Kolam Unmul dan Pemancing

Kolam Unmul dan Pemancing

SKETSA - Ada lima alat pancing dan tak satu pun berkedip. Sesekali, si pemancing yang berkedip, tetapi lebih sering ia mengawasi kelima alat pancing yang dibawanya. Sepetang itu, sembilan ekor ikan (itupun ukuran kecil semua) masih terlalu dini untuknya beringsut.

Yayan, nama pria itu, mengambil sebatang rokok. Ia tak mau mengakui, sisa batang rokok yang ada di sekitar tempat duduknya sebagai sisa sampahnya. Menurutnya, itu hal yang biasa. Sama seperti yang dilakukan mahasiswa, kebanyakan asal membuang puntung rokok di mana mereka duduk. Ia bersikeras bahwa pemancing sejati, seperti dirinya, hanya akan pergi dengan ikan dan cuma meninggalkan bekas tempat duduk. Lain tidak.

Sketsa bertemu Yayan saat Rabu (8/3) pekan lalu, pukul tiga sore ia sudah star memancing di kolam Unmul. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengumpulkan umpan berupa udang kecil yang ditangguk. Umpan itu, ia tangguk sebanyak mungkin dan ditaruh ke dalam ember yang telah dibawa.

Sudah itu, Yayan duduk saja di sepetak jalan bersemen yang dulunya jadi jalur jika ingin pergi mendekat ke kolam Unmul. Namun, kini saat air telah merembes, ujung jalan bersemen itu sudah tak kelihatan ditutupi oleh air.

“"Di sini ikan nilanya udah campur sama kakap. Nila kawin silang dengan kakap (merah),”" katanya.

Hari itu Yayan sangat menginginkan ikan besar sebagai ikan kesepuluh. Ia tahu ada ikan besar di kolam Unmul dan bingung juga mengapa sejak tadi umpannya tak kunjung digigit. Pernah dulu ia mendapat ikan besar dengan berat seperempat kilo. Namun, rupanya hari ini lebih rakus ikan kecil yang pergi menggigit.

“"Kadang enggak dapat sama sekali. Hari ini dapat tapi kenyataannya kecil-kecil semua. Ya, tapi saya pernahlah dapat yang besar,”" ungkapnya.

Bagi Yayan, memancing dan tidak dapat ikan itu satu hal. Tapi, tumbuh besar dengan hobi sebagai pemancing itu adalah lain hal. Sejak kecil ia telah terbiasa untuk pergi memancing. Ia besar di daerah Karang Asam yang notabene cukup dekat dengan Sungai Mahakam. Kebiasaan memancing itu dipeliharanya hingga kini ia berusia 40 tahun, berkeluarga dan memiliki satu anak.

Tak banyak pilihan hobi yang bisa dilakukan oleh orang seperti dirinya. Mata pencaharian sebagai kuli bangunan dengan panggilan kerja tak menentu, membuat ia butuh sesuatu yang bisa dirayakan. Yayan telah jadi kuli sejak SMP, ia mulai pekerjaan ini sejak gajinya Rp6 ribu per hari hingga sekarang jadi Rp100 ribu per hari. Kecil memang, tapi cukup jadi alasannya untuk bersyukur. Maka ketika ia memancing, tak lain adalah upaya Yayan untuk tetap waras menghadapi dunianya yang keras.

“"Kalau kita mancing itu kita menghilangkan stres dan menguji kesabaran. Mancing juga pas ada waktu senggang dan itu enggak tentu. Kalau mancing itu kan kadang jenuhnya kalau ikan enggak dapat. Tapi, kalau bagi orang hobi enggak begitu. Meskipun enggak dapat ikan, dia tetap senang,"” ujarnya.

Hasil pancingan Yayan sore itu akan ia bawa pulang dan dinikmati bersama keluarga. Ia mengatakan, untuk seorang pemancing seperti dirinya tak ada yang lebih nikmat daripada ikan hasil pancingan sendiri. Ikan dipasar seberapa banyak pun bisa dibeli, tetap tak memiliki. Sebuah seni menanti alat pancing berkedip di atas permukaan air.

“"Kita pemancing merasakan dari tarikan ikan,"” terangnya.

Memancing di Kolam-Kolam Lain

Yayan terbiasa diam saja saat memancing. Jika ada kawan bercerita baru ia mau buka suara. Ia menikmati momen hening antara dia dan alat pancing miliknya sambil menghisap berbatang-batang rokok.

Ia sudah lama memancing di kolam Unmul dan berkali-kali diminta pergi oleh satpam. Tapi, ia tak jera. Berkali-kali pula, ia datang kembali. Yayan tahu dari segi aturan dia telah melanggar, tapi ia merasa itu tak masalah karena ia cuma memancing dan tidak merusak apa pun.

“Seperti ada pertemuan apa, dari kampus pasti bilang jangan mancing dulu. Ya kita nurut. Kalau sekuritinya baik, ya, dibiarin saja kita mancing. Sedangkan plang (larangan) itu kan baru-baru saja. Baru berapa tahun lewat,” kata alumnus SMA 5 Samarinda itu.

Yayan mengaku, ia memancing di banyak tempat lain. Beberapa hari sebelumnya, dia pergi ke daerah Lempake untuk memancing, di lain waktu ia memancing di kolam perumahan TVRI. Kalau sudah begitu, ia bisa betah duduk memancing satu harian penuh.

Hari sudah semakin petang dan satu alat pancingnya berkedip. Dengan sigap ia menarik, rokok yang dihisapnya masih tertahan di bibir. Petang itu, ikan kesepuluh yang diinginkannya masih berupa ikan kecil. (wal/pil/jdj)