Opini

Otak Kebal Hoaks: Kenapa Kita Wajib Punya Literasi Ilmiah?

Literasi ilmiah sebagai kemampuan berpikir kritis agar terhindar dari informasi palsu

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Hyperine (Canva)

Coba kita jujur, seberapa sering sebenarnya kita menerima informasi di obrolan grup keluarga yang judulnya heboh, bahasanya meyakinkan, tapi setelah ditelusuri ulang, justru tidak sesuai dengan kenyataan? 

Era di mana informasi bergerak lebih cepat daripada kita mengedip, hoaks dan klaim palsu menyebar tanpa ampun. Kita bisa saja tergelincir percaya dalam hitungan detik. 

Oleh sebab itu, literasi ilmiah menjadi semacam tameng sekaligus pemadam kebakaran yang menghalangi pikiran kita dari terbakar gosip palsu dan disinformasi yang menyesatkan.

Selama ini,  banyak orang mengira bahwa literasi ilmiah itu hanya tentang menghafal rumus fisika, mengerti istilah biologi, atau bisa menjelaskan Hukum Newton. 

Padahal, esensi dari literasi ilmiah lebih daripada itu. Ia bukan tentang kemampuan menghafal, tetapi tentang pola pikir kritis; kemampuan melihat sebuah klaim, berhenti sejenak, mengangkat alis dan bertanya, “Di mana buktinya?”. 

Di dunia yang penuh suara dan opini, kemampuan bertanya seperti ini justru menjadi fondasi untuk memisahkan apa yang sekadar terdengar meyakinkan dari apa yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Di negara kita, godaan untuk percaya pada hal-hal instan, ajaib, dan dramatis memang besar. Mulai dari obat herbal yang belum pernah melewati uji klinis, sampai teori konspirasi yang alurnya lebih kompleks daripada Sinema Elektronik (Sinetron) prime time

Mengapa hal seperti ini berkembang subur? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya kebiasaan menggunakan metode ilmiah. 

Banyak dari kita belum terbiasa menelusuri bagaimana sebuah data dikumpulkan, seberapa kredibel penelitian yang dijadikan rujukan, dan apa bedanya antara opini pribadi yang sah-sah saja dengan fakta yang sudah diverifikasi secara sistematis.

Ketika seseorang memiliki literasi ilmiah, ia secara otomatis menjadi semacam “detektif” untuk hidupnya sendiri. 

Saat mendengar janji politik yang terlalu muluk atau melihat produk yang klaimnya terdengar seperti mukjizat instan, ia tidak langsung menelan bulat-bulat.  Sebaliknya, ia akan membuka sumber, membandingkan data, dan menimbang apakah informasi tersebut masuk akal secara logis. 

Sikap seperti ini bukan hanya membuat kita lebih sulit tertipu, tetapi juga melatih kita untuk mengambil keputusan yang lebih bijak dan berdampak jangka panjang.

Jika kita ingin menjadi masyarakat yang maju, kita harus keluar dari jebakan pola pikir “Pokoknya percaya”. Literasi ilmiah tidak pernah ditujukan hanya untuk ilmuwan di laboratorium atau mahasiswa sains. 

Ia justru ditujukan untuk semua orang; pemilih yang menentukan arah negara, konsumen yang memilih produk yang mereka pakai, orang tua yang membesarkan anak, dan warga negara yang setiap hari harus membuat keputusan.

Saat kita semua sudah memiliki “Otak Kebal Hoaks”, di situlah kita benar-benar siap membangun masyarakat yang lebih rasional, kritis, dan matang. 

Perjalanan itu dimulai dari langkah sederhana; bukan hanya membaca, tetapi memahami. Bukan hanya percaya, tetapi memverifikasi. 

Opini ini ditulis oleh Luly Galuh Rismala Dwi, mahasiswa Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Unmul 2025. 



Kolom Komentar

Share this article