Melawan Gratifikasi yang Mengakar dan Mendarah Daging

Melawan Gratifikasi yang Mengakar dan Mendarah Daging

SKETSA – Hari itu, Sri Murlianti ingat betul ia pernah membaca surat edaran tentang larangan bagi dosen menerima gratifikasi dalam bentuk apa pun, termasuk uang-uang mahasiswa berwujud makanan di atas meja seminar. Perilaku itu haram, manakala masih ada benang akademis antara dosen dengan mahasiswa sebagai dua pihak yang masing-masing punya kewajiban mengajar dan hak mendapatkan pengajaran.

Diakui Sri, surat edaran tersebut memang tak memuat spesifik gratifikasi yang dimaksud. Tapi, dosen Pembangunan Sosial FISIP itu yakin benar, ada pasal yang tegas berbunyi dan harusnya tak multitafsir: segala bentuk.

Dari dulu, Sri dikenal sebagai dosen yang paling kontra dengan pemberian makanan saat seminar dari mahasiswa. Bahkan, Sri melarang setiap mahasiswa bimbingannya untuk memberi dalam bentuk apa pun. Tak peduli itu makanan berat, ringan, mahal, atau murah. 

Larangan itu berkali-kali disampaikan Sri dalam grup Facebook dan WhatsApp mahasiswa bimbingannya. Dalam berbagai kesempatan di kelas, ia tak lupa menyampaikan hal serupa. 

“Pernah ada mahasiswa nekat bawa makanan. Makanannya saya tinggal. Saya bilang kalau tidak ya tidak! Itu sebenarnya kayak shock therapy biar besok-besok enggak ada lagi, tapi tetap saja ada beberapa kejadian, walaupun enggak semua. Yang ngomong begitu cuma saya, sepertinya (satu-satunya di FISIP),” ucapnya saat ditemui di Ruang Prodi Pembangunan Sosial, Rabu, (28/2).

Walau sudah begitu, rupanya masih saja ada mahasiswa yang melanggar alias ngotot memberikan. Keadaan menjadi tidak menyenangkan saat Sri bukan duduk sebagai dosen pembimbing, tapi penguji. Ia jadi tidak punya kontrol lebih.

“Tidak mungkin saya ngomong ke pembimbingnya. Jadi, ketika saya nguji di meja situ ada makanan, saya enggak bisa komen,” tukasnya.


Paket Sembako sampai Menghilang Demi Seminar

Betapa terkejut Sri saat mendapati isi kiriman mahasiswa bimbingannya adalah paket sembako. Sebelumnya, mahasiswa itu sudah ditolak untuk tidak memberi apa pun. Berkali-kali ditolak Sri, ia tak goyah, tetap ngotot, dan bilang kiriman itu dari orang tuanya dari kampung halaman.

Ukuran kardus yang cukup besar, Sri sempat mengira isinya mungkin cendera mata atau barang kerajinan etnis. Tetapi saat dibuka, isinya justru cukup membuat kesal.

“Saya merasa tersinggung, dilecehkan saya bilang. Jadi, waktu itu saya suruh bawa Bu Ratna ke panti asuhannya Bunda Utari, yang melihara anak korban pelecehan satu kardus itu,” katanya.

Bimbingan selanjutnya lain lagi. Setelah menerima surat bimbingan, mahasiswa itu tak pernah muncul sampai satu tahun lamanya, sementara Sri menjalani hari-hari seperti biasa. Suatu hari, mahasiswa itu muncul lagi. Setelah ditanya ke mana, rupanya ia memilih bekerja dan menunda skripsi demi mampu mencukupi hidangan meja seminar.

“Jadi saya bilang ke bimbingan saya, ‘Kalian belajar sungguh-sungguh, bisa melakukan apa yang kita diskusikan, tidak gampang tersinggung dan putus asa karena saya orangnya galak, itu saja sudah oke, enggak perlu kamu bawa apa-apa,'” kenang Sri.

