Tradisi Menugal Dayak Tunjung Geleo Asa: Perlawanan Terhadap Penjajahan Pangan

Tradisi Menugal Dayak Tunjung Geleo Asa: Perlawanan Terhadap Penjajahan Pangan

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Penjajahan pangan, atau dalam bahasa Inggris gastro-colonialism, merupakan fenomena yang menggambarkan bagaimana makanan yang diproduksi dan didistribusikan oleh perusahaan-perusahaan besar menggantikan sistem pangan tradisional serta pola makan masyarakat lokal; dalam prosesnya, terjadi kekurangan gizi dan kenaikan penyakit. 

Istilah ini diperkenalkan oleh seorang akademisi dari Pulau Guam, Craig Santos Perez, ketika ia meneliti bagaimana sistem pangan dan kesehatan masyarakat di Hawaii terkikis oleh impor besar-besaran atas makanan olahan murah berkualitas rendah yang diproduksi oleh perusahaan multinasional (Rainforest Journalism Fund, 2023).

Selama ini, bayangan kita terhadap penjajahan perkara perang, darah yang harus tumpah, dan sudah barang tentu kekuasaan. Yang kalah kehilangan tanah, yang menang menguasai segalanya. Namun di zaman edan ini, penjajahan datang tak berwujud dan tak bersuara pula. Ia menyelinap melalui merek, rasa, dan selera. Inilah yang disebut dengan penjajahan pangan sebuah bentuk kolonialisme baru yang menaklukan tanpa harus menumpahkan darah, melainkan lewat lidah dan perut.  

Ia merampas kedaulatan kita atas rasa, selera, bahkan gizi. Kerap tak disadari dari meja makan saja kita masih terjajah lewat beras impor yang menggantikan padi lokal, gandum olahan yang menyingkirkan umbi-umbian, makan cepat saji, dan iklan yang meyakinkan bahwa peradaban yang maju itu ketika manusia dapat meninggalkan cita rasa lokal peninggalan leluhur.

Di tengah-tengah serangan pangan instan yang meninabobokan, membuat masyarakat di berbagai penjuru Nusantara ini tak digdaya. Tetapi berbeda bagi masyarakat Dayak Tunjung di Geleo Asa, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, justru menyalakan secercah perlawanan. Mereka tetap bersetia menjaga tradisi menugal, yaitu sebuah tradisi bercocok tanam padi secara tradisional. 

Dalam proses menugal ini, para laki-laki berperan membuat lubang tanam dengan menggunakan tongkat kayu, disebut tukaar dalam bahasa Dayak Tunjung, yang ditancapkan ke tanah sebagai tempat menaruh benih padi. Pada saat yang sama, para perempuan akan bertugas memasukkan benih padi ke dalam lubang-lubang tersebut dengan penuh ketelitian. Pria dan wanita, tua maupun muda, turut ambil bagian dalam kegiatan ini dengan rasa gembira dan kebersamaan yang hangat.

Bagi saya, inilah bentuk pengetahuan lokal orang Dayak yang telah hidup jauh sebelum hadirnya istilah “ketahanan pangan” ataupun sains modern. Suatu kearifan yang tumbuh dari tanah, dijaga oleh tradisi, dan dipraktikkan dengan kesadaran bahwa kehidupan tidak hanya dihidupi oleh makanan, tetapi juga oleh hubungan antara manusia, alam, dan ingatan leluhur.

Tokoh Masyarakat Dayak Tunjung Geleo Asa, Korneles Detang menjelaskan bahwa menugal merupakan proses menanam padi gunung pada lahan perladangan secara tradisional. Tradisi ini telah ada sejak zaman nenek moyang dan hingga kini masih terus dipertahankan. Ia menuturkan bahwa menugal bukan hanya sebatas aktivitas menanam padi, melainkan juga wujud kebersamaan, gotong royong, serta bentuk keakraban manusia dengan alam.

Ia juga menegaskan bahwa menugal merupakan bentuk perlawanan masyarakat Dayak Tunjung terhadap maraknya makanan instan dan budaya konsumtif. Melalui proses menugal inilah, ia bersama masyarakat lainnya mempersiapkan beras untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga yang dapat bertahan selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun. 

“Selain beras, terdapat pula umbi-umbian dan sayur-sayuran yang ditanam untuk melengkapi nasi hangat di meja makan. Beliau menimpali, inilah bentuk ketahanan pangan kami, orang Dayak,” ujarnya.

Disebutkan pula oleh pria yang akrab disapa Pak Neles ini bahwa padi yang ditanam berasal dari bibit alami. Selain itu, padi juga tidak diberi pupuk kimia, pestisida, maupun bahan sejenis lainnya. Ia pun berkelakar, bahwa itulah sebabnya orang-orang tua pada zaman dahulu berumur panjang dan tetap sehat karena mengonsumsi makanan yang alami.


Gambar 1. Tongkat untuk Menugal dalam bahasa Dayak Tunjung disebut Tukaar

Sumber: Korneles Detang, 2025


Gambar 2. Tukaar Pengenting

Sumber: Korneles Detang, 2025

Bukan tanpa aral dan rintangan bagi masyarakat Dayak yang masih terus mempertahankan tradisi menugal untuk kedaulatan perut dan ketahanan pangan mereka. Khususnya di Kalimantan Timur ruang hidup sudah teramat kian menyempit. Ladang yang dulu lapang kini tersingkir di bawah bayang-bayang raksasa industri ekstraktif. 

