SKETSA – Spanduk raksasa bertuliskan “Tambang Tunggangi Pilkada Serentak” membentang di sisi jembatan Dondang, Kecamatan Muara Jawa, Kutai Kartanegara. Pembentangan spanduk ini ialah bagian dari rangkaian Pesta Laut yang diprakarsai oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim pada Sabtu, (5/5).
Tak hanya dari Walhi dan Jatam, aksi blokade sungai Dondang ini pun turut melibatkan petani dan nelayan anti mafia tambang di kawasan tersebut serta sejumlah organisasi seperti LSM dan LBH. Sedikitnya 50 perahu dikerahkan untuk menghalangi jalan kapal tongkang yang membawa batubara lalu lalang di sungai Dondang.
Acara yang berlangsung mulai pukul 09.00–11.00 Wita tersebut, berhasil menahan sekira 8–10 kapal. Kapal tak bisa melintas di bawah jembatan yang juga beberapa kali ditabrak ponton itu.
Diketahui, jembatan Dondang adalah kawasan distribusi pengangkutan batubara dan sawit berlangsung. Itulah sebabnya, kawasan ini dipilih sebagai titik aksi simbolik blokade Kaltim terhadap eksploitasi sumber daya alam.
Dinamisator Jatam Kaltim Pradama Rupang mengatakan, aksi ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan rakyat atas tambang dan sawit yang merugikan sekaligus ditujukan pada kontestasi Pilkada Kaltim yang saat debat 25 April lalu tak secara detail menyinggung masalah lingkungan.
“Hari ini sebenarnya rangkaian dari kasus advokasi warga di tiga kecamatan sejak 2012. Seharusnya ada kebijakan pemerintah yang stop mengeruk sumber daya alam seperti tambang dan sawit yang harusnya dinikmati masyarakat Kaltim, tidak lagi masyarkat di luar sana," ungkapnya.
Lebih lanjut Rupang mengatakan, calon kepala daerah yang ada, tak satupun memberikan harapan bagi upaya keselamatan rakyat dan lingkungan. Apalagi, adanya celah praktik-praktik ijon politik, di mana ada pengusaha yang menjadi donatur pencalonan calon gubernur. Biasanya agar pengusaha mendapat balasan dengan kemudahan bisnis mereka nantinya.
Sehingga, kata Rupang, aksi blokade sungai ini akan terus dilakukan hingga ada perhatian dari pemerintah dan juga para kandidat untuk menjawab persoalan lingkungan yang dialami oleh koalisi petani dan nelayan.
"Pada pemilu ini, tidak ada yang berbicara masalah krisis masyarakat ini (lingkungan)," katanya kepada Kaltim Post.
Sementara itu, Rukka, Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Maju Bersama berharap aksi ini mampu memberi "gertak" bagi empat cagub dan cawagub yang kelak memimpin Kaltim agar memperhatikan masyarakat terutama petani dan nelayan yang tidak menikmati hasil tambang dan sawit, kecuali penderitaan.
"Pemerintah harus memperhatikan rakyat. Seperti kasus ini, kita lapor pemerintahan tetapi tindakannya tidak ada, tidak ditanggapi. Kayak tidak ada pemerintahan di sini," ujar Rukka.
Protes Rukka ini bukan tak berdasar. Pasalnya, lahan seluas 600 hektare milik Kelompok Tani Maju Bersama yang diketuai Rukka diserobot korporasi yang salah satunya dimiliki pemerintah pusat. Lahan ini jadi bagian dari 2 ribu hektare tanah enam kelompok tani di Muara Jawa, Loa Janan, dan Sangasanga.
Anggota kelompok tani pun mulai beralih profesi. Ada yang jadi tukang ojek, buruh bangunan, atau bekerja di kebun sawit. Namun sayangnya, peralihan ini tak memberi angin segar bagi kehidupan perekonomian warga terdampak tambang dan sawit. Yang terjadi justru nestapa.
"Hidup kami tidak seperti dulu. Anak-anak banyak putus sekolah karena orang tua tidak lagi sanggpup membiayai sekolah," ucap Rukka. (anm/aml)