Di FEB Unmul, Pertamina Sebut Alasan Konkret di Balik Naiknya Harga BBM Non Subsidi

Di FEB Unmul, Pertamina Sebut Alasan Konkret di Balik Naiknya Harga BBM Non Subsidi

SKETSA – Head Section Communication and Relation Pertamina Kaltim, Alicia Irzanova mengajak masyarakat, Pertamina, dan mahasiswa untuk bersatu dan sama-sama memahami musabab dari kenaikan harga minyak dunia bagi Indonesia secara menyeluruh. Hal itu disampaikannya saat menjadi pemateri dalam ‘Selasar Dedikasi’ BEM FEB Unmul dengan tema ‘Benarkah BBM Subsidi Dibatasi’ di Ruang 14 pada Rabu, 28 Maret 2018 lalu. Alicia pun memperjelas alasan di balik kenaikan harga BBM non subsidi oleh Pertamina.

Kalau sudah bicara perusahaan migas, kita tidak bisa bicara satu negara atau satu wilayah lagi. Karena migas itu adalah komoditi internasional, sehingga (harga BBM) kita dipengaruhi oleh global, katanya memberi pengantar di bagian awal presentasi.

Sebelum memulai presentasi lebih jauh, Alicia mengajak hadirin untuk berpikir lewat sebuah pertanyaan mendasarketika menjadi komoditas global, pasar persaingan bebas, harga ditentukan oleh apa?

Mekanisme pasar,” sahut Muhammad Zainy, peserta sekaligus Kepala Departemen Kajian  dan Aksi Strategis (Kastrad) BEM FEB lugas.

Seperti apa itu?” tanya Alicia lagi.

Terjadinya antara permintaan dan penawaran,” lanjut Zainy.

Alicia mengamini jawaban tersebut dan kemudian melanjutkan presentasiIa menyebut, tuntutan zaman akhirnya mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melepas harga minyak ke pasar dunia. Dampaknya jelas, Pertamina yang wajib menaati regulasi tersebut, saat ini tak punya kuasa untuk mengatur harga minya dunia.

Kita tidak bisa mengatur yang namanya harga minyak dunia itu. Negara besar seperti Amerika Serikat pun mungkin mereka enggak tahu bagaimana caranya bisa mengatur itu. Mungkin bisa mencoba suatu strategi, tapi belum tentu itu strategi yang pasti berhasil,” paparnya.

Harga minyak dunia yang terbentuk secara alami akibat adanya supply and demand dalam skala global pun membuat fluktuasi harga jadi hal yang sulit, bahkan hampir mustahil untuk bisa dihindari oleh semua negara di dunia.

Dua garis ini (supply and demandbukan kita yang menentukan. Satu negara pun tidak bisa menentukan. Itu adalah agregat dari keseluruhan global,” tambahnya.

Alasan Pertamina Naikkan Harga

Kebutuhan BBM di Indonesia yang mencapai sekitar 1 juta barel per hari menjadi alasan paling dasar yang mendorong Pertamina selaku perusahaan berbasis BUMN untuk terus konsisten bekerja keras. Namun langkah menyedot migas di berbagai titik se-Indonesia, ditambah ekspansi eksplorasi migas Pertamina ke-13 negara pun masih belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Inilah masalah level hulu yang sudah dialami perusahaan plat merah tersebut dalam beberapa tahun ke belakang.

Indonesia yang kebutuhannya sekitar 1 juta barel per hari, produksi dari seluruh kilang kita itu tidak cukup. Kita harus impor,” kata Alicia.

Melihat fakta bahwa saat ini impor menjadi solusi untuk mencukupi kebutuhan BBM di dalam negeri, maka imbasnya akan berdampak pada biaya impor yang lebih mahal jika harga minyak dunia mulai merangkak naik. Naiknya biaya impor pun menimbulkan masalah di level hilir yang akhirnya saat ini dirasakan oleh masyarakat: harga BBM non subsidi dinaikkan.