Data menunjukkan bahwa Provinsi Kalimantan Timur hanya memiliki daratan seluas sekitar 12,7 juta Hektare. Namun, luas izin yang diberikan kepada berbagai industri ekstraktif justru mencapai 13,83 juta Hektare. Angka ini menunjukkan bahwa luas perizinan tersebut bahkan tiga kali lipat dari luas Pulau Jawa (GM & Rahmi, 2019).

Pesan yang begitu menohok dan menggugah nurani siapa pun disampaikan oleh Pak Korneles Detang. Ia berujar, “Kami tidak pernah takut mati karena kehabisan bahan pangan, tetapi kami perlahan akan kritis dan sekarat jika hutan dihabisi.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Pak Albed. Ia memberikan nasihat yang sarat makna, “Kelak, jangan sampai kita, orang Dayak Tunjung, tidak bisa menugal lagi. Maka dari itu, kita jangan mudah menjual lahan dan harus menjaga seluruh ekosistem hutan yang kita miliki.”

Ibu Rinayati, yang bagi saya merupakan representasi dari sosok perempuan pejuang sejati, juga dengan tegas mengatakan bahwa kita tidak boleh memberikan ruang bagi perusahaan mana pun untuk masuk dan menghancurkan tanah serta hutan kita. Baginya, tanah dan hutan bukan sekadar sumber penghidupan, melainkan juga bagian dari identitas, sejarah, dan martabat masyarakat Dayak Tunjung.

Gambar 3. Proses Menugal oleh Masyarakat Tunjung di Geleo Asa
Sumber: Rinayati, 2025

Sudah sekarat, dihabisi pula. Inilah nasib yang menimpa para peladang Dayak di Kalimantan. Menugal yang merupakan siklus dari perladangan orang Dayak kini kian terancam punah. Setelah ruang hidup mereka tergerus oleh izin-izin industri ekstraktif, negara hadir pula untuk mengamputasi lewat regulasi yang benar-benar mengabaikan tradisi, kearifan, dan hak berdaulat masyarakat Dayak atas tanah leluhur mereka sendiri.

Sejak diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, masyarakat adat di banyak wilayah Kalimantan hidup dalam ketakutan. Kebijakan yang bersifat top-down ini menempatkan peladang tradisional seolah-olah sebagai pelaku kriminal, bukan penjaga keseimbangan ekosistem. 

Praktik membakar ladang juga sudah diatur dan dalam berbagai peraturan sebelumnya mulai dari UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Namun, sejak Inpres itu diberlakukan, bara api kearifan lokal mulai dipadamkan secara paksa. Para peladang ditangkap membabi buta, sementara korporasi yang membakar ribuan hektare lahan yang banyak menyebabkan kebakaran hutan dan lahan serta demi keuntungan mereka tetap melenggang bebas.

Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa praktik perladangan tradisional bukanlah bentuk perusakan lingkungan, melainkan strategi ekologis yang telah teruji oleh waktu. Michael R. Dove (1988) dalam penelitiannya terhadap sistem berladang masyarakat Dayak Kantuk di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menjelaskan bahwa praktik tebas-tebang-bakar merupakan bentuk strategi adaptasi masyarakat Kantuk terhadap kondisi alam lingkungannya. Menurut penjelasan R. Giring, seorang antropolog dari Kalimantan Barat, hutan hujan tropis di wilayah tersebut memiliki tingkat keasaman tanah yang cukup tinggi. 

Oleh karena itu, sistem tebas-tebang-bakar dianggap sesuai karena dapat membantu menurunkan kadar keasaman tanah sekaligus meningkatkan unsur hara yang berperan dalam menjaga kesuburan lahan di tanah Kalimantan.

Sebagai penutup, saya ingin mengajukan satu pertanyaan sederhana, pertanyaan yang seharusnya menggema di setiap dada orang Dayak. Apa arti kehadiran negara dan segala perangkat aturannya bagi kita, orang-orang Dayak yang hidup dari dan untuk hutan, jika yang dirawat oleh negara bukan kehidupan, melainkan penindasan yang dilanggengkan dari masa ke masa?

Opini ini ditulis oleh Andrianus Ongko Wijawa Hingan, alumni Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul

Daftar Pustaka

Dove, Michael R. 1988. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan Barat, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

GM, F & Rahmi, I, P. (2019). Detail Perizinan Kaltim yang Lebih Luas dari Daratan Provinsi dan Membuat Murka Pimpinan KPK. Kaltimkece. https://kaltimkece.id/warta/lingkungan/detail-perizinan-kaltim-yang-lebih-luas-dari-daratan-provinsi-dan-membuat-murka-pimpinan-kpk 

Pahlevi, A. (2018). Kearifan lokal dan strategi adaptasi masyarakat Dayak Kantuk di Kalimantan Barat. Mongabay Indonesia. https://www.mongabay.co.id/2018/10/17/kearifan-lokal-dayak-kantuk/ 

Rainforest Journalism Fund. (2023). Peliputan lingkungan: Gastrocolonialism. Rainforest Journalism Fund. https://rainforestjournalismfund.org/id/resource/peliputan-lingkungan-gastrocolonialism