Opini

Joget di Rapat, Tangis di Jalan: Demo, DPR, dan Harga Diri Rakyat

Demo bukan sekadar protes, tapi perlawanan atas martabat

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Rahman/Sketsa

Jalanan hari ini bukan sekadar jalur transportasi, tapi sudah berubah menjadi ruang sidang rakyat. Asap mengepul, spanduk terbentang, suara toa meraung di antara ribuan massa. Demo kembali hadir, seperti tradisi tahunan, bahkan bulanan yang ironisnya jauh lebih konsisten daripada program kerja para wakil rakyat. Orang-orang turun bukan karena ingin pamer keberanian, melainkan karena sudah tidak tahu lagi harus bicara lewat cara apa.

Di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ruangan berpendingin yang tetap sejuk. Kursi empuk yang tetap terisi sebagian, sisanya kosong atau diisi pejabat yang entah hadir raga atau hanya jasad. Di dalam sana, rakyat seharusnya terwakili. Tapi kenyataannya, suara yang terdengar lebih sering berasal dari kepentingan segelintir pihak, bukan dari jeritan perut masyarakat.

Kemarahan rakyat yang sudah menumpuk bertahun-tahun, tiba-tiba menyala lebih besar gara-gara satu kalimat pendek: seorang pejabat dengan enteng menyebut rakyat “tol*l.” Kata itu meledak lebih keras daripada petasan di tengah malam. Bagaimana tidak? Rakyat yang memberi gaji, yang membayar pajak, yang menopang hidup pejabat, justru dihina di depan publik. Bagi rakyat, ini bukan lagi soal kebijakan yang salah, tapi soal martabat yang diinjak!

Seakan belum cukup, publik juga disuguhi tontonan lain. Rapat kebijakan yang mestinya serius berubah jadi panggung joget. Ya, berjoget di saat rakyat gusar soal harga beras, listrik, dan BBM. Gerakan tubuh yang entah dimaksudkan untuk mencairkan suasana, justru jadi simbol betapa jauhnya pejabat dari penderitaan rakyat. Dari sinilah muncul bunyi yang menggema di jalanan: “kebijakan tol*l lahir dari rapat yang tol*l pula”.

Rakyat kemudian membalas dengan bahasa mereka sendiri. Poster-poster demo kini lebih kreatif daripada iklan politik. Ada wajah pejabat digambar dengan kepala badut, ada spanduk yang menertawakan kata “tol*l,” ada orasi yang penuh ejekan tajam. Bahkan di media sosial, meme-meme bertebaran, menjadikan DPR bukan lagi rumah aspirasi, tapi rumah sandiwara yang jadi bahan tawa.

Namun, di balik perjuangan rakyat menuntun keadilan, ada tragedi yang tak bisa diabaikan. Seorang pengemudi ojek online tewas dilindas saat demo berlangsung. Ia bukan orator, bukan pemimpin massa, hanya seorang pekerja yang kebetulan berada di jalan. Ia keluar rumah untuk mencari nafkah, tapi pulang tinggal nama. Demo yang bagi sebagian orang hanya headline berita, bagi keluarganya adalah duka yang nyata. Inilah wajah kemanusiaan paling pahit: Rakyat bersuara, rakyat juga yang harus menanggung nyawa.

Dampak demo tidak berhenti di aspal. Pasar modal ikut terguncang. Investor gelisah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rontok, rupiah melemah. Di layar bursa, angka hijau mendadak jadi merah. Analis berbicara dengan jargon klise: “Fundamental ekonomi kita masih kuat”. Tapi rakyat di pasar tradisional lebih percaya pada harga cabai daripada pidato ekonom. Karena bagi mereka, yang penting bukan fundamental ekonomi, melainkan fundamental dapur: Apakah uang masih cukup untuk beras, bensin, dan biaya sekolah anak?

Ironisnya, pejabat yang bikin masalah tetap aman: Gaji jalan terus, tunjangan tetap cair. Sementara rakyat harus menghadapi efek domino: Harga makin mahal, kerja makin susah, hidup makin berat. Inilah ironi: Rakyat teriak karena perut kosong, pejabat tertawa sambil berjoget; rakyat kehilangan nyawa di jalan, pejabat sibuk berkilah di podium.

Klimaksnya tiba ketika rakyat sadar: Demo ini bukan lagi soal kebijakan, tapi soal harga diri. Mereka tidak bisa lagi diam setelah dihina. Mereka tidak bisa lagi menunggu setelah melihat rapat yang berubah jadi hiburan. Mereka tahu, kalau terus diam, keadaan hanya akan semakin parah.

Poster-poster di jalan kini tidak hanya bicara soal ekonomi, tapi juga ejekan balik. Kata “rakyat tol*l” yang dulu dilontarkan pejabat kini berbalik arah, menjadi bahan bakar satire yang lebih pedas. Rakyat menunjukkan bahwa mereka tidak tol*l, justru mereka cerdas, karena berani turun dan melawan. Dan mungkin, justru pejabat lah yang pelan-pelan memperlihatkan wajah itu sendiri: Dengan kebijakan ngawur, dengan joget di rapat, dengan hinaan yang tak pantas.

Inilah kepahitan yang diterima negeri ini: Di dalam gedung DPR, pejabat tertawa; di luar gedung, rakyat berteriak; di jalan, ada yang mati; sementara rupiah ikut merintih, IHSG ikut menangis.

Selama pejabat masih bercanda di atas penderitaan rakyat, selama rapat masih dianggap panggung hiburan, selama kata-kata merendahkan masih dilontarkan, maka demo akan selalu ada. Semakin besar, semakin marah, semakin sulit dibendung.

Dan pada akhirnya, demo hari ini adalah bukti bahwa rakyat tidak pernah tol*l. Mereka paham apa yang diperjuangkan. Mungkin, bentuk satire terakhir akan ditulis bukan di spanduk, bukan di meme, tapi di sejarah. 

Opini ini ditulis oleh Haicdil Fitriansyah, alumni Program Studi Sastra Indonesia FIB Unmul 2015



Kolom Komentar

Share this article