Opini

Kita Semua (Pernah Jadi) Anak-anak

Sebuah opini untuk merayakan Hari Anak Sedunia karya Mahmudhah Syarifatunnisa, mahasiswi Manajemen, FEB 2016.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: Google.com

Ketika berbicara soal anak-anak, yang mungkin akan terlintas pertama adalah wajah menggemaskan dengan mimik ceria dan tingkah yang lincah. Anak-anak juga memiliki insting keingintahuan tinggi, yang membuat anak-anak adalah aset dunia paling berharga dan diharapkan memiliki masa depan yang gemilang.

Hal inilah yang mendasari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk sebuah badan yang bernama UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund), yang tak hanya sekadar melindungi namun juga menyelamatkan kehidupan anak-anak, membela hak-hak mereka, serta menyelenggarakan pendidikan untuk membantu mewujudkan potensi anak-anak dan remaja. PBB juga menetapkan tanggal 20 November sebagai Hari Anak Sedunia. Lihat, anak-anak itu spesial, kan?

Hanya saja, walau badan perlindungan untuk anak-anak telah dibentuk, masih saja ada segelintir orang dewasa yang menyakiti anak-anak baik verbal maupun fisik. Contoh sederhana, beberapa orang tua mengucapkan kata-kata kotor kepada anaknya dan ini dianggap sebagai hal yang lumrah. Kita memang tak tahu efek yang mungkin akan terjadi kepada anak tersebut, namun sang anak akan meniru tindak tanduk orang tuanya tanpa mengerti apa artinya.

Kemudian, ada beberapa orang tua yang mempekerjakan anaknya sebagai pekerja kasar, ditambah dengan kekerasan lain yang dilayangkan kepada anak tersebut. Contohnya seperti peristiwa pada September 2019 lalu di Kota Lhokseumawe, Aceh. Di mana seorang anak berinisial MS dipaksa mengemis oleh orang tua tirinya dan uang hasil mengemis tersebut digunakan untuk membeli narkoba. Mirisnya, MS akan dikurung dan dipukul jika hasil mengemis tersebut tidak mencapai target. Kasarnya, anak-anak hanyalah fasilitas untuk memenuhi kebutuhan orang tua.

Anak-anak yang harusnya menghabiskan waktunya dengan bermain bersama teman seusianya, mendapatkan kasih sayang baik dari orang tuanya atau lingkungan sekelilingnya, malah harus tertindas oleh hasrat jahat orang tuanya atau orang dewasa di sekitarnya. Sejujurnya, para orang dewasa ini pernah menjadi anak-anak, bukan? Apa mereka tidak berpikir akan rasa sakit yang dialami oleh anak-anak yang tersebut?

Mungkin ini menjadi pelajaran tambahan bagi orang tua, terutama bagi kalian yang akan berumah tangga, untuk memperlakukan anak-anak sebagaimana mereka makhluk yang punya hak hidup di dunia. Kalau Anda kelak memperlakukan anak Anda atau anak orang lain dengan kasar, apa Anda akan bangga dan dicap sebagai orang hebat?

Kalau menurut saya, masa orang dewasa beraninya sama anak kecil? Masa orang dewasa berani untuk menindas makhluk kecil yang tidak mengerti apa-apa? 

Eksploitasi anak sudah lama menjadi momok permasalahan. Anak yang seharusnya dirawat sedemikian rupa agar potensi mereka berguna bagi masyarakat di masa depan, malah dieksploitasi dan melakukan kegiatan berat yang biasa dikerjakan oleh orang dewasa. Mereka memiliki hak yang sama pentingnya dengan orang dewasa, mereka juga bagian dari lingkungan sosial. Berhubungan dengan lingkungan sosial, sebagai orang tua atau orang dewasa, sudah sepatutnya menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan aman. 

Toh, kita semua pernah melewati fase menjadi anak-anak. Memiliki pemikiran yang masih lugu dan polos, tatapan sayang dan gemas dari orang sekitar saat kita masih kecil, dan sangat dilindungi oleh orang tua kita. Jarang sekali kita mendengar nada marah atau makian, waktu makan sangat diperhatikan, tidakkah kalian merindukan kasih sayang itu?

Mendidik anak tidak perlu harus menegangkan urat, tidak perlu pula dengan nada tinggi, tidak juga dengan pukulan atau tamparan. Kita bisa mengajarkan hal-hal disiplin kepada mereka tanpa rasa otoriter yang berlebihan. Anak-anak juga bisa diberi pengertian dan pemahaman tanpa menyalahi hak mereka. Beri perlindungan yang cukup tanpa memberi kesan over protect. Berceritalah tentang pengalaman menyenangkan Anda semasa kecil kepada anak tanpa kesan menggurui.

Perlu diingat kembali, kita semua pernah jadi anak-anak. Kita semua juga ingin punya pengalaman masa kecil yang indah, kan? Begitu juga anak-anak lainnya. 

Ditulis oleh Mahmudhah Syarifatunnisa, mahasiswi Manajemen, FEB 2016.



Kolom Komentar

Share this article