Sumber Gambar: Istimewa
SKETSA - Pencabutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 pada rapat kerja DPR RI Kamis (2/7) lalu menimbulkan polemik. Berbagai kalangan mempertanyakan nasib RUU yang sudah masuk dalam pembahasan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sejak 2016 tersebut. Terlebih, keputusan tersebut keluar di tengah meroketnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia.
Akademisi Fakultas Hukum (FH) Unmul Orin Gusta Andini lewat wawancaranya dengan Sketsa (16/7), menilai harus ada alasan yang jelas mengapa RUU PKS dicabut dari Prolegnas. Orin tak menampik bahwa RUU tersebut perlu dikaji secara komprehensif. Selain itu RUU PKS juga memiliki substansi cukup penting yang tidak diatur dalam hukum pidana seperti victimology atau perlindungan terhadap korban.
"Jadi tidak cuma dari proses penegakan hukum (hanya menghukum pelaku) tapi juga bagaimana sih upaya-upaya yang didapatkan oleh korban setelah ada tindak pidana yang merugikan dirinya," terang Orin.
Adanya RUU PKS diharapkan dapat memberikan tanggung jawab terhadap negara yang selama ini hanya memprioritaskan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. Apalagi jarang ditemukan rumusan pasal yang membahas secara rinci mengenai perlindungan terhadap korban yang diatur dan disusun secara sistematis.
Mengenai dampak dihapusnya RUU PKS dari daftar prioritas, Orin mengatakan penindakan kasus kekerasan seksual dan perlindungan terhadap kaum rentan akan jalan di tempat. Ia menilai instrumen hukum pidana yang ada saat ini masih terkendala alat bukti yang masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan.
Dengan adanya RUU PKS tidak hanya berdasarkan lima alat bukti tersebut, tetapi juga menambahkan keterangan dari korban. Orin menjelaskan Keterangan tersebut nantinya dapat menjadi alat bukti. Ia juga mengatakan masyarakat dapat menilai sendiri keseriusan kinerja DPR RI untuk melindungi kaum rentan, terutama perempuan melalui RUU PKS ini.
"Memang itu pada akhirnya membahayakan bagi si pelaku ini tadi. Saya tidak tahu apa yang membuat RUU ini ditarik ulur dan enggan dibahas, padahal kan tidak ada (unsur) uang di dalam undang-undang ini," tambahnya.
Terkait alasan DPR RI yang menghapus RUU PKS dari daftar prioritas karena pembahasannya yang cukup sulit, Orin mengatakan kesulitan yang jadi hambatan DPR RI tidak bisa diukur karena itu sesuatu yang abstrak. Namun di satu sisi, ia mengakui perlu adanya kajian mendalam yang komprehensif untuk RUU PKS.
Ia menjelaskan bahwa hukum pidana perlu adanya kepastian pasal agar tidak ada multitafsir ataupun pasal yang abstrak, yang dapat menimbulkan isi RUU salah sasaran atau bahkan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Di sisi lain Orin tetap yakin bahwa pemegang kebijakan tetap perlu memerhatikan kembali urgensi RUU PKS, karena menurutnya undang-undang lahir dari realitas dan kebutuhan serta desakan masyarakat.
Orin juga menyebutkan jika belum ada peraturan jelas yang mengatur perlindungan korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dilihat dari rumusan tindak pidana dalam undang-undang yang mengatur norma-norma. Namun norma yang disebutkan di sini sifatnya abstrak sehingga kurang cocok jika dikaitkan dengan tindak kekerasan seksual.
"Memang benar berkaitan dengan nilai-nilai kesopanan yang dianut masyarakat. Namun lebih penting sebenarnya melihat kekerasan seksual bukan dari paradigma itu pelanggaran terhadap norma, tapi melihat itu sebagai kepentingan perlindungan hukum terhadap korban," lanjut Orin.
Paradigma tersebut diperlukan dalam perumusan RUU PKS sehingga penindakan kasus kekerasan seksual tidak hanya menjatuhkan proses hukuman bagi pelaku. Harus dirumuskan juga bagaimana menyembuhkan korban kekerasan seksual yang tidak hanya terluka secara fisik, tetapi juga mentalnya. Oleh karena itu, pemulihan bagi korban sama pentingnya dengan menjatuhkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. RUU PKS juga dianggap lebih menyorot ke sexual harassment, berbeda dari apa yang diatur dalam KUHP, yaitu kejahatan khusus, pencabulan, dan pemerkosaan.
Selain itu, stereotip yang selama ini menyalahkan korban seperti cara berpakaian sehingga menimbulkan kekerasan seksual dapat diubah dengan perubahan paradigma berpikir. Menurutnya, RUU PKS kurang "seksi" jika dibandingkan dengan Omnibus Law yang lancar-lancar saja pembahasannya di tengah pandemi Covid-19 namun tidak kalah menuai kontra. Padahal Komnas Perempuan sudah memperingatkan naiknya jumlah kasus kekerasan seksual beberapa waktu belakangan ini.
Dia juga menyoroti masyarakat yang masih menganggap tabu berbicara pendidikan seks terhadap anak sebagai bentuk pencegahan kekerasan seksual. Padahal masyarakat memiliki peran yang penting untuk mencegah. Ia menyorot kasus pencabulan anak di sebuah rumah ibadah ya sempat ramai di mana korban bingung tidak bisa menentukan perbuatan itu benar atau salah ketika dilecehkan oleh pelaku.
Yang Luput jadi Korban
Penghapusan RUU PKS tentunya membuat sejumlah pihak mendorong agar adanya kejelasan serta segera disahkannya RUU tersebut. Hartina salah seorang aktivis di Kelompok Belajar Anak Muda (KBAM) melihat kasus kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini di mana korban sebagai pihak yang disalahkan karena pakaiannya bukanlah hal yang benar. Padahal perempuan dengan cara berpakaian yang dianggap masyarakat baik pun tidak lepas dari ancaman kekerasan seksual.
Hartina juga menyampaikan bahwa penghapusan RUU PKS dari Prolegnas 2020 adalah keliru, mengingat kasus kekerasan seksual yang terus bertambah. Padahal urgensi dari RUU PKS adalah sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan. Ia juga menambahkan selama ini belum ada payung hukum yang melindungi dan memberikan rasa aman bagi korban kekerasan seksual.
"Dan yang terkadang kita luput bahwa korban kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi pada perempuan, tapi juga pada anak-anak, laki-laki serta kaum minoritas lainnya."
Sebagai bentuk dukungannya terhadap pengesahan RUU PKS, Hartina melibatkan diri dalam aliansi International Women's Day 2020 serta diskusi dan kampanye secara luas tentang RUU PKS. Tidak hanya itu, Hartina mendiskusikan dan mempraktekkan di internal organisasinya agar mencegah perbuatan kekerasan seksual dalam keseharian.
"Bergabung dalam organisasi yang memperjuangkan kesetaraan (hak-hak perempuan dan manusia), terus belajar lebih, pemberian sex education sejak dini. Jangan takut dan percaya diri dan yang terakhir pengesahan RUU PKS," tutupnya. (eng/amy/vny/pil/wil)