Susilo: Niat Ajukan Petisi Hingga Pertanyakan Jeda Waktu Statuta

Susilo: Niat Ajukan Petisi Hingga Pertanyakan Jeda Waktu Statuta

SKETSA – Pasca rapat statuta di Balikpapan antara Unmul dan Biro Hukum Kemenristekdikti dipermasalahkan Prof. Adam Idris dan Prof. Zamruddin Hasid, Prof. Susilo pun turut bersuara di media. Ia bahkan berniat untuk menggalang petisi dan menyampaikan protes ke kementerian untuk menolak hasil dari workshop di Balikpapan.

Sketsa pun mengonfirmasi langsung Prof. Susilo perihal tindak lanjut dari wacana penggalangan petisi tersebut. Ujarnya, niatan untuk menggalang petisi muncul karena dalam rapat di Balikpapan tempo hari lalu, ia mendengar selentingan. 

Bunyi selentingan tersebut adalah bahwa hasil pembahasan statuta bersama Biro Hukum Kemenristekdikti tidak akan dibawa ke rapat yang melibatkan seluruh anggota senat: rapat pleno. Atas dasar itulah, wacana penggalangan petisi mencuat.

Namun saat ini ia mengaku, penggalangan petisi masih urung dilakukan. Guru besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ini memilih menundanya, karena ada janji dari pihak rektorat untuk menggelar rapat pleno yang mengundang seluruh anggota senat dalam waktu dekat.

“Sekarang kita tunggu karena pleno belum. Ini kan janji, artinya di press release menyatakan ‘akan ada pleno bahwa kalau statuta yang baru pun muncul, maka belum akan digunakan’. Itu kan janji, kita belum tahu pasti (ke depannya). Kalau sampai tidak terjadi pleno, ya sudah, kita ke kementerian,” paparnya.

Lalu, setelah melakukan telaah terhadap Permendikbud Nomor 139 Tahun 2014, terutama tentang sembilan tahap untuk menetapkan statuta baru pasca telah mati pada 2004 silam, ia menyebut bahwa rapat di Balikpapan adalah langkah yang benar dan memang tidak melanggar aturan.

“Sudah benar (sesuai Permendikbud) kalau memang sebelum pleno (bersama seluruh senat) sudah dikritisi oleh Biro Hukum Kemenristekdikti di Balikpapan itu. Cuma permasalahan yang kemarin kan, jangan dari kesepakatan yang di Balikpapan itu, langsung dibawa ke kementerian. Ke sini (Unmul) dulu,” pandangnya.

Menyikapi protes yang sempat disampaikan Prof. Adam dalam Permendikbud tentang seluruh anggota senat yang harus dilibatkan sejak tahap pertama dari sembilan tahap penetapan statuta, Prof. Susilo tidak sependapat dan memandang hal tersebut tidak mesti dilakukan dalam perumusan statuta baru.

“Kalau tahap itu begini. Ada senat komisi, komisi organisasi. Senat itu kan ada senat pleno (senat keseluruhan), kalau senat komisi organisasi, senat yang lain tidak harus tahu. Misal begini, saya anggota senat akademik, saya tidak harus tahu perjalanan senat komisi organisasi. Nanti kalau senat pleno, baru saya bisa masuk ke situ untuk mengkritisi hasil senat komisi organisasi tadi,” jabarnya.

Sebelumnya, meski Unmul baru melewati empat dari sembilan tahapan seperti yang disebutkan di Permendikbud Nomor 139 Tahun 2014, Prof. Adam masih menengarai bahwa ditahap nomor yang pertama pun, ia merasa bahwa tak ada pelibatan anggota senat sama sekali dalam perumusan statuta.

“Siapa perguruan tinggi itu? Perguruan tinggi (di Permendikbud) itu susunannya ada senat, ada pemimpin perguruan tinggi. Yang terjadi sekarang ini adalah, dia (pimpinan perguruan tinggi) saja yang menyusun, senat tidak dilibatkan. Bagaimana? Mekanismenya sudah salah dari awal,” ujarnya.

(Baca: https://sketsaunmul.co/berita-kampus/prof-adam-sebut-tiga-saran-untuk-menekan-kecurigaan-statuta/baca )

Menanggapi Pernyataan Rektor Masjaya 

Prof. Susilo mengaku senang pasca pihak rektorat memberi pernyataan bahwa workshop di Balikpapan kemarin bukan sebuah proses final dari penyepakatan statuta. Karena memang kritiknya beberapa waktu lalu di media, bahwa hasil pertemuan tersebut jangan sampai dijadikan keputusan.

