Pandailah Seperti Kartini, Jangan Sibuk Percantik Diri
Raden Roro Mira Budiasih, Ketua Umum LPM Sketsa 2016, Mahasiswi Ilmu Komunikasi 2013 Unmul
Tulisan ini lahir dari keprihatinan terhadap kaum sendiri, perempuan. Tak perlulah saya banyak bercakap prihatin itu tentang apa saja. Sebab, semakin ke sini, rasanya perempuan hanya sekadar perhiasan semata. Lainnya, perempuan terjebak dengan zaman. Istilah beken yang kerap diungkapkan yakni kekinian.
Sepertinya agak susah mencari perempuan yang isi kepalanya tidak hanya soal snapgram atau instastory, instagram, path, pacaran, online shop, hingga ootd (outfit of the day/ pakaian yang mereka kenakan hari itu) dan merambah hingga hijab ootd. Mementingkan berapa banyak like yang bisa mereka dapat dan berapa jumlah komentar “Cantiknya” sampai “Subhanallah Ukhti” membanjiri.
Saya akui, sedih melihat perempuan yang kekinian dalam hal tampilan. Sangat susah sekali mencari perempuan yang benar-benar tidak kalah dengan zaman. Iya, perempuan memang sangat senang tampil indah, apalagi keindahan itu dipuji. Tapi tetap saja ada batasan yang seharusnya dipahami.
Saya bukan feminis, hanya berpikir idealis dan tidak mau bermuka manis. Perilaku perempuan kekinian semakin tidak seharusnya, eh, ini bukan berarti saya sudah berperilaku lebih baik. Hanya saja, dalam kacamata awam saya, mereka, perempuan-perempuan kekinian itu mulai beda.
Iya, kodrat perempuan itu untuk dilindungi, baik dalam agama hingga bernegara ada aturannya. Tapi mbok ya jangan terlalu tho, nduk. Jaga sikap itu perlu. Jangan berlomba-lomba terlihat paling menarik, edit sana-sini agar followers naik, hingga bertingkah seolah yang terbaik pun tercantik.
Saya tidak mencaci, hanya menasihati. Bedakan esensi dua kalimat tersebut. Saya hanya berharap semoga tidak terlalu jauh alias kelepasan hura-huranya. Jangan jadikan alasan ‘mumpung masih muda’ untuk bebas lakukan semuanya. Justru masa muda yang jadi bekal selanjutnya. Berlakulah selayaknya perempuan yang memang pantas dikasihi, dilindungi, dan dicintai.
Perempuan hebat itu bukan yang merengek sana-sini, tapi mandiri. Bukan manja yang sukanya leha-leha dan berlindung di ketiak lelaki, tapi tahu diri. Bukan cengeng yang mengemis kasih sayang tiada henti, tapi dihormati. Sadarlah, perempuan itu spesial sekali.
Inspirasi lain lahirnya tulisan ini karena Selasa 11 April lalu saya menghadiri acara Panggung Para Perempuan Kartini di Museum Bank Indonesia, Jakarta. Deretan tokoh perempuan yang saya akui sebagai perempuan pembangun generasi hadir di sana. Beberapa menteri perempuan seperti Nila Djuwita Farid Moeloek, Retno Lestari Priansari Marsudi, Sri Mulyani Indrawati, dan Khofifah Indar Parawansa turut hadir.
Kegiatan diisi dengan pembacaan surat Kartini oleh para tokoh perempuan dan diakhiri dengan fragmen film Kartini oleh Dian Sastro. Selama acara, saya merasa seperti ‘terbangunkan’. Surat-surat Kartini menyentak saya dan membuat saya semakin malu.
Kartini yang lahir pada era 1870-an saja sudah memiliki pikiran yang luas tentang perempuan. Betapa ia ingin dapat kesetaraan, bukan kekinian! Salah satu kutipan suratnya yakni “Pendidikan itu penting, terutama perempuan. Karena ia akan menjadi penentu bagi anak-anaknya.” Perempuan harus terdidik dan pandai mendidik, bukan yang sibuk berkaca apakah ia sudah cantik?
Itulah kodrat perempuan sesungguhnya menurut saya. Perempuan berpendidikan tinggi bukan untuk menyaingi laki-laki, tapi untuk membangun generasi. Tentu istilah ini sudah sering didengar. Dan yah, itu alasan kenapa perempuan harus cerdas. Madrasah utama anak adalah pada ibunya. Sebab pendidikan anak bukan dimulai sejak dini, melainkan sejak lelaki memiliki pasangan.
Intinya perempuan itu spesial. Terlepas dari berbagai banyak stigma negatif orang di luar sana tentang perempuan yang kelakuannya minus, bukan berarti semua perempuan seperti itu. Banyak contoh perempuan cerdas yang berhasil membangun generasi bahkan disegani dan dihormati lelaki.
Jika dalam pikiran Anda tak terlintas siapa perempuan yang seperti itu, maka jadilah perempuan yang dimaksud. Kartini punya cita-cita tinggi untuk kaum perempuan era dia hingga kini. Masa perempuan sekarang malah merusak imej diri?
Betapa ekstensif buah pikiran perempuan kelahiran 21 April 1879 tersebut tentang keperempuanan. Saatnya mengubah diri dan posisikan perempuan sebagai kaum yang pantas dibanggakan karena perannya. Semoga Anda, saya, dan kita para perempuan bisa lebih menempatkan diri secara matang.
Ditulis oleh Raden Roro Mira Budiasih, Ketua Umum LPM Sketsa 2016, Mahasiswi Ilmu Komunikasi 2013 Unmul