Sumber Gambar: dysastudio (Canva)
Opini ini membahas bagaimana eufemisme, penghalusan kata atau istilah bukan hanya menjadi bagian dari sopan santun, tetapi juga berubah menjadi alat menyembunyikan kenyataan.
Pada dasarnya, eufemisme memang membuat interaksi sehari-hari menjadi lebih nyaman. Dalam budaya kita, kalimat langsung seperti “kamu gendut” sering dianggap kasar.
Oleh sebab itu, kalimat tersebut diganti dengan ungkapan yang lebih halus seperti “berisi” atau “makmur”. Sampai di titik ini, penggunaan eufemisme masih wajar dan bermanfaat.
Namun, opini ini menekankan bahwa masalah mulai muncul ketika eufemisme dipakai bukan lagi untuk menjaga perasaan, melainkan untuk memanipulasi persepsi publik. Istilah-istilah yang terdengar manis dipakai untuk menutupi fakta pahit.
Contohnya, “rasionalisasi karyawan” digunakan untuk menyembunyikan kenyataan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. “Penyesuaian struktural” dipilih agar kenaikan harga tidak terdengar begitu menyakitkan. Proyek yang gagal disebut “tantangan yang memerlukan evaluasi ulang”, seolah tidak ada kesalahan besar yang terjadi.
Dampaknya, menurut opini ini ada dua hal besar. Pertama, kejujuran menjadi “didiskon”. Ketika bahasa dibuat terlalu halus, masalah kehilangan bentuk aslinya.
Orang sulit merasa marah atau menuntut pertanggungjawaban karena istilah yang dipakai terlalu aman dan abstrak. Jika sebuah bencana kebijakan disebut hanya sebagai “tantangan evaluasi”, masyarakat mungkin tidak akan menyadari betapa serius masalahnya.
Kedua, publik menjadi tumpul rasa. Setelah beberapa kali mendengar istilah halus seperti “penyalahgunaan wewenang” atau “ketidakcermatan administratif”, kita bisa lupa bahwa yang terjadi sebenarnya adalah korupsi atau pelanggaran besar.
Bahasa manis membuat realitas pahit terasa jauh dan lama-kelamaan orang menjadi terbiasa, bahkan tidak lagi sensitif terhadap kesalahan yang berat. Karena itu, opini ini menyerukan agar penggunaan eufemisme di ranah publik dan kebijakan dikurangi.
Bukan berarti harus berbicara kasar, tetapi kita perlu kembali pada kejelasan bahasa. Jika masalahnya adalah kemiskinan, sebut saja kemiskinan. Jika terjadi kegagalan, akui sebagai kegagalan. Begitu pula dengan kenaikan, harga tidak perlu dibungkus istilah yang membingungkan.
Eufemisme memang membuat bicara terasa nyaman, tetapi terlalu sering menggunakannya justru menjauhkan kita dari pemecahan masalah. Bahasa yang jelas, jujur, dan tegas adalah langkah awal untuk memahami persoalan dan menuntut perbaikan.
Opini ini mengajak pembaca untuk lebih kritis terhadap istilah-istilah halus yang sering dipakai untuk menutupi kenyataan.
Opini ini ditulis oleh Luly Galuh Rismala Dwi, mahasiswa Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Unmul 2025.