Berita Kampus

Ketidakseimbangan Antara Usaha dan Hasil: Peroleh Nilai C Meski Mahasiswa Aktif di Kelas

Pemberian nilai yang tidak sesuai jadi persoalan tersendiri bagi mahasiswa dan dosen

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: AI Image Generator

SKETSA - Semester genap resmi berlalu setelah diterbitkannya Surat Pengantar Prosedur Operasional Standar (POS) Pelaksanaan Herregistrasi dan Pengisian KRS Semester Ganjil Tahun Akademik 2024/2025. Sebelum berganti semester, penilaian akhir menjadi penutup transisi periode akademik tersebut. 

Namun, tidak sedikit mahasiswa yang mengeluh atas penilaian akhir semester yang didapat. Penilaian akhir semester kerap kali menuai berbagai pertanyaan, mulai dari bagaimana sistematika penilaian dosen, batas akhir penginputan nilai, hingga apakah terdapat masa sanggah nilai yang dapat diajukan oleh mahasiswa. 

Permasalahan perihal ketidaksesuaian antara usaha yang telah diberikan terhadap nilai yang didapatkan, dan tidak adanya informasi terkait skema penilaian yang jelas di awal pertemuan semester turut menjadi keresahan bagi mahasiswa. 

Kepada Sketsa, M. Rifki Al-Faris selaku mahasiswa program studi (Prodi) Hubungan Internasional FISIP 2021 membagikan pengalamannya mengenai hal tersebut. Rifki menyatakan bahwa penilaian yang diberikan oleh dosen sudah cukup tepat. Namun, sayangnya terdapat beberapa dosen yang tidak menjelaskan cara penilaian mereka di silabus pertemuan.

“Pernah saat itu nilai saya tidak dikeluarkan karena dia bilang saya tidak absen saat ttd (tanda tangan) UAS (Ujian Akhir Semester), padahal beliau sendiri bilang saat itu UAS take home dan saya sudah absen, nilai saya akhirnya dikeluarkan saat semester depan dan juga saya pernah diberi (nilai) C hanya karena tulisan jelek.  Padahal saya selalu aktif di kelas dan mengerjakan segala tugas tepat waktu,” jelas Rifki melalui pesan WhatsApp, Kamis (27/6) lalu.

Di sisi lain, Muhammad Rifal, mahasiswa prodi Manajemen FEB 2021 menyampaikan sudut pandangnya mengenai jumlah dosen yang dirasa tidak adil dalam melakukan penilaian.

“Menurut saya, skema penilaian yang digunakan oleh dosen belum cukup adil dikarenakan nilai yang diinput dirasa tidak sesuai dengan apa yang sudah dilaksanakan selama perkuliahan dimulai,” ucap Rifal melalui pesan WhatsApp.

“Pernah saya merasa tugas, ujian, dan absen sudah terpenuhi tetapi kenapa nilai saya selalu rendah dibandingkan dengan teman saya yang jarang masuk,” sambungnya.

Selain permasalahan tersebut, sulitnya akses yang dimiliki mahasiswa untuk meminta keterangan, dan melakukan konfirmasi lebih lanjut perihal nilai yang didapat kepada dosen pengampu juga menjadi keluhan. 

Hal tersebut disebabkan adanya beberapa dosen yang tidak membalas pesan atau hanya sekadar membaca pesan yang dikirimkan oleh mahasiswa.

“Dari saya sendiri jujur tidak pernah komplain terkait masalah nilai, tapi dari teman-teman saya sendiri kebanyakan dari mereka ditolak dan dosen tidak mau mengulang lagi untuk input nilai,” sebut Rifal yang dihubungi pada Kamis (27/6) lalu.

Menilik informasi lebih lanjut terkait sistematika penilaian akhir dosen, Sketsa kemudian menghubungi Ainun Nimatu Rohmah, salah satu dosen aktif di Prodi Ilmu Komunikasi dan saat ini merupakan Ketua Gugus Jaminan Mutu Fakultas (GJMF) FISIP.

Ainun menyebutkan bahwa memang seharusnya dosen diharapkan untