Opini

Kusut Masai Perburuhan di Indonesia

Hari Buruh Internasional 2019.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber gambar: Istimewa

Selayaknya yang sudah-sudah, Hari Buruh yang jatuh tepat 1 Mei tentu menjadi momentum tepat bagi setiap individu. Mulai dari orasi, aksi turun ke jalan, hingga potret kilas balik perjuangan buruh di pelosok negeri.

Berbagai macam kalangan tentu memaknai Hari Buruh dengan cara yang berbeda-beda. Mulai dari nasional hingga daerah, semua elemen masyarakat sepakat untuk menyuarakan buah pikir mereka. Sebagai contoh yang baru saja terjadi di ibukota, tepatnya peringatan Hari Buruh di Senayan pagi tadi. Bertepatan dengan gelaran pesta demokrasi yang sedang hangat diperbincangkan juga membuat panitia pelaksana May Day di Jakarta menayangkan video terkait dugaan kecurangan selama prosesi pemilihan umum.

Gemuruh teriakan buruh tak dapat terbendung lagi. Istora pagi tadi penuh sorak-sorai menertawakan video yang menampilkan bobroknya pelaksanaan demokrasi kali ini. Peringatan May Day yang digelar di Jakarta juga terasa euforianya hingga ke daerah.

Sebagai salah satu kota dengan penduduk cukup banyak, Samarinda juga tak ketinggalan ikut menggelar aksi memeringati May Day. Mulai dari mahasiswa hingga masyarakat sama-sama sepakat untuk turun ke jalan guna menyalurkan hak berpendapat mereka.

Agaknya tak berlebihan jika May Day selalu diwarnai dengan aksi protes di berbagai daerah. Bagamana tidak jika ternyata hukum perburuhan saat ini masih carut-marut, baik dari segi pelaksanaan hingga penegakan. Mulai dari kerja delapan jam bahkan lebih per hari, upah yang tumpang tindih, hingga tidak adanya jaminan sosial bagi mereka.

Katakan saja lagu lama, karena nyatanya persoalan upah buruh hingga kini masih ngalor-ngidul. Bahkan tak jarang upah yang diberikan tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang ada. Belum lagi jika upah tersebut tidak mampu meng-cover seluruh biaya hidup yang kian meroket.

Tak berhenti sampai di situ, pemberhentian secara sepihak yang dialami oleh buruh tak pelak berujung pada polemik-polemik tak berujung di pengadilan. Belum lagi soal tenaga kerja asing yang semakin ‘dimanja’ oleh pemerintah melalui serangkaian aturan yang dikeluarkan pemerintah itu sendiri. Jangan lupakan juga soal out sourching yang kian hari makin menyiksa.

Lagi-lagi makna May Day kembali dipertanyakan. Jika semua buruh yang merasa tidak mendapat hak mereka sudah menyuarakan pendapatnya, lantas apa langkah selanjutnya? Nampaknya hal ini yang masih terus menjadi PR bagi semua pihak. Mulai dari pemerintah, perusahaan, hingga buruh itu sendiri. Sebuah PR yang tiap tahunnya selalu bertambah, bagaikan jalan yang tak ada ujungnya. 

Ditulis oleh Suti Sri Hardiyanti, mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISIP 2016. 




Kolom Komentar

Share this article