Berita Kampus

Guru Besar Protes Statuta, Ketua Forum Dekan Paparkan Aturan Hukum Penjelas

Ketua Forum Dekan se-Unmul Muhammad Noor. (Sumber foto: Darul Asmawan)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Deretan tudingan ramai dilancarkan beberapa guru besar Unmul, salah satunya oleh Prof. Adam Idris kepada Rektor Masjaya lewat beberapa media di Kaltim dalam kurun seminggu terakhir. Itu adalah buntut dari rapat pembahasan Statuta Unmul di Swiss-Belhotel Balikpapan yang tidak melibatkan seluruh guru besar selaku bagian dari anggota senat pada Kamis malam, 8 Maret 2018.

( Baca: https://sketsaunmul.co/berita-kampus/dituding-ubah-statuta-masjaya-itu-desakan-kemenristekdikti/baca )

Ditemui Sketsa pada Rabu (14/3) lalu, Ketua Forum Dekan se-Unmul Muhammad Noor, memberikan pandangannya terhadap rapat pembahasan Statuta Unmul di Balikpapan tersebut. Noor yang juga hadir dalam rapat tersebut mengatakan bahwa pertemuan itu bukan dipelopori oleh Unmul, melainkan undangan dari Biro Hukum Kemenristekdikti.

“Itu yang mengundang, yang punya gawi (Bahasa Banjar yang artinya ‘kerja’) itu (Biro Hukum) Kemenristekdikti. Mulai malam Jumat itu sampai pukul 24.00 Wita kami membahas Statuta itu. Besoknya pukul 08.00 sampai 17.00 Wita kami membahas (Statuta) lagi,” ungkapnya.

Karena rapat itu diinisiasi pihak kementerian, sehingga Unmul tak memiliki kewenangan untuk menentukan berapa banyak jumlah forum yang bisa terlibat dalam rapat tersebut.

“Harusnya dia (Biro Hukum Kemenristekdikti) ingin mengundang empat orang saja, karena yang membiayai kan dia. Mengundang dari Unmul ini (hanya) empat orang. Bapak tidak tahu siapa yang seharusnya diundang. Tapi, rektor minta ditambah lah, termasuk dewan pertimbangan, para dekan, dan para dekan pun hanya bapak berempat yang hadir,” katanya.

“Bapak hadir pun karena kebetulan menjadi Ketua Forum (Dekan se-Unmul),” tambahnya kemudian.

Tentang  Statuta yang Sudah Kedaluwarsa

Alasan bahasan tentang Statuta Unmul kemudian muncul di rapat tersebut karena ‘peraturan dasar pengelolaan Unmul’ itu sudah kedaluwarsa sejak 2004 silam. Artinya sudah hampir 15 tahun Statuta Unmul tak kunjung diperbaharui, padahal jangka waktu berlakunya telah lama sekali habis.

Atas dasar itulah, maka dalam rapat internal di Balikpapan pula, pihak Dewan Pengawas (Dewas) memberi wanti-wanti kepada Unmul. Pesannya ialah meminta agar universitas yang baru meraih akreditasi A tersebut untuk berhati-hati saat melaksanakan pemilihan rektor (Pilrek) jika Statuta yang sudah kedaluwarsa tersebut tak segera diperbaharui.

“Karena Pilrek itu menganut pada Statuta. Kalau Statuta itu kedaluwarsa, bagaimana melakukan Pilrek? Tapi dia (Dewas) tidak menyampaikan boleh atau tidak boleh, hanya hati-hati karena Statuta (yang ada) itu sudah kedaluwarsa,” sebutnya.

Noor yang saat ini juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menyebut bahwa jika telah terbahas dan disepakati pun, Statuta baru itu tak otomatis bisa langsung dipakai. Masih ada jeda waktu enam bulan sebelum Statuta baru itu benar-benar bisa dipergunakan sebagaimana mestinya. 

“Artinya pelaksanaan pilrek (mendatang) bisa saja tidak menggunakan aturan yang itu (baru), tapi kita tetap menggunakan aturan yang lama. Sekalipun disampaikan oleh Dewas itu: kalau aturan itu sudah kadaluwarsa, kenapa rektor-rektor yang lalu (sebelum Masjaya) tidak membuat Statuta?” ujarnya sembari balik bertanya.

Guru  Besar Otomatis Jadi Senat dalam Aturan Hukum?

Berdasarkan riset yang dilakukan tim liputan Sketsa, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 41 ayat 3 memang secara eksplisit menjelaskan bahwa keanggotaan senat terdiri dari guru besar, pimpinan universitas, para dekan, wakil dosen, dan unsur lain yang ditetapkan senat.

Artinya, jika berlandaskan pada aturan di atas, maka rapat Statuta yang terbahas di Balikpapan lalu adalah sebuah pelanggaran. Jika membahas Statuta, maka memang harus melibatkan semua keanggotaan senat karena Statuta adalah peraturan dasar untuk mengelola suatu universitas.

Namun ternyata, ada payung hukum terbaru yang diterbitkan pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Dalam PP ini, khususnya di pasal 29 ayat 4 menjelaskan bahwa keanggotaan senat adalah perwakilan dosen dari berbagai disiplin ilmu yang ada di suatu universitas. Tidak ada disebut bahwa guru besar secara otomatis menjadi anggota senat dalam PP tersebut.

Kemudian aturan itu diperjelas lagi dalam lampiran Permendikbud Nomor 139 Tahun 2014. Dalam lampiran ini–di BAB II Statuta bagian A nomor 4: Sistem Pengelolaan di poin B nomor 3–juga eksplisit menyebutkan bahwa anggota senat terdiri dari pimpinan perguruan tinggi, wakil pimpinan perguruan tinggi, pimpinan fakultas atau jurusan, pimpinan LP2M, dan pimpinan unit penunjang atau unit pelaksana teknis bidang akademik. Di lampiran penjelas ini pun tak sama sekali menyebut bahwa guru besar otomatis senat.

Dengan hadirnya PP Nomor 4 Tahun 2014 dan Permendikbud Nomor 139 Tahun 2014 ini, maka otomatis gugurlah penggunaan PP Nomor 60 Tahun 1999 tersebut sebagai aturan hukum dalam menjalankan dan mengelola sebuah perguruan tinggi.

“Yang jelas, di aturan lama itu jelas betul mengatakan bahwa guru besar itu otomatis menjadi senat. Sementara yang baru tidak,” sebut Noor.

Tindakan ini pun juga berkaca pada banyaknya perguruan tinggi se-Indonesia yang telah menerapkan PP Nomor 4 Tahun 2014 tersebut dalam pengelolaan perguruan tinggi. Karena ada aturan baru tersebut, maka Statuta di setiap universitas se-Indonesia harus disesuaikan dengan aturan hukum terbaru itu.

“Jadi sudah hampir semua perguruan tinggi yang sudah menyusun Statuta baru, sudah mengikuti aturan seperti itu. Tidak lagi menganggap bahwa guru besar itu otomatis menjadi anggota senat universitas,” terang Noor.

Sedangkan dalam lampiran Permendikbud Nomor 139 Tahun 2014 juga disebutkan bahwa ada sembilan mekanisme penetapan Statuta dalam sebuah perguruan tinggi negeri. Dan dalam proses tersebut, langkah yang dilakukan Unmul sekarang baru menapaki langkah nomor empat.

Masih ada lima langkah lanjutan lagi untuk bisa merevisi sebuah Statuta universitas. Artinya, masih panjang proses yang harus dilewati sebelum akhirnya menteri terkait menetapkan Statuta Unmul yang kelak akan diperbaharui.

“Kita (Unmul) baru langkah nomor empat ini. Nah langkah nomor lima, perguruan tinggi akan menyempurnakan. Menyempurnakan itu kan artinya kita bakalan rapat dengan senat. Setelah disempurnakan dan diperbaiki, kita akan mengusulkan kembali. Sampai langkah nomor sembilan menteri mengesahkan Statuta itu,” ujarnya menyebut rentetan mekanisme. (dan/pil/gie/asr/len/adl)



Kolom Komentar

Share this article