Tapi, ia menyelipkan sedikit kritik di balik alasan Rektor Masjaya yang sempat menyampaikan pernyataan di media bahwa rapat tersebut bentuk desakan dari Biro Hukum Kemenristekdikti.

“Kalau alasannya didesak Kemenristekdikti, jangan kata ‘didesaknya’ yang jadi pertanyaan, tapi kenapa didesak? Iya kan? Kalau didesak di akhir, ini sudah mau pemilihan rektor, kenapa tiba-tiba desakan itu jadi alasan. Orang didesak itu artinya tidak bekerja,” kritiknya.

Pun saat menyinggung keterlibatan guru besar yang tak lagi eksplisit disebutkan dalam PP Nomor 4 dan Permendikbud Nomor 139–keduanya di tahun yang sama: 2014, Prof. Susilo mengamini dan tak mau melawan aturan hukum itu. Namun ia menyebut, masih ada peluang untuk memasukkan seluruh guru besar di Unmul untuk terlibat dalam keanggotaan senat.

“Di PP 4 memang menghilangkan secara otomatis, tetapi metode mengatakan perwakilan ini urusan universitas masing-masing. Tidak diatur di dalam Permen. Sehingga kalau kita sepakat, guru besar semua ikut sebagai perwakilan, tidak apa. Iya kan? Asal sepakat. Kalau tidak sepakat, ya tidak apa,” katanya. 

Secara personal, menurutnya keterlibatan guru besar sebagai anggota senat sangat penting karena perannya sangat besar bagi universitas. Selain itu, peran guru besar dalam menunjang akreditasi pun tak bisa ditutupi. Bahkan Prof. Susilo secara eksplisit menyebut salah satu kampus di Samarinda sebagai contohnya.

“IAIN Samarinda itu punya guru besar hanya satu, mau pensiun lagi. Dia mau jadi UIN (Universitas Islam Negeri) tidak bisa, karena tidak ada guru besarnya. Unmul yang sudah 52 guru besarnya, masa sih disia-siakan,” kuaknya.

Pertanyakan Tenggang Waktu Enam Bulan

Sebelumnya, Muhammad Noor selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik  (FISIP) sekaligus Ketua Forum Dekan se-Unmul menyebut bahwa jika telah terbahas dan disepakati pun, statuta baru itu tidak  otomatis bisa langsung dipakai. Masih ada jeda waktu enam bulan sebelum statuta baru itu benar-benar bisa digunakan sebagaimana mestinya.  

“Artinya pelaksanaan Pilrek (mendatang) bisa saja tidak menggunakan aturan yang itu (statuta baru), tapi kita tetap menggunakan aturan yang lama,” ujarnya.

(Selengkapnya: https://sketsaunmul.co/berita-kampus/guru-besar-protes-statuta-ketua-forum-dekan-paparkan-aturan-hukum-penjelas/baca )

Menanggapi hal itu, Prof. Susilo pun mempertanyakan landasan hukum di balik jeda waktu enam bulan tersebut. Sampai saat wawancara bersama Sketsa dilakukan, ia pun masih belum menemukan adanya jeda enam bulan itu diatur secara eksplisit dalam sebuah landasan hukum.

“Itu aturan di mana? Itu yang saya cari. Tertulisnya apa? Jangan-jangan hanya ngomong begitu,lalu begitu statuta turun, justru tidak mengaku lagi. Rentang enam bulan setelah di SK-kan itu aturannya ada tidak? Jadi itu yang harus dikantongi, supaya teman-teman tidak lari dari track-nya. Tidak ada yang bisa menjamin kalau hanya lisan,” tanyanya tiga kali sembari berargumen.

Sepemahamannya, aturan seperti jeda waktu enam bulan itu biasanya ada di dalam batang tubuh statuta yang kelak jika disahkan, maka akan jadi Permen. Memang, saat statuta telah diperbaharui dan akhirnya dibubuhi tanda tangan menteri, maka otomatis akan menggugurkan statuta lama. 

Lalu, jika statuta baru telah ditetapkan menjadi sebuah Permen, maka akan memiliki landasan hukum yang kuat dan mengikat. Termasuk bagi Unmul yang kelak akan memperbaharui statuta dan nantinya peraturan dasar pengelolaan universitas itu akan dijadikan Permen.

“Itu kan (aturan jeda waktu) muncul setelah Permen muncul. Pertanyaan saya, kalau Permen-nya muncul, dan di klausulnya tidak ada menyebut seperti itu (jeda waktu enam bulan), ya sudah, akan langsung dipakai itu (yang baru),” selisiknya. (dan/nul/asr/gie/len/pil/adl)