Bagi Sri, seminar tugas akhir tak ada bedanya dengan proses belajar mengajar harian di kelas. Bahkan di kelas, hingga dua jam, tidak ada pemberian makanan atau minuman. Fokus yang jadi pecah sebelum seminar juga disayangkan Sri karena mahasiswa lebih sibuk mengurus konsumsi ketimbang skripsi.

"Belum lagi kalau misalnya makanan sudah siap semua baru ujiannya enggak jadi,” imbuhnya.



Masalah Budaya dan Perlawanan Demi Kemanusiaan

Disadari Sri, terutama di FISIP banyak mahasiswa yang hidupnya pas-pasan, bahkan untuk makan saja susah, apalagi yang jauh dari orang tua. Menurut Sri, yang menjadi pokok persoalan gratifikasi ini adalah budaya. Dan jika sudah bicara budaya, maka itu  berarti bicara perkara yang sulit untuk diubah. 

“Kalau di sini (FISIP) berat, karena kebanyakan problemnya karena enggak enak. Kalau sudah enggak enak itu artinya culture yang bicara, kalau culture ya susah,” sebutnya.

Meski begitu, kata Sri, persoalan budaya bisa diatasi jika ada kesadaran bersama dan kepekaan terhadap suatu masalah. Karena akan mudah mengubah sesuatu kalau dilakukan bersama-sama, baik dari birokrat, dosen, serta mahasiswa itu sendiri. 

Saat ini, tak heran jika gratifikasi terus mendarah daging. Tak cuma mahasiswa yang ngotot, beberapa dosen pun ternyata diketahui ikut melanggengkan budaya ini. Ada yang sengaja meminta disediakan menu khusus bahkan ada yang menghindar jadi penguji kalau tahu Sri adalah pembimbing dari mahasiswa. Karena sudah pasti tidak akan ada apa-apa yang disajikan.

“Tapi kalau saya sendiri stay di situ, karena ini ilmu sosial. Kita harus menghidupkan kemanusiaan, inti sosial itu kemanusiaan,” jawabnya.


Menengok Aturan Konsumsi Seminar di Kampus Lain 

Berbeda dengan FISIP, Fakultas Hukum (FH) Unmul justru punya aturan tegas yang melarang mahasiswa memberikan makanan terhadap dosen saat seminar.

“Di Hukum itu ada aturan tegas melarang, tetapi beberapa dosen juga masih menerima, kemarin juga masih ada. Tetapi aturan legalnya kan ya enggak boleh,” ungkap Sri.

Bergeser ke Pulau Jawa, tepatnya ke Universitas Gadjah Mada (UGM), kampus yang menjadi tempat Sri mengenyam pendidikan ini ternyata punya aturan yang lebih jelas pun tegas. UGM melarang mahasiswanya memberikan apa pun kepada dosen saat seminar, bahkan yang mengurus konsumsi adalah pihak kampus, sehingga tidak membebani mahasiswa.

“Kalau di UGM itu konsumsi yang mengurusi kepegawaian, itu including di Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), tetapi bukan makan besar kaya gitu, menunya Aqua gelas sama snack dua macam. Jadi mahasiswa itu mau pendadaran atau seminar enggak mikir itu, mikir skripsinya,” jelasnya.

Berkaca dari FH dan UGM, Sri berharap FISIP bisa memberi contoh untuk fakultas lainnya. Perlu ada aturan yang jelas soal gratifikasi, bukan hanya selebaran dan edaran dari birokrat yang belum tentu dibaca semua dosen.

Adapun, dari sisi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) aturan mengenai gratifikasi sudah ada. Surat edaran mengenai larangan menerima hadiah bagi dosen yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral (Dirjen) Pembelajaran dan Kemahasiswaan, terdiri dari tiga poin.

Edaran tersebut secara garis besar melarang dosen menerima dan/atau meminta hadiah/gratifikasi/pemberian apa pun dari mahasiswa, dan sebaliknya. Jika melanggar akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dikeluarkan di Jakarta, pada 23 Februari 2017. (wil/aml/adl)