Opini

Distribusi Air PDAM Belum Merata, Warga Samarinda Menjerit

Akses air bersih di Samarinda tidak merata, warga di beberapa wilayah kekurangan pasokan air bersih dan harus membeli mahal

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Lucky Politank

Distribusi air bersih masih menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda. Masalah distribusi air yang tidak merata menunjukkan lemahnya manajemen, keterbatasan infrastruktur, dan minimnya investasi pada sistem perpipaan yang andal. 

Kondisi ini membuat sejumlah kelurahan harus membeli air dari perusahaan swasta yang jauh lebih mahal daripada (Perusahaan Daerah Air Minum) PDAM. Ini yang menjadi tantangan besar bagi masyarakat maupun Pemkot Samarinda ke depannya.

Di beberapa wilayah seperti Samarinda Seberang, Loa Janan Ilir, dan Sambutan, warga sering mengeluhkan pasokan air yang tidak stabil. Mereka harus antre berjam-jam untuk mendapatkan air dari mobil tangki atau membeli air bersih dengan harga mahal dari sumur bor swasta. Bahkan, ada yang terpaksa menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari, meski risiko kesehatan sangat tinggi. 

Sementara itu, di kawasan elit atau pusat kota, air PDAM mengalir lancar tanpa gangguan. Inilah yang menjadi tantangan dan membuat masyarakat masih kesulitan dalam penggunaan air.

Pemkot Samarinda memegang peran utama dan strategis dalam menyelesaikan masalah distribusi air yang belum merata. Sebagai penanggung jawab kebijakan dan pengawas PDAM, pemerintah harus bertanggung jawab memastikan warga mendapatkan air secara adil dan merata tanpa diskriminasi. 

Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap infrastruktur jaringan distribusi air, mulai dari sumber air, instalasi pengolahan, hingga pipa distribusi. Penataan dan regenerasi sistem ini harus menjadi prioritas agar kapasitas produksi dan distribusi bisa memenuhi kebutuhan yang terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk.  

Pemkot Samarinda dan PDAM harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem distribusi air. Peremajaan jaringan pipa, penambahan kapasitas produksi, dan perluasan jaringan ke wilayah-wilayah yang selama ini terabaikan harus menjadi prioritas. 

Transparansi pengelolaan anggaran dan pelibatan warga dalam pengawasan pelayanan juga penting untuk memastikan keadilan. Dari sinilah peran pemerintah dibutuhkan karena bisa menjalin komunikasi aktif dengan masyarakat. Hal ini dilakukan agar penanganan distribusi air berjalan efektif dan berkelanjutan. 

Selain itu, masyarakat harus andil menyuarakan suara karena masalah yang dihadapi bukan masalah yang harus diabaikan, mengingat semua masyarakat berhak mendapatkan air bersih yang layak. 

Hal ini penting agar masyarakat tidak mengalami ketimpangan di saat pemerintah hanya berdiam diri. Maka dari itu, pemerintah harus mendengarkan hak masyarakat, sehingga masyarakat dan pemerintah menjadi setara tanpa ketimpangan. 

Ketimpangan ini juga memperluas jurang sosial. Warga miskin dan tidak mampu menjadi kelompok paling terdampak, sementara warga kaya tetap bisa menikmati akses air bersih tanpa hambatan. Hal ini memperkuat stigma pelayanan publik di Samarinda hanya untuk segelintir orang.

Saya sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul, telah meyakini permasalahan ini bisa diatasi walaupun belum bisa direalisasikan untuk ke depannya. 

Oleh karena itu, diperlukan beberapa tahapan untuk menyelesaikan masalah ini. Salah satunya dengan mewawancarai warga, tokoh masyarakat, dan petugas PDAM untuk mendapatkan gambaran lengkap permasalahan distribusi air. 

Dengan mewawancarai tokoh masyarakat serta tokoh publik lainnya, kita menjadi tahu bahwa kita bisa menyuarakan aspirasi mereka dengan menyebarkan opini melalui media, baik internet maupun di berbagai forum lainnya.

Krisis air bersih di Samarinda bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan keadilan sosial. Masyarakat membutuhkan solusi yang nyata, bukan hanya sekedar janji dan alasan. 

Samarinda harus bergerak cepat untuk memastikan hak atas air bersih bisa dinikmati oleh semua warga, tanpa terkecuali. 

Opini ini ditulis oleh Muhammad Nabil Kurniawan, mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2025.



Kolom Komentar

Share this article