Opini

Greenwashing dan Narasi Soal Ramah Lingkungan

Opini Lingkungan.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Istimewa

Beberapa brand baik dari perusahaan terkemuka dan yang belum, kerap menyematkan klaim “ramah lingkungan”. Demi meyakinkan konsumen bahwa brand-nya memiliki kepedulian terhadap isu lingkungan saat ini. Tapi pertanyaan terpenting adalah, apakah perusahaan telah merogoh kocek untuk benar-benar bertanggung jawab atas aktivitas industri yang mereka lakukan kepada lingkungan dan masyarakat?

Untuk diketahui, awal mulanya istilah greenwash terjadi atas kritik Jay Westerveld lewat esainya terkait praktik industri sebuah hotel pada 1986. Peneliti sekaligus ahli lingkungan itu menyampaikan pandangannya soal inisiasi sebuah hotel “save the towel”, dengan alasan penyelamatan terumbu karang untuk lingkungan.

Tetapi sebaliknya, solusi atas lingkungan itu tak siginifikan, lain halnya dengan keuntungan yang hotel tersebut peroleh lewat inisiasi tersebut. Save the towel itu menurut Jay malah kontradiktif dengan apa yang hotel itu inisiasi, sebab hotel tersebut berekspansi ke arah pantai.

Hal-hal senada itulah yang kini kian masif. Perusahaan tak ubahnya membelokkan narasi soal ramah lingkungan, soal produk yang menyelamatkan lingkungan. Padahal di sisi lain, mereka mendulang untung atas inisiasi atau keterlibatan mereka yang ‘tampaknya’ peduli. Atas inisiasi mereka yang pada akhirnya menggerakkan masyarakat untuk membeli produk mereka. Pada akhirnya, call to action yang mereka bangun adalah pembelian produk, bahkan repeat order.

Strategi komunikasi dalam membentuk citra hijau inilah yang dikenal sebagai greenwashing. Kekeliruan ini hadir bukan saja murni dari pelaku industri, tapi juga sistem yang ada, baik dari regulasi yang dibuat atau untuk kebutuhan pasar. Dengan citra yang terbangun di masyarakat, brand akan mendapatkan perhatian atas posisi mereka yang ‘kelihatannya’ solutif dan reponsif terhadap isu lingkungan.

Salah satu brand air minum dalam kemasan (AMDK) terkenal di Indonesia, menyatakan dalam iklan bahwa produknya memiliki 3 perlindungan. Salah satu perlindungan yang disebut berkenaan dengan ekosistem sumber airnya. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi pada 2010 mencatat total terdapat 102 perusahaan besar yang terdaftar memanfaatkan air tanah di kabupaten Sukabumi, dari perusahaan garmen hingga perusahaan air minum dalam kemasan.

Beberapa media siber menyebut, daerah Sukabumi yang dikenal dengan mata airnya, warga sekitar kini kesulitan untuk dapatkan akses air bersih. Ironi itu hanya satu dari sekian banyaknya dampak yang terjadi. Di sinilah peran kita sebagai masyarakat sekaligus konsumen agar skeptis terhadap informasi yang didapat mengenai suatu produk. Tak lantas mengagungkan mereka yang menawarkan klaim 'hijau'. Baik dari produk AMDK, skincare, fesyen, bahkan sektor industri lain yang lebih besar seperti pertambangan.

Mengenali greenwashing yang dilakukan perusahaan memang cukup sulit, mengingat akhir-akhir ini banyak produk dari bisnis yang dibangun bertebaran. Namun, biasanya penyematan kata eco-friendly, sustainable, biodegradable, atau organik tanpa mendapat makna yang jelas, perlu dipertanyakan. Hal lainnya adalah ketika pemasaran suatu produk menonjolkan sesuatu yang tampak 'hijau', tapi aspek lain tak mendukung narasi itu.

Hal yang paling penting ialah menyortir informasi, yang bisa didapat dari kemasan dan media sosial produk tersebut. Contoh paling mudah bisa dikaitkan dengan produk skincare. Kerap produk skincare menyematkan kalimat natural, organik, atau bahkan menggunakan elemen alam seperti planet, earth, green, dan hal senada. Kita bisa mengecek ulang dalam platform kredibel soal kesehatan, jurnal atau bahkan penelitian. Benar tidaknya komposisi yang mereka pakai sejalan dengan promosi yang ditawarkan.

Apakah media sosial mereka menampilkan informasi dan awareness terkait lingkungan? Apakah informasi yang mereka tawarkan di media sosial hanya sebatas untuk content marketing? Bagaimana komitmen mereka dalam meminimalisir risiko pencemaran lingkungan selain recycling? Konsistenkah brand tersebut dalam menyuarakan suatu isu? Ataukah isu tersebut sebatas nama dan klaim-klaim yang lebih sering multitafsir?

Tidak skeptisnya kita sebagai konsumen sejalan dengan maraknya fenomena greenwashing. Sebab ketika membahasnya tak berhenti pada lingkungan saja. Tapi bagaimana keterlibatan produsen dalam mendorong daya literasi konsumen dalam bijak mengonsumsi. Efisien dalam menggunakan suatu produk. Hal yang terjadi hari ini, masyarakat hanya dikonversi menjadi angka penjualan. Ketidaksanggupan kita dalam literasi suatu produk sering dipermainkan untuk mendulang laba.

Ditulis oleh Restu Almalita, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP 2018.



Kolom Komentar

Share this article