Belian, Ritual Pengobatan Suku Dayak dan Makna yang Terkandung

Belian, Ritual Pengobatan Suku Dayak dan Makna yang Terkandung

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

SKETSA Kala itu awak Sketsa berada di Sekolaq Darat, Sendawar. Tak jauh dari lokasi tersebut, terdapat pusat pemerintahan Kutai Barat. Di teras rumah, salah seorang warga yang biasa disebut sebagai pemeliatn—tukang Belian, lengkap dengan sarung yang dikenakannya bersiap membawa peralatan sesajen. Bersisian dengan itu, beberapa warga lainnya berbaring, tampak lunglai.

Situasi di atas kerap ditemukan jika sedang berkunjung ke suku Dayak, tepatnya Dayak Tunjung ataupun Dayak Benuaq. Namanya ritual Belian, acapkali dilakukan setiap minggu. Ritual ini jadi salah satu kegiatan seremonial sakral oleh suku setempat.

Tak ayal ini menjadi prosesi pengobatan dengan mengedepankan unsur-unsur tradisional. Upacara ini memiliki fungsi layaknya seorang dokter, perbedaannya terapi oleh suku Dayak ini dilakukan secara magis dan sakral untuk menyembuhkan penyakit. Belian juga dapat ditemukan di daerah Kaltim lainnya, seperti Paser.

Kepada Sketsa, Sabtu (9/7) Emanuel, Pamong Budaya dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kutai Barat mengungkap, upacara ini tak hanya untuk menyembuhkan orang sakit, namun Belian bisa menjadi bak vaksin bagi orang sehat. Selain itu, upacara ini juga dilakukan masyarakat guna mendatangkan hal positif, sehingga Belian juga berguna sebagai upacara untuk memohon berkat.

“Misalnya kemarau panjang mereka bisa buat Belian Gugu supaya tahun baik, tidak lagi kemarau panjang,” terang Emanuel saat diwawancarai lewat Zoom Meeting.

Emanuel menuturkan Belian masih eksis hingga kini. Pasalnya Belian identik dengan pengobatan orang yang sedang sakit, maka tak sedikit warga yang mencari alternatif penyembuhan, salah satunya dengan melakukan upacara Belian.

Meski Belian erat sebagai ritual Dayak Tunjung dan Benuaq, suku lain tetap bisa melaksanakan upacara ini bersama kedua suku tersebut.

“Misalnya begini, ada orang suku Jawa yang sakit dan dibawa ke rumah sakit tidak sembuh, jadi mereka pergi ke orang Benuaq atau Tunjung minta di-Beliani itu bisa sering terjadi,” tuturnya.

Selain itu ritual Belian akrab dengan kepercayaan leluhur. Upacara ini pun merupakan bagian dari Regatn Tatau, lumrah dikenal sebagai Luangan atau Lawangan, yang memiliki kemiripan dengan Kaharingan di Kalimantan Tengah. Dalam kepercayaan Luangan, upacara ritual terbagi jadi dua yakni kehidupan dan kematian. Maka Belian termasuk ke dalam upacara ritual kehidupan.

Belian tak sebatas magis, ia bertransformasi menjadi budaya di Kaltim. Hal ini tergambar pada penelitian berjudul Belian Sentinyu Ceremony Village Suku Dayak Tunjung in Kampung Muara Kalaq Kutai Barat District Viewed From Semiotic and Culture Aspects. Dalam penelitian itu, upacara Belian dilaksanakan tak lepas dari fakta atas kondisi pemukiman yang sulit dijangkau transportasi umum dan jauh dari perkotaan. 

Itulah mengapa Belian jadi jagoan di tengah ketimpangan akses kesehatan yang ada. Warga setempat masih memilih Belian sebagai alternatif utama untuk mengobati anggota keluarganya yang sakit. Tak ayal ritual ini berimbas pada ikatan sosial yang terjalin sebab punya nilai kebersamaan di dalamnya.

Belian dan Stigma yang Menempel

Martinus Nanang, Dosen Pembangunan Sosial FISIP Unmul, yang juga kerap meneliti kebudayaan Dayak turut menuturkan bahwa Belian tak lepas dari tentangan agama samawi, seperti Islam, Protestan, dan Katolik.

Hal ini karena Belian terjegal anggapan musyrik atau kafir. Pada agama katolik tempat ritual ini dilangsungkan, pemeluknya masih menoleransi adat dan budaya terdahulu. Sehingga intensitas pelaksanaan Belian dapat diukur melalui pemeluk agamanya.

“Jika mayoritasnya Islam atau Protestan, maka upacara tersebut jarang dilakukan, sedangkan untuk desa yang mayoritasnya katolik upacara Belian masih sering dilakukan,” ucapnya saat dijumpai awak Sketsa Rabu (13/7) lalu.

Nanang mengungkapkan bahwa upacara Belian ini masih memikul berbagai stigma dari masyarakat. Stigma ini kerap dituju pada masyarakat suku Dayak, karena banyaknya adat yang mereka laksanakan di desa, sehingga celoteh seperti musyrik dan kafir kerap dilontarkan.

Ini tak dimungkiri karena pendapat itu datang dari mereka, pemeluk agama arus utama. Lebih getir dari stigma, terkadang anggapan itu merasuk ke ruang-ruang penghayatan saat ritual dilaksanakan, hingga berujung pada kesakralan upacara Belian ini.

“Beberapa orang yang penghayat agamanya kurang, terbatas, dan tidak terbuka biasanya selalu bersuara, bahkan sebelum ada ritual tersebut mereka sudah antisipasi,” tutup Nanang. (mar/vyn/uas/nkh)