Opini

Kampanye Kuno dan Kampanye Kini

Merefleksikan kembali gaya lama kampanye di era digitalisasi zaman kini

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Bayangkan jika di pemilihan umum serentak kali ini kampanye para peserta pemilu tidak menggunakan spanduk, tidak menggunakan amplop-amplop untuk serangan fajar seperti dulu. Bayangkan saja dulu. Toh, ini sudah eranya digitalisasi. 

Atau mungkin, dalam satu Dapil (Daerah Pemilihan) itu dibatasi, pemerintah hanya menyediakan satu tempat khusus untuk menampilkan para peserta pemilu, untuk memfasilitasi orang-orang gaptek (gagap teknologi) atau yang tak punya telepon genggam. Karena para peserta pemilu pasti sudah diperkenalkan lewat laman KPU. 

Apalagi Kalimantan Timur, yang menurut survei Status Literasi Digital yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika yang bekerja sama dengan Katadata Insight Center adalah provinsi nomor tiga se-Indonesia yang masyarakatnya melek literasi digital (Diskominfo Kaltim, 2023).

Berbicara soal spanduk-spanduk yang berhamburan di sepanjang jalan raya hingga masuk ke gang-gang pemukiman. Sastrawan besar Indonesia, Goenawan Mohamad pernah bertanya melalui catatan pinggirnya. "Siapa yang kini membaca spanduk? Kecuali bila tak sengaja" (1976). Pertanyaan itu rasa-rasanya sangat relevan hari ini. Bahkan memicu pertanyaan "Dilihat dari manfaat dan mudaratnya, apakah memang perlu spanduk sebanyak itu?" 

Bukankah nanti setelah kampanye akan berakhir sebagai sampah saja. Bukankah spanduk-spanduk caleg alias calon legislatif, capres-cawapres isinya hanya gambar muka dengan segala macam pose tangan, nomor urut, dan jargon-jargon klise? 

Bukankah biaya pembuatan dan pemasangan spanduk itu mahal? Bukankah kayu-kayu yang digunakan lebih bermanfaat untuk dijadikan kandang ayam daripada untuk memajang spanduk? Bahkan ada yang menduga-duga bahwa para peserta pemilu saling berlomba dalam memasang spanduk sebanyak-banyaknya untuk adu gengsi dan menunjukkan modal siapa yang paling banyak.

Padahal pada pemilu serentak tahun 2024, Daftar Pemilih Tetap (DPT), kita bicara Kalimantan Timur, dari 2,7 juta pemilih hampir setengahnya adalah pemilih muda, 1 juta millennial dan 670 ribu Gen Z (Diskominfo Kaltim, 2023). Pastinya generasi muda yang haus gagasan, paham demokrasi, dan melek literasi digital. Kita harus sepakat (optimis) pada hal itu. Mereka adalah suara penting dalam pemilu kali ini. 

Oleh karena itu, para caleg yang ada di Kalimantan Timur, ataupun capres-cawapres yang berkampanye di Kalimantan Timur agaknya harus membawa ide segar untuk mengatasi berbagai masalah di sini, Menawarkan visi misi dengan cantik, dan meninggalkan metode kampanye masa lalu yang sudah tidak relevan atau sekadar pencitraan. Apalagi main curang, main politik uang. Karena selama amplop menjadi penentu dalam pemilihan pemimpin kita, selama itu pula korupsi akan terus melekat di otak para pejabat kita.

Barangkali sebelum hari pencoblosan nanti, kita sama-sama harus refleksi. Mungkin membaca kembali puisi Gus Mus "Di Negeri Amplop". Sudah semestinya kita harus beranjak menuju pemilu yang ideal untuk menciptakan pemimpin yang berkualitas, cinta terhadap rakyat dan lingkungannya. Masyarakat harus ditawari gagasan bukan amplop sebelum pencoblosan. Dan saya kira kampanye gagasan sudah ada contohnya, cari saja di media sosial. Sudah ada!

Opini ini ditulis oleh Zukhrizal Irbhani, Kepala Bidang Relasi Komunitas Laboratorium Intelektual Humanawa, Sastra Indonesia, FIB 2020.



Kolom Komentar

Share this article