Event

Perkara Tambang yang Terus Mengambang

Suasana seminar regional bertema “Implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara.” oleh BEM FH pada (17/5) lalu. (Sumber foto: dok. BEM FH)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Tepat satu tahun sudah pasca aksi demonstrasi yang digelar Koalisi Anti Mafia Tambang yang kala itu mendesak Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak untuk bertindak tegas mencabut izin tambang bermasalah karena tidak memiliki sertifikat clear and clean  (CnC) dalam operasinya. Kenyataan ini makin diperparah dengan tewasnya 27 anak di lubang bekas galian tambang yang ditinggal begitu saja. Pun tanpa memperhatikan keselamatan warga yang tinggal di area lubang maut itu.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM melalui Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot Ariyono, soal urusan CnC di Kaltim tercatat bahwa IUP yang telah mengantongi sertifikat berjumlah 412 eksplorasi dan 422 operasi. Sementara yang belum mengantongi sertifikat berjumlah 250 eksplorasi dan 44 operasi.

Situasi ini kemudian melahirkan Koordinasi dan Supervisi KPK Bidang Mineral dan Batubara yang menyatakan tenggat waktu bagi gubernur se-Indonesia untuk melakukan evaluasi dan rekonsiliasi status CnC serta pencabutan izin IUP yang tidak CnC adalah 12 Mei 2016.

“Mirisnya, hingga hari ini gubernur kita masih takut sekalipun korban terus berjatuhan mati di lubang tambang. Lingkungan rusak sementara penegakan hukum sangat lemah,” tandas I Ketut Bagia, moderator dari Jaringan Advokasi Tambang Kaltim mengakhiri seminar.

Rabu (17/5) kemarin, BEM FH menggelar seminar regional bertema “Implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara.” Bertempat di Aula Serbaguna Rektorat lantai 4, seminar itu dihadiri tiga pemateri dari kalangan akademisi dan dinas terkait, yakni Muhammad Muhdar Akademisi FH Unmul, Aji Sofyan Effendi Akademisi FEB Unmul, dan Istiadi perwakilan Dinas Pertambangan Kaltim. Ketiganya memaparkan bagaimana situasi mineral dan batubara Kaltim hingga produk hukum yang mengaturnya.

Ditemui usai acara, ketua panitia seminar Muhammad Faisal Fadhil mengatakan seminar ini merupakan kali pertama digelar oleh BEM Hukum. Adapun peserta datang dari berbagai universitas di Samarinda, namun mayoritas yang hadir adalah mahasiswa FH. Kendati demikian, ruangan seminar tampak penuh disesaki para peserta. Perihal tema, menurutnya berangkat dari pro dan kontra UU dan izin soal minerba.

“Kalau ada kecacatan, kenapa izin tetap diberikan? Mestinya ada penegakan hukum dan sanksi tegas. Menjaga lingkungan tidak hanya lewat kritik pemerintah apalagi jadi penonton. Kita mahasiswa harus jadi aktor dan bergerak,” ucap Fadhil.

Kemudian Sebastian Bani, Ketua BEM Hukum mengatakan adanya seminar hari ini merupakan hasil Musyawarah Nasional (Munas) Lembaga Eksekutif Mahasiswa Hukum Indonesia (LEMHI) keenam yang berlangsung di Universitas Cendrawasih Papua, Oktober 2016. Ketika itu isu besar yang dibahas adalah persoalan lingkungan yakni mineral dan tambang. Hasil Munas itu lantas diedarkan di daerah masing-masing anggota aliansi dan melahirkan seminar ini bagi BEM Hukum Unmul selaku Koordinator Nasional (Kornas) wilayah tengah LEMHI.

“Kita angkat tema mineral dan batubara karena kan relevan untuk Kaltim. Kalau di Papua waktu itu yang dibahas tambang emas Freeport. Secara struktur, seminar ini adalah program kerja Kementerian Kajian Strategis dan Advokasi (Kastrad)," terangnya.

"Dan, ini agenda seminar pertama bagi kami. Puji Tuhan selesai memuaskan. Kami dapat apresiasi juga dari fakultas dan mencoba memperlihatkan ke universitas bahwa FH yang selama ini dianggap yang bagaimana-bagaimana tapi bisa melakukan hal seperti ini juga,” sambungnya lagi.

Bastian berharap, mahasiswa mampu lebih peka terhadap permasalahan lingkungan. Adanya seminar ini, menurutnya harus membuat yang semula tidak tahu menjadi tahu. Terlebih, pemaparan narasumber telah membuka mata bahwa ada masalah dan hendaknya dikaitkan dengan kajian keilmuan di Fakultas Hukum sendiri yaitu UU atau produk hukum.

Terkait UU Nomor 4 Tahun 2009 yang jadi bahasan utama seminar menurutnya memungkinkan dikaji ulang. “Ada yudisial review yakni peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi jikalau ada UU yang dirasa sudah tidak relevan atau sesuai dengan realita,” pungkasnya. (aml/jdj)



Kolom Komentar

Share this article