Sumber Gambar: Dok. Pribadi
SKETSA – Tak terasa, saat ini kita berada pada penghujung tahun akademik di 2020. Sejak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi global, berbagai upaya pencegahan dilakukan demi menurunkan positivity rate dan tingkat kematian atas Covid-19 di Indonesia. Salah satunya dengan melaksanakan sistem pembelajaran daring untuk meminimalisir kontak dan penyebaran virus.
Sayangnya, kondisi ini menyebabkan keadaan yang sulit khususnya bagi mahasiswa. Kegiatan yang mayoritas dilakukan secara virtual rupanya dapat memicu stres mereka. Dilansir dari jurnal Sistematik Review: Dampak Perkuliahan Daring Saat Pandemi Covid-19 Terhadap Mahasiswa Indonesia (Argaheni, 2020), pembelajaran daring memiliki beberapa dampak terhadap mahasiswa, yakni membingungkan mahasiswa atas sistem yang digunakan, pasifnya partisipasi, berkurangnya kreativitas dan produktivitas, menumpuknya informasi atau konsep pada mahasiswa, mengalami stres dan meningkatnya kemampuan literasi bahasa mahasiswa.
Sketsa berkesempatan untuk mewawancarai dua mahasiswa Unmul yang ingin membagikan pengalamannya selama perkuliahan daring berlangsung. Rara Asri Widyaningrum asal Program Studi (Prodi) Bimbingan Konseling 2019 menyampaikan jika beberapa hal kini berbeda sejak dirinya harus mengikuti berbagai kegiatan dengan sistem online. Sebelum kembali ke rumah, Rara menuturkan jika kegiatan yang ia jalani lebih santai. Seperti kuliah, memasak, menghabiskan waktu dengan menonton film hingga mengikuti kegiatan himpunan mahasiswa (HIMA). Namun saat ini, ia harus membagi waktunya dengan berbagai pekerjaan rumah.
“Saya harus membantu ibu saya yang di warung, mengerjakan pekerjaan rumah, membuat tugas, ikut kegiatan HIMA. (Tapi) sulit untuk mengatur waktu saat berada di rumah. Karena saat mengerjakan tugas, bisa saja ter-distract oleh tugas-tugas lainnya,” ujar Rara, Selasa (15/12).
Selain itu, ia juga mengalami tekanan-tekanan baik dari kegiatan kuliah maupun rumahnya. Berbagai jadwal mata kuliah yang mengharuskannya untuk stay online karena sewaktu-waktu mengalami perubahan hingga jaringan dan perangkat belajar seperti laptop yang bermasalah. Belum lagi ketika ia diminta untuk membantu di warung sehingga semakin sulit untuk mengatur waktu kuliah dan tugas rumah.
“Kalau ada tugas rumah dan kuliah sebenarnya tidak masalah. Cuma jadwal jam kuliah ini kadang-kadang tidak teratur, kadang maju kadang mundur. Konfirmasi kehadiran saat dosen mengajar juga mendadak jadi gak sempat prepare. Apalagi yang menggunakan Zoom, mahasiswa dituntut rapi tapi ngasih link tiba-tiba,” jelasnya.
“Dan juga masalah durasi, penginnya durasi ketika online durasinya tidak seperti offline, (karena) sayang kuota. Kalau bisa materi dibagikan via Whatsapp aja, terus penjelasannya diakhir. Atau nggak 2 minggu sekali Zoom, jangan perminggu,” lanjutnya.
Sempat diwawancarai Sketsa pada Kamis (10/12) lalu, pengalaman lain datang dari Wafiq Azizah, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi 2019. Saat sebelum pandemi, dirinya aktif dan sibuk berorganisasi sehingga banyak menghabiskan waktu di sekretariat atau mengerjakan tugas bersama teman. Selama berkegiatan di rumah, Azizah harus mengimbangi waktu untuk perkuliahan, mengerjakan tugas sampai membantu orang tuanya. Di mana segala aktivitas berubah menjadi daring dan juga harus mengerjakan tugas rumah.
