MU-EPT: Syarat Kelulusan Pengganti TOEFL

MU-EPT: Syarat Kelulusan Pengganti TOEFL

Sumber foto: Christnina Maharani

SKETSA  Test Of English as a Foreign Language (TOEFL) sering kali menjadi kekhawatiran mahasiswa tingkat akhir. Sebab ini menjadi salah satu syarat kelulusan. Menyikapi persoalan ini, Mustofa Agung Sardjono selaku Wakil Rektor Bidang Akademik mengambil kebijakan untuk membuat suatu tes yang bisa dipakai sebagai standar kelulusan yang tingkat kesulitannya di bawah TOEFL.

MU-EPT (Mulawarman University English Proficiency Test) hadir sebagai salah satu syarat kelulusan untuk mengganti tes TOEFL. Hal ini menjadi pertimbangan akibat banyaknya mahasiswa yang gagal dalam dalam tes TOEFL. Kepada Sketsa (11/04), Aridah selaku Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Bahasa menjelaskan bahwa tes TOEFL berstandar internasional, sedangkan MU-EPT adalah standar yang ditentukan universitas. MU-EPT sudah direncanakan sejak lama, namun baru diumumkan setahun lalu. Mahasiswa angkatan 2016 sudah bisa mengambil MU-EPT bahkan sudah harus lulus.

MU-EPT diadakan pertama kali pada Juni 2018 hingga sekarang. Kelas MU-EPT dibuka setiap hari dengan cara mendaftar online di website Balai Bahasa Unmul terlebih dahulu, kemudian membayar biaya pendaftaran sebesar Rp80 ribu. Untuk biaya pendaftaran tes TOEFL sendiri dibanderol sebesar Rp150 ribu untuk mahasiswa dan Rp200 ribu untuk masyarakat umum.

Aridah menyatakan bahwa MU-EPT dibuat dengan mengarah kepada pola pokok ilmiah yang ada di universitas.

“Soal-soalnya diarahkan kepada pola pokok universitas, jadi tidak American Orientic sehingga diusahakan memberikan soal-soal yang berkaitan di lingkungan kampus kita,” tuturnya.

Untuk jumlah soal, MU-EPT menyediakan soal sebanyak 150, lebih banyak dari TOEFL yang hanya memiliki 140 soal. Waktu pengerjaan soalnya sama seperti tes TOEFL, hanya saja penilaian atau skoring yang dilakukan sedikit berbeda dengan TOEFL.

Meskipun begitu, sertifikat MU-EPT hanya berlaku di lingkungan Unmul, sehingga tidak dapat digunakan sebagai persyaratan kerja. “Sertifikatnya (MU-EPT) hanya bisa dipakai buat syarat kelulusan, buat wisuda dan tidak bisa melamar pekerjaan,” ucapnya.

Dirinya juga menyampaikan bahwa kendala terbesar dari dilaksanakannya MU-EPT ini terletak pada komposisi soal-soal yang dirasa mahasiswa masih sulit. Hal ini disebabkan karena banyak mahasiswa yang tidak berminat untuk mengikuti pelatihan, sehingga melakukan percobaan berkali-kali.

“Itu karena mereka tidak mau belajar, sedangkan mahasiswa yang mendapatkan nilai baik dan lulus adalah yang sudah mendapatkan pelatihan dan mau belajar,” ujarnya.

Perbandingan kelululusan pada tes TOEFL lebih rendah dari persentase di MU-EPT yang lebih tinggi. Inilah yang menandai bahwa kemampuan bahasa Inggris yang cukup saja tidak bisa tanpa melalui pelatihan.

“MU-EPT levelnya menengah dan layak digunakan dalam sehari-hari, berbeda dengan TOEFL yang memiliki level tinggi,” tutupnya. (len/aul/mrf/els)