Hal yang dialami Pertamina justru kontradiktif jika dibandingkan dengan salah satu produsen migas asal Belanda, Shell. Naiknya harga minyak dunia tidak menjadi kerugian sama sekali bagi perusahaan tersebut, bahkan bagi Shell, hal itu justru menjadi keuntung berkali-kali lipat bagi perusahaan tersebut.

Alasannya jelas, Shell dengan teknologinya mampu memproduksi minyak lebih banyak dari kebutuhan negaranya–Belanda–dan menjadi produsen migas global. Sedang Indonesia, jangankan jadi produsen global, untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri pun produksi migas Pertamina masih kewalahan.

Semakin tinggi harga, semakin mereka (Shell) senang. Karena mereka produsen, mereka punya surplus dari penjualan mereka. Kalau kita (Pertamina), kita tidak punya surplus dari penjualan kita. Semakin tinggi harga, semakin kita harus mengimpor,” bocor Alicia.

Bahkan secara eksplisit, Alicia menyebut sebuah musuh besar yang harus bersama-sama dihadapi oleh masyarakat, Pertamina, pemerintah, termasuk mahasiswa. Musuh dari kenaikan harga BBM tersebut ialah harga minyak dunia yang terbentuk dari permintaan dan penawaran global.

Bukan pemerintah musuhnya mahasiswa, bukan Pertamina juga, tapi kita harus bersatu karena musuh kita itu dari luar (Indonesia) sebenarnya. Kita harus menguatkan ini supaya bisa menghadapi fluktuasi harga minyak dunia. Jangan sampai kita dipecah-pecah karena itu,” sebutnya.

Meski terjepit dengan keadaan, Pertamina masih terus berupaya melakukan produksi migas secara maksimal agar kebutuhan dalam negeri harus tercukupi dulu, sebelum akhirnya Pertamina bisa menjadi produsen migas di kancah global layaknya Shell.

Salah satu langkah konkret yang dilakukan Pertamina ialah melakukan pengembangan teknologi di berbagai kilang dan mungkin dua di antaranya akan dilaksanakan di Kaltim. Saat ini di Balikpapan sudah berjalan, sedang di Bontang masih dalam kajian.

Kita harus tetap optimis karena kita sudah punya rencana jangka panjang,” katanya.

Tantangan Menembus Daerah Tertinggal

Ini juga jadi tantangan bagi Pertamina. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita tidak ingin sendirian maju. Kita mau (membantu) teman-teman kita di daerah Timur (Indonesia), atau di Kalimantan yang kondisinya jauh tertinggal. Sehingga Pertamina diberi tugas untuk menyediakan BBM di sana dengan harapan terjadinya BBM satu harga,” papar Alicia.

Dalam versi Pertamina, ada empat faktor internal yang mempengaruhi harga BBM. Salah satu di antaranya ialah keterbatasan infrastruktur jalan raya di Indonesia yang membuat biaya distribusi ke seluruh daerah jadi cukup sulit, terutama untuk daerah tertinggal. Alicia pun kembali membuka cerita di balik upaya Pertamina menembus daerah tertinggal tersebut.

Ke Long Apari itu kita harus pakai kapal, perjalanan sampai empat hari. Harus melewati sungai yang arusnya deras di Riam. Kalau ke Wamena dan Kerayan, karena tidak ada jalan, jadi harus pakai pesawat. Pakai pesawat itu mahal banget. Jadi untuk biaya angkut 1 liter (saja), kita harus keluarkan uang Rp38 ribu. Itu untuk 1 liter, padahal harganya berapa? Rp7 sampai Rp8 ribu, tapi biaya angkutnya sampai segitu,” ungkapnya.

“Tapi tak apa, itu kan saudara-saudara kita juga, harus kita bantu. Kalau di kota memang tidak besar biaya angkutnya, tapi kalau ke sana memang, seperti itulah yang dihadapi. Itu cukup membebani tapi jangan ditangisi. Ini faktor internal,” tambahnya.

