Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
SKETSA - "Menurut saya batik Kaltim memiliki identitasnya sendiri, dan berbeda dengan batik lainnya." Itulah yang membuat Kheyene Molekandella Boer, tertarik pada batik Kaltim dan tenun Ulap Doyo.
Tak ayal, warna batik Kaltim yang mencolok dan memiliki motif-motif unik, turut jadi alasan memanjakan mata. Dosen program studi Ilmu Komunikasi FISIP Unmul ini, tak luput bercerita masa kuliah yang ia habiskan dahulu dengan banyak batik yang menemani harinya. Ia menjadi sorotan lantaran batik yang sering ia kenakan di kampus. Meski tak selalu dengan warna cerah, tetapi ia telanjur jatuh hati.
Ide memulai bisnis muncul saat pendidikan pascasarjana yang ia tempuh di Universitas Diponegoro (Undip). Kuliahnya kala itu menyita waktu malam, sedang di pagi hari dirinya tak punya banyak agenda. Lantas, kecintaan pada hal yang berbau etnik, yang ditumbuhkan dari dirinya belia, diwujudkan Kheyene untuk berjualan batik Kaltim di tanah rantau.
Kepada Sketsa, ia begitu luwes menceritakan perjalanannya meniti usaha batik Kaltim dan Tenun Ulap Doyo meski hanya melalui pesan suara WhatsApp pada Senin, (17/1) lalu.
Bermula dari personal selling, sang ibu berperan besar di balik perjalanannya merintis usaha batik Kaltim. Ibunya mengirimkan banyak jenis batik Kaltim yang saat itu dikirimkan melalui kargo. Bermodal dari kepiawaiannya berkomunikasi dan menjajakan produknya. Teman, dosen, hingga staf kampus, juga dibuatnya jatuh hati dengan batik khas itu.
"Nah setelah saya lulus, saya kembali ke Samarinda dan saya putuskan kenapa untuk tidak diteruskan gitu menjadi sebuah UMKM,” lanjutnya.
Kheyene mengaku tak ada sosok khusus yang menginspirasinya untuk menjadi pebisnis batik Kaltim. Namun, sang ibu masih menjadi juara baginya dalam menekuni apa yang dikerjakan dalam hidup Kheyene. Ibunya yang berprofesi sebagai guru, tak diliriknya hanya sekadar sosok yang mengajar di kelas saja. Lebih dari itu, ibunya serba bisa dalam melakukan hal di luar mengajar. Hal itu membuat Kheyene juga ingin menjadi sosok sebagaimana sang ibu.
Usai menyelesaikan pendidikannya, ia tetap konsisten merintis usaha semasa kuliah S-2. Meski begitu, usaha batik yang ia jalankan tak sekejap langsung berkembang. Butuh waktu dalam berunding bersama sang ibu menentukan usaha apa yang betul-betul akan digelutinya. Pada 2014 ketika itu, melihat kondisi pasar yang sedang tren dengan baju muslimah dan hijabers, Kheyene mencoba beradaptasi. Namun, usaha tersebut hanya berjalan beberapa tahun.
Mencoba untuk banting setir, Kheyene butuh sesuatu yang bisa dijual dan diperkenalkan, namun tak sekadar demi profit, tetapi juga dapat ditunjukkan kepada masyarakat luas identitas dari Kaltim maupun Samarinda. Batik lantas kembali memenangkan hatinya untuk diteruskan. Kemudian, kolaborasi bersama ibunya kembali terjadi. Sebab meskipun berumur, Kheyene mengakui kompetensi unggul yang dimiliki sang ibu dibanding dirinya.
"Tapi open-minded sekali, bahkan kadang saya sampai kalah dalam adu argumen. Beliau jauh lebih lebih terbuka mau membaca setiap informasi yang ada terkait dengan produk-produk lokal ya, kemudian bagaimana cara memasarkannya itu. Ibu saya cuma keterbatasan tenaga."
Keduanya kemudian saling melengkapi, ibunya berperan untuk memproduksi batik atau outer-outer batik Kaltim dan Ulap Doyo, kemudian Kheyene membantu memasarkan dan membangun brand, yang saat ini dikenal dengan "Candella Batik".
Kheyene memiliki target agar produknya dapat dikenal kalangan menengah dengan harga yang terjangkau. Harapannya ia dapat memperkenalkan batik Kaltim kepada kaum muda, seperti mahasiswa atau generasi milenial.
Terutama saat ini, ia bertutur media sosial telah menjadi bagian tak terpisah dari kehidupan, khususnya generasi muda. Sehingga merekalah yang dinilai berpotensi menjadi perpanjangan tangan membantu dalam memasarkan produknya dengan misi yang dibawanya, yakni memperkenalkan batik Kaltim kepada khalayak yang lebih luas.
Aral Melintang dalam Perjalanan Candella Batik
Tak ada perjalanan yang selalu mulus, bisnis Kheyene pun demikian. Ia mengalami kendala dan kesulitan yang terjadi sejak awal ia merintis bahkan hingga saat ini. Bisnis UMKM tersebut terkendala dalam hal sumber daya manusia, di mana ia masih kesulitan mencari penjahit. Sebab selama ini, yang menjahit produk merupakan bagian keluarganya.
“Mungkin ada kalanya nanti ketika kita dapat pesanan lagi ternyata keluarga kita sibuk terus mereka menolak, nah itu yang kadang kami pusing untuk untuk mencari SDM yang benar-benar berkualitas ya enggak sekedar cuman menjahit dan dia standby," papar Kheyene.
Bagi Kheyene, tingginya harga menjahit dibanding kain masih jadi rintangan tersendiri dalam memproduksi usahanya. Padahal, di sisi lain, ia ingin produk yang ia jual dapat dijangkau dari sisi harga.
