Pemilu Usai, Muncul Polemik Hitung Cepat

Pemilu Usai, Muncul Polemik Hitung Cepat

Sumber: Istimewa

SKETSA – Pemilihan umum (Pemilu) dan quick count merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Baru-baru ini Indonesia telah menggelar Pemilu presiden bersama dengan Pemilu legislatif. Berbagai kejadian tidak terduga mewarnai pesta demokrasi Indonesia kali ini. Salah satunya adalah hasil quick count atau perhitungan cepat yang mulai bertebaran selang beberapa saat setelah Pemilu. Ada pihak yang mengatakan hasil dari quick count  tersebut valid dan ada yang tidak. Menurut Memi Nor Hayati, salah satu dosen statistik Unmul, hasil dari quick count tidak dapat dikatakan valid 100 persen.

“Tidak 100 persen, karena semua lembaga survei punya margin eror. Jadi, hasil (quick count) yang sekarang ini hanya prediksi. Lembaga survei mempunyai tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Artinya, ada peluang kesalahan lima persen,” ujarnya saat ditemui Sketsa Kamis (25/4) lalu. 

Menurut Iman Surya, salah satu dosen politik Unmul, ia beranggapan bahwa hasil dari quick count tersebut dapat dipercaya. “Quick count dari lembaga survei tersebut sudah reliable (dapat diandalkan). Ada 40 lembaga survei yang sudah terverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan dinyatakan mampu untuk ikut memantau jalannya Pemilu," tuturnya. 

Dilansir dari tirto.id, quick count sendiri pertama kali digunakan di Indonesia pada Pemilu 2004. Menilai akurat hasil-hasil Pemilu yang dikeluarkan lembaga survei, KPU pun turut tangan untuk membuat aturan mengenai lembaga survei yang dapat turut serta dalam perhitungan hasil Pemilu. Aturan tersebut tercantum dalam Peraturan KPU No. 23 Tahun 2013 yang mengatur pelaksanaan survei dan penghitungan cepat hasil pemilihan umum. Tujuannya agar lembaga survei dapat bekerja dibawah pengawasan KPU secara tidak langsung. 

Menurut Memi, sistematika dari quick count sendiri menggunakan Stratified Random Sampling, dengan 3000 sampel TPS  dari 813.350 TPS diseluruh Indonesia. Penggunan metode ini dinilai paling tepat karena mampu mewakili setiap provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah terwakili yang proporsional. 

"Lembaga survei yang boleh mempublikasi hasil quick count Pemilu adalah lembaga survei yang termasuk ke dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) dan sudah terverifikasi oleh pemilu," tutur Memi. Lembaga survei yang tidak terverifikasi oleh Pemilu tidak boleh mempublikasi atau mengikuti pelaksanaan hitung cepat. 

Dikatakan oleh Iman, selain lembaga survei yang terverifikasi KPU, adapula lembaga survei internal yang dimiliki para pasangan calon (paslon). 

"Parameter yang dimiliki oleh masing-masing paslon merupakan sesuatu yang sah, setiap paslon tentunya memiliki lembaga survei. Lembaga survei yang dimiliki oleh masing-masing pihak membantu keberlangsungan Pemilu 2019," jelasnya

Menanggapi adanya polemik hasil quick count yang salah dan dicurangi, menurut Memi memang bisa dilakukan dengan mengambil sampel dari provinsi-provinsi yang lebih mendukung salah satu paslon. Namun, ia menambahkan jika ada lembaga survei yang sudah terverifikasi melakukan kecurangan semacam ini dapat dipastikan lembaga survei tersebut sudah tidak kredibel dan tidak diperbolehkan lagi mengikuti pelaksanaan quick count

"(Contohnya) Seperti dua lembaga survei pada Pemilu 2014 yang mengumumkan hasil yang berbeda dari lembaga survei lainnya dan ternyata hasilnya tidak sama dengan real count (perhitungan nyata) pemilu. Sekarang sudah tidak tahu dimana rimbanya," paparnya. 

Memi menyarankan kepada para paslon agar tidak terburu-buru untuk mengumumkan kemenangan mereka.

"Bijaknya, para paslon yang dinyatakan menang berdasarkan quick count atau lembaga survei internal tidak mengklaim kemenangan dahulu. Masih ada kemungkinan lima persen salah. Takutnya nanti masyarakat akan bingung. Imbasnya, tidak percaya dengan Pemilu," tutup Memi. (mer/sii/anm/vny/fqh)