“Sementara tugas kuliah dari dosen kadang suka nyebelin kan ya. Terus kayak jadwal yang semau-maunya aja diganti. Nah, disaat yang sama juga harus tetap bantuin orang tua di rumah. Ganggu banget sebenarnya,” keluhnya.
Baginya, perkuliahan daring membuat mahasiswa terpaksa untuk memahami sendiri materi atau informasi yang diberikan oleh dosen. Menurut Azizah, seharusnya ada pemaparan atau pembahasan lebih lanjut dengan mata kuliah terkait. Ia mengaku jika kuliah daring membuatnya kesulitan memahami materi serta penjelasan yang ada. Tak hanya itu, ia kerap kali harus membeli paket internet berlebih meskipun dirinya mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Berada di rumah dengan intensitas yang lebih lama membuat dirinya juga harus membantu membuat tugas sekolah adik-adiknya. Ini cukup membuatnya tertekan karena di satu sisi, ia harus menyelesaikan tugas-tugas yang ia dapatkan saat perkuliahan. Tetapi juga harus menjalankan tugasnya sebagai kakak di rumah.
“Kemarin aja pas UAS, adikku itu kan bersamaan sama kita UAS juga. Lagi sibuk-sibuknya ngerjain tugas, terus ada kelas. Nah, aku di situ juga harus bantuin kerjain ujiannya adikku. Gimana ya, aku mana ingat pelajaran anak SMP. Kesannya karena aku kakak tertua dan ada di rumah, ya aku harus bantu,” papar Azizah.
Azizah juga menambahkan jika terkadang dirinya mendapatkan tekanan dari orang tuanya selama perkuliahan daring. Meskipun tak terang-terangan menegur atau terus-terusan menyuruh, ia merasa tidak nyaman karena orang tuanya terkesan menyindir. Dirinya merasa tidak enak karena terlihat seperti tidak memedulikan keadaan rumah.
“Kan pasti segala pekerjaan rumah, mamaku yang kerjain. Nanti kalau dia capek, (dia) ngeluh, tapi nyaring gitu. Ngomong ‘capeknya begini, kita semua yang kerjain. Menyapu, memasak, cuci baju. Ada aja orang di rumah ini tapi gak mau dibantuinnya.’ Membantu orang tua? Iya, aku tahu itu kewajiban. Tapi bukan juga jadi kita yang harus mengerjakan semuanya. Kan anak juga harus sekolah, harus belajar. Aku rasa tuh, harus ngertiin juga lah posisinya gimana. Kita lagi kuliah, mikir itu juga capek loh daripada kerja fisik kaya gitu,” sebutnya.
Baik Rara maupun Azizah sama-sama berharap dapat mengikuti perkuliahan secara luring jika keadaan memungkinkan. Jika situasi dan kondisi masih mengharuskan mereka untuk tetap berkegiatan online, mereka juga berharap agar dosen lebih responsif saat mengajar dan orang tua dapat lebih memberikan pengertian terhadap situasi yang saat ini sedang mereka jalani.
“Mungkin dapat dipermudah lagi dalam penyampaian materi maupun tugasnya. Karena banyak mahasiswa yang terkendala jaringan dan fasilitas yang tidak terlalu memadai. Jika offline, penyampaian materi maupun diskusi lebih masuk ke otak dibandingkan online yang hanya mendengarkan saja. Harapannya juga dosen lebih responsif ketika ditanya perihal tugas atau materi dan memberi tugas sesuai kapasitas mahasiswa,” kata Rara.
“Aku penginnya cepat selesai pandemi. Aku sesak banget di rumah. Harapanku kalau masih harus belajar di rumah, semoga kita semua terbebas dari yang namanya stres karena tugas. Kesehatan mental itu penting. Aku tahu, kita semua pasti pusing banget sama keadaan yang kaya gini. Tapi ingat, kamu gak sendiri. Kita semua sama,” tutup Azizah. (khn/jen/len/fzn)