Pada kesempatan lain, Kheyene mendapat ajakan dalam pameran produk lokal oleh Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) di Big Mall. Saat itu, barulah Kheyene mempekerjakan pegawai tidak tetap, untuk menjaga stand selama pameran. Di luar itu, bisnis keluarga tersebut memasarkan produknya melalui Instagram.
Peran Teknologi dan Generasi Muda dalam Memperkenalkan Budaya Lokal
Meski aral melintang dilaluinya, era teknologi diakuinya banyak mendatangkan manfaat. Instagram misalnya, cukup dengan fitur tag atau mention, audiens bisa dengan cepat mengetahui informasi produk-produk lokal, termasuk Candella Batik miliknya.
“Siapa pun bisa ikut membantu memperkenalkan produk Kaltim terutama peran terbesar adalah generasi muda atau generasi yang dekat dengan teknologi, generasi X, generasi milenial, itukan dekat dengan teknologi, jadi dengan teknologi itu kita bisa memperkenalkan buat orang yang enggak tau sama sekali apa itu batik Kaltim, bahkan areanya juga bukan cakupan Indonesia aja tapi orang- orang luar.”
Dengan tekad yang cukup, pengoptimalan media sosial saat ini bisa ditempuh agar gaung produk lokal semakin terdengar. Meski pemasaran melalui Instagram terlihat mudah, Kheyene kerap merasa kesulitan dalam proses mengunggah. Untuk membuat desain yang ciamik, ia perlu menata produk mana yang tepat untuk masuk dalam proses desain. Selanjutnya, hasil pengeditan dapat dilihat dari Instagram. Hal itu, masih dilakukannya secara mandiri.
Pengoptimalan teknologi tak hanya sampai di media sosial. Ia turut menggunakan marketplace seperti Shopee dan Tokopedia. Akan tetapi, ia terkendala dalam memahami algoritmanya, sehingga baginya butuh tim tersendiri untuk memantau hal tersebut.
Bisnis yang sudah berjalan memasuki tahun ke delapan ini, menjadikan Kheyene tetap bersyukur, karena mendapat banyak bantuan dari pemerintah terkait pelatihan UMKM. Unmul juga ikut memberi dan membantu, seperti pelatihan digital marketing yang cukup membawa perubahan meski belum dapat diimplementasikan oleh Kheyene secara sempurna.
Dengan waktu yang tak sebentar, berbagai pencapaian mulai terasa. Mengawali perjalanan dari personal selling, mengingatkan Kheyene untuk terus berupaya sampai detik ini. Terlebih pada dua tahun belakangan, produknya telah dipercaya pemerintah kota untuk bisa bekerja sama di acara-acara yang diadakan kota Samarinda.
Tak hanya itu pula, ia merasa sangat terbantu oleh para talent-talent pageant, seperti duta wisata dan duta bahasa, untuk memperkenalkan produk batik Kaltim di kegiatan mereka. Terlebih mengingat saat ini bisnis batik Kaltim di Samarinda mulai banyak beredar dan digandrungi.
Menarget generasi muda, Kheyene kerap memproduksi model ataupun outer-outer batik Kaltim dan Ulap Doyo yang menarik bagi anak-anak muda. Sehingga anak muda kerap menghubunginya untuk berkolaborasi. Interaksi di dunia nyata maupun ruang maya itu, mejadikan Candella Batik mulai dikenal dan diingat.
Kepercayaan Buah Pencapaian
Bagi Kheyene, pencapaian terbesar adalah kepercayaan masyarakat terhadap produknya. Terutama ketika ia sudah semakin mahir menata bagaimana manajemen yang baik dalam sebuah UMKM seperti proses packing. Sehingga saat ini ia sudah berani untuk mengambil pesanan dalam jumlah yang besar.
Selain itu, ia juga mulai mendapat koneksi dan relasi. Tak hanya mendapat keuntungan, ia juga bertemu orang-orang baru, atau anak-anak muda yang menurutnya membawa energi positif bagi dirinya.
Koneksi tersebut akan terpakai sepanjang masa. Berkenalan melalui instagram, datang ke mini galeri dan sedikit perbincangan menjadikan hal tersebut investasi jangka panjang agar Candella Batik melanglang buana.
Menyusul batik Kaltim, produk lokal kain tenun Ulap Doyo, baru berjalan sekitar empat tahun terakhir ini. Kain tenun yang merupakan favorit dari Kheyene itu dinilai punya keunikan tersendiri. Sama halnya dengan batik Kaltim, Ulap Doyo juga mempunyai warna yang colorful. Menurutnya, setiap motif terdapat filosofi, seperti pada motif tameng dan akar mangrove.
Persepsi masyarakat akan kain tenun Ulap Doyo dinilai masih kurang tepat. Apalagi selayang pandang dilihat, kain Ulap Doyo punya kemiripan dengan batik khas Lombok. Di saat itulah Kheyene mengedukasi audiens atau pelanggannya bahwa beberapa perbedaan hadir di antara keduanya. Tuturnya, Ulap Doyo khas dipakai oleh suku Dayak Benuaq.
Selain melakukannya secara langsung, Kheyene juga memperkenalkan secara tidak langsung kain tenun Ulap Doyo tersebut melalui mini card pada setiap produk yang dibeli oleh pecinta budaya lokal. Bukan hanya tentang sejarah singkat kain tenun tersebut, Kheyene juga menyelipkan tata cara pencucian kain yang mempunyai cara perawatannya sendiri. Hal itu selain menunjukkan kesungguhan hati, juga apresiasi dalam menjunjung produk lokal di Kaltim. (cal/vdh/khn/rst)