Opini

Darurat Pornografi Anak

Marak fenomena pornografi pada anak, Sulastri Khasan, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan BEM FKIP UNMUL menuliskan opininya. (Sumber foto: republika.co.id)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Bola panas kembali menghampiri Indonesia. Pasalnya menjelang peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli ini, beberapa kasus pelanggaran terhadap hak anak mencuat ke permukaan. Kalimantan Timur lagi-lagi masuk daftar penyumbang kasus yang super sensitif ini. Terbukti dari temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Samarinda yang menyatakan bahwa 90 persen anak di kota Samarinda sudah pernah terpapar konten pornografi. Tidak hanya sampai di situ, bulan Mei lalu kasus pornografi anak melalui Skype terbesar kedua di Indonesia yang terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara berhasil diungkap.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi memang telah lama diterbitkan, namun fakta di lapangan tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Pornografi masih tumbuh dan berkembang pesat bahkan di kalangan anak-anak sekalipun. Rata-rata anak di umur 11 tahun-lah yang pertama kali terpapar konten pornografi. Senada dengan hal tersebut, KPAI mencatat semakin meningkatnya pelajar pengguna internet di tahun 2016 yaitu sebanyak 8,3 juta anak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia juga menyampaikan data yang diperolehnya dari Interpol dan Polri, di mana setiap harinya terdapat 25.000 aktivitas pornografi anak baik yang diunduh maupun diunggah melalui internet. End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) juga melengkapi data krusialnya kehidupan anak-anak di dunia maya. ECPAT mencatat terdapat sekitar 100.000 website ilegal yang berkaitan dengan pornografi terhadap anak. Tidak mengherankan jika tahun 2016 lalu, KPAI merilis tiga besar kasus pelanggaran hak anak dan pornografi termasuk di dalamnya.

Sangat  parah. Kenyataan yang telah dipaparkan di atas, menunjukkan betapa anak Indonesia telah diciderai oleh kepentingan orang dewasa untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya uang. Bagaimana tidak, data yang berhasil dihimpun dari The Wall Street Journal menunjukkan bahwa situs dengan konten  pornografi menghasilkan laba sangat besar hingga mencapai 18 miliar USD per tahunnya. Jika demikian, nampaknya penegak Undang-Undang Pornografi dan Perlindungan Anak telah kehilangan tajinya.

Pemangku kebijakan negeri ini tidak serius untuk menindak tegas permasalahan di atas. Mereka lupa akan fungsinya sebagai pelindung dan penjamin hak bagi penerus peradaban. Mereka terlalu asyik mempertontonkan aksi salah urus negara, mulai dari pemblokiran telegram hingga penerbitan berbagai Undang-Undang. Jika mereka selalu memandang pornografi sebelah mata, maka  efek yang ditimbulkan benar-benar tidak bisa dianggap demikian. Kita ketahui bersama bahwa anak-anak memiliki kemampuan daya tangkap yang baik. Apa yang mereka lihat, dengar atau rasa bisa saja ditirunya. Disadari atau tidak, pornografi telah menjadi pintu masuk kejahatan seksual, di mana anaklah yang menjadi objek bahkan subjek kejahatan.

Mirisnya lagi, menurut berita yang dilansir Fight The New Drug, kecanduan pada pornografi sama parahnya dengan kencanduan mengonsumsi narkoba. Inilah kiranya yang menjadikan para orang tua dan juga guru meronta kesakitan akibat menjamurnya konten berbau pornografi. Keadaan ini diperparah dengan meroketnya kasus pelanggaran terhadap hak anak lainnya yang setiap detik mengancam keamanan anak itu sendiri. Tidakkah ini sangat meresahkan? Jika pemerintah tidak serius, maka Indonesia hanya akan menjadi negeri penuh pornografi bukan negeri penuh inovasi. Kehadiran mereka dalam proses pemberantasan masalah ini, semoga tidak menjadi barang langka.


Ditulis oleh Sulastri Khasan, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan BEM FKIP Unmul



Kolom Komentar

Share this article