Opini

Ketika Program Bergizi Justru Berbalik Menjadi Bencana

Keracunan massal MBG menyingkap lemahnya pengawasan pangan dan rapuhnya akuntabilitas penyelenggara program

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang sebagai salah satu terobosan besar pemerintah untuk memperbaiki kualitas gizi anak-anak Indonesia. Tujuannya mulia untuk memberikan makanan sehat dan bergizi agar tidak ada lagi generasi yang kekurangan nutrisi. Namun, kehebohan baru-baru ini membuat publik terhenyak, ribuan anak dilaporkan keracunan setelah mengonsumsi menu dari program MBG.

Menurut data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sepanjang 2025 tercatat 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan MBG di 10 provinsi, dengan total korban mencapai lebih dari 6.400 orang. Angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah potret kelalaian serius dalam pengawasan mutu makanan yang seharusnya menjadi simbol kepedulian negara terhadap rakyatnya.

Niat Baik Tak Cukup Bila Pelaksanaannya Asal-Asalan

Tak ada yang salah dengan niat menyediakan makan bergizi gratis. Tapi niat baik bisa berubah jadi bencana jika tidak diiringi dengan manajemen dan pengawasan yang ketat. Banyak dapur penyedia MBG yang ternyata belum memenuhi standar higienis, tidak memiliki sertifikasi keamanan pangan, dan minim pelatihan tenaga dapur.

Beberapa laporan juga menyebutkan bahan makanan yang digunakan tidak segar, distribusi makanan berlangsung lama di suhu terbuka. Bahkan ada kasus makanan yang disiapkan sehari sebelumnya tanpa pendinginan memadai. Dalam konteks pangan massal untuk anak-anak, kelalaian sekecil apa pun bisa berakibat fatal.

Akuntabilitas dan Pengawasan: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Program sebesar MBG semestinya memiliki mekanisme kontrol berlapis. Sayangnya, realitas menunjukkan lemahnya pengawasan di lapangan. Koordinasi antara BPOM, Dinas Kesehatan, dan instansi pengelola gizi di tingkat daerah tampak belum solid.

Tak jarang, dapur MBG dikelola oleh pihak ketiga tanpa pemantauan langsung sementara sekolah dan orang tua hanya bisa pasrah dengan apa yang disediakan.

Dalam kasus ini, publik berhak bertanya: siapa yang memastikan makanan tersebut aman? Siapa yang bertanggung jawab ketika ribuan anak jatuh sakit? Tanpa akuntabilitas yang jelas, kepercayaan publik terhadap program pemerintah akan terus menurun.

Dampak Lebih Luas dari Sekadar Masalah Kesehatan

Keracunan massal anak-anak sekolah bukan hanya soal perut mual atau pusing. Ini adalah krisis kepercayaan. Orang tua menjadi ragu untuk mengizinkan anak-anak mereka ikut program MBG. Sekolah pun kebingungan antara menjalankan kebijakan pusat atau melindungi siswanya dari risiko kesehatan.

Lebih jauh, kasus ini menciptakan beban tambahan bagi sistem kesehatan daerah yang sudah padat. Rumah sakit di beberapa wilayah dilaporkan kewalahan menampung korban keracunan. Semua ini menunjukkan bahwa dampaknya jauh melampaui sekadar insiden sementara ini menyentuh ranah psikologis, sosial, dan ekonomi masyarakat.

Perbaikan: Dari Reaktif ke Sistemik

Kasus MBG harus menjadi cermin untuk memperbaiki tata kelola program sosial di Indonesia. Langkah-langkah konkret yang perlu segera dilakukan antara lain:

  1. Audit menyeluruh terhadap semua dapur penyedia MBG di Indonesia.
  2. Pelatihan keamanan pangan wajib bagi seluruh tenaga pengolah makanan.
  3. Transparansi publik, dengan laporan rutin soal kualitas, proses distribusi, dan sumber bahan makanan.
  4. Penegakan hukum tegas terhadap pihak yang lalai atau sengaja melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP).
  5. Pelibatan sekolah dan orang tua dalam pengawasan harian distribusi makanan.

Langkah-langkah ini tidak bisa sekadar simbolik. Harus ada perubahan sistemik agar tragedi seperti ini tidak menjadi pola tahunan.

Belajar dari Tragedi

Program MBG adalah ide yang baik bahkan sangat baik. Tapi niat baik tidak akan menyelamatkan siapa pun bila tidak diikuti tindakan profesional dan tanggung jawab moral. Kita tak boleh melupakan ribuan anak yang menjadi korban. Mereka bukan sekadar angka dalam laporan. Mereka adalah wajah dari kegagalan manajemen yang seharusnya bisa dicegah.

Pemerintah harus menunjukkan bahwa keselamatan rakyat lebih penting daripada sekadar pencitraan keberhasilan program. Sebab, makanan bergizi seharusnya menguatkan tubuh, bukan melemahkan bangsa.

Opini ini ditulis oleh Muhammad Restu Singgih, mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2025



Kolom Komentar

Share this article