Hadirnya beberapa masalah di faktor internal, ditambah dengan faktor eksternal, yakni harga minyak dunia membuat Pertamina ada dalam posisi yang dilematis. Tak menaikkan harga, maka risikonya rugi besar di keuangan perusahaan dan negara. Namun, jika tidak dinaikkan maka akan memberi efek besar dan luas bagi masyarakat dan peningkatan inflasi pasti akan terjadi.

Maka, jalan tengan yang saat ini diambil pemerintah–walau belakangan, kebijakan tersebut mulai dikurangi dan dialihkan ke sektor lain–ialah menomboki biaya atau subsidi terhadap harga-harga BBM yang beredar di masyarakat.

Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah adalah nombokin. Jadi misalnya harga Rp8 ribu, dijual hanya Rp7 ribu, nanti Rp1 ribu pemerintah yang tombokin. Lebih baik uang (tombokan) itu kita pakai untuk menyejahterakan teman-teman kita di perbatasan tadi,” katanya.

Tanya dari Beberapa Mahasiswa

Beberapa peserta langsung sigap mengangkat tangan saat sesi tanya jawab diberikan. Kesempatan interaksi dibuka moderator, dan kemudian sesi interaktif seketika dimulai. 

Pertanyaan tentang alasan harga minyak dunia harus dilempar ke pasar dunia ditanggapi dengan lugas dari AliciaKita hanya sebagian kecil dari sistem (dunia). Jadi kita tidak bisa mengatur (harga) pasar.”

Saat pertanyaan tentang apakah Premium masih akan diproduksi oleh Pertamina melihat daya beli masyarakat kecil yang kurang mampu membeli Petralite dan Pertamax dimunculkan, Alicia memberi jawaban panjang lebar.

Premium itu kita tidak bicara harga. Karena harga Premium (di Indonesia) itu sebenarnya tidak segitu (di harga pasar dunia). Itu cuma ditombokin, dan yang menomboki itu Pertamina. Kalau kita bilang Premium akan dihilangkan, itu bukan karena harganya, tapi karena teknologinya sudah tidak masuk lagi. Produsen mobil pun, sudah minta (Pertamina untuk memproduksi) BBM-nya itu yang Euro 4 dan Euro 5. Jadi (Premium) itu sudah jauh banget ketinggalan. Itu bukan masalah harga, ini kita bicara masalah teknologi dan kualitas. Kita dapat Premium itu malah susah. Kalau di dalam negeri kita kurang Premium, kita mau impor malah susah. Di (pasar) dunia ini orang sudah tidak ada pakai Premium,” paparnya.

Saat ditanya tentang cara menyiasati kekurangan BBM di dalam negeri, Pertamina mengatasinya dengan dua kali impor. Pertama, impor minyak jadi dari produsen migas. Dan kedua, impor minyak mentah dari 13 negara tempat Pertamina melakukan ekspansi eksplorasi.

Malaysia saja, mungkin mereka hanya butuh 30 persen dari keseluruhan produksi mereka (untuk kebutuhan dalam negeri). Artinya, keuntungan dari 70 persen sisanya bisa mereka pakai untuk menomboki yang 30 persen itu. Apalagi Cina, orangnya banyak banget. Kalau mau disubsidi, bisa bangkrut negaranya,” jawabnya saat ditanya tentang komparasi fenomena pengelolaan BBM di berbagai negara.

“Yang paling gila itu Singapura. Produksi kilang mereka itu mungkin 10 kali lipat dari kebutuhan (negara) mereka, tapi mereka tidak mau menomboki. Biar saja itu yang dibakar itu dengan harga sebenarnya. Tapi mereka mengajak untuk mencari energi yang lebih efisien. Anak kecil di sana kalau keluar ruangan, mematikan lampu sudah jadi kebiasaan,” tambahnya. (dan/aml)