SKETSA – “Benar saja. Toh kalau mau adain rapat, tidak ada larangan. Lagian yang mengundang juga bukan pihak rektorat, tapi dari Biro Hukum (Kemenristekdikti),” kata Muhamad Muhdar pada Rabu, (28/3) lalu.
Itulah tanggapan pakar hukum sekaligus dosen dari Fakultas Hukum (FH) Unmul saat ditanya Sketsa, perihal apakah rapat yang membahas Statuta di Balikpapan beberapa waktu lalu dapat dibenarkan secara aspek hukum.
Ia kemudian menyebut, hadirnya PP Nomor 4 dan Permendikbud Nomor 139–keduanya keluar tahun 2014–adalah sebuah mandatori hukum. Sehingga, dimasukkan atau tidaknya seluruh guru besar dalam keanggotaan senat di statuta terbaru kelak, itu tergantung dari kebutuhan Unmul sebagai sebuah organisasi pendidikan.
“Kalau guru besar tidak diikutkan, saya pikir ini kebutuhan organisasi,” sebutnya.
Katanya, guru besar sama aja dengan dosen yang lain, namun hanya berbeda level akademis saja. Bahkan secara eksplisit, ia menyebut bahwa tertampung atau tidaknya seluruh guru besar dalam anggota senat bukanlah hal yang sangat krusial.
“Kebutuhan kita (Unmul) kan, apakah kemanfaatan dan peran guru besar juga diperlukan dalam senat atau tidak? Misalnya apa yang dihasilkan oleh guru besar, kalau seandainya mereka tidak jadi anggota senat, memangnya kenapa? Kalau ada di sana (senat) kenapa? Artinya, apa dampak positif dan negatifnya jika ada di sana atau di luar itu. Saya kira tidak ada yang krusial soal ini,” terangnya.
Status Statuta, Kedaluwarsa?
Beredarnya informasi tentang statuta Unmul yang disebut sudah kedaluwarsa sejak 2004 pun ditanggapi Muhdar dari perspektif hukum. Baginya, statuta tahun 2004 bukan berarti telah kadaluwarsa. Karena UUD-nya Unmul itu belum dicabut, berarti peraturan dasar pengelolaan Unmul tersebut masih terus berlaku.
“Tidak berarti bahwa (statuta) itu sudah kedaluwarsa ya, itu statuta 2004. Artinya, kalau belum dicabut juga masih berlaku (sampai sekarang),” pandangnya.
Aturan itu pun harus disesuaikan sembari mengikuti perkembangan dari aturan hukum di atasnya. Tapi jika benar-benar sudah kedaluwarsa, maka segala peraturan yang tertera di dalamnya bisa gugur dan implikasi hukumnya sangat berat.
Ia menambahkan, jika statuta disebut kedaluwarsa, itu berarti seluruh produk hukum yang dibuat pada tahun 2004 hingga sekarang bisa dikatakan gugur. Dan hal tersebut merupakan kasus yang berat.
“Statuta itu UUD-nya (Unmul). Kalau UUD-nya itu tidak memenuhi kekuatan hukum, apa implikasi hukum atau aturan yang pernah diterbitkan di bawahnya? Peraturan rektor, pemilihan dekan. Itu akan menyoal ke urusan-urusan keuangan, implikasi-implikasinya. Jadi masalah itu," paparnya.
Statuta Bukan Hanya Pilrek
“Ini seolah-olah yang dibicarakan ini hanya pemilihan rektor (Pilrek),” ungkitnya mengomentari tudingan-tudingan beberapa guru besar yang menengarai pengubahan statuta dilakukan untuk memuluskan jalan bagi Prof. Masjaya untuk maju dan terpilih lagi dalam ajang Pilrek Unmul medio 2018 mendatang.
Bagi Muhdar, banyak hal yang harus dipersoalkan dalam batang tubuh statuta Unmul, jangan hanya getol membahas isu pilrek. Sehingga baginya, tidak benar bahwa statuta hanya dipandang sempit ke permasalahan Pilrek saja.
“Jangan hanya dipersoalkan guru besar dibatasi, tapi mulailah komprehensif kepada (keseluruhan isi) statuta itu,” katanya.
Ia menyebut, meski di beberapa universitas seperti Universitas Hasanuddin dan Universitas Brawijaya turut memberi kesempatan bagi guru besar untuk terlibat penuh dalam keanggotaan senat, namun aspek hukum tidak bisa membenarkan jika tak ada landasan argumentasi yang kuat.
“Jangan kita ikut-ikuti orang gitu. Praktik di tempat lain mungkin seperti itu, tapi satu yang saya pegang, harus dipastikan kalau melibatkan semua guru besar apa soalnya? Kalau kita pakai perwakilan lima orang apa masalahnya? Hukum akan membungkus itu kalau ada argumentasi yang mapan. Kalau hanya di sana praktikkan, (sedangkan) kita tidak, (alasan) itu kurang kompak,” bebernya.
Baginya, memang harus ada diskusi secara luas dan menyeluruh sebelum akhirnya statuta disepakati. Bahkan menurutnya, statuta ini sebenarnya tidak boleh hanya ditafsirkan otoritas senat saja, tetapi juga harus melibatkan semua stakeholder walaupun kapasitasnya beda.
Ia pun menyelipkan sedikit saran kepada semua guru besar di Unmul jika kelak statuta baru telah disahkan, dan semua guru besar kembali lagi masuk secara otomatis dalam keanggotaan senat universitas.
“Saran saya, guru besar yang akan datang kalau memang semuanya diikutkan, ya namanya guru besar harus membuat produk yang besar, pemikirannya harus besar. Kalau guru kecil macam saya ini hanya dituntut supaya berpikir besar, Kan begitu,” realistisnya. (ycp/dan/pil/gie/len/adl)