. Tujuan lain dari pencantuman semua hakim ini adalah untuk memudahkan para pihak yang berperkara memilih mediator untuk penyelesaian perkaranya.
Kembali pada Pengadilan Agama di Jawa Tengah tepatnya di Semarang, Surakarta dan juga Rembang. Ketiga pengadilan agama tersebut memiliki mediator hakim dan mediator non hakim, yang mana diantaranya telah mengikuti PKPM. Jika memperhatikan angka keberhasilan mediasi pada tiga Pengadilan Agama tersebut, keberadaan mediator hakim yang telah atau belum bersertifikat, tidak berpengaruh signifikan terhadap angka keberhasilan mediasi. Keberhasilan mediasi sangat ditentukan oleh banyak faktor, antara lain kemauan para pihak untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara damai, kemampuan mediator, ruang mediasi, aturan, dan keterlibatan advokat.
Lalu, apakah perdamaian melalui proses mediasi dapat dikatakan tidak efektif? Mengenai keefektifan mediasi, terdapat dua perspektif dari kata “efektif”. Yang pertama, apakah peraturan yang berlaku itu efektif dalam artian berjalan dan dilaksanakan. Yang kedua, makna efektif di sini yaitu apakah hasil yang diharapkan atau target dari peraturan tersebut berhasil.
Apabila keefektifan yang dimaksud pada bagian pertama, Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan berhasil dilaksanakan, berarti Perma ini efektif. Namun, apabila efektif yang dimaksud pada bagian kedua tentang hasil target dari penerapan Perma ini, berarti Perma Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan belum efektif.
Opini ditulis oleh Marisa Amalia Putri, mahasiswi Prodi Ilmu Hukum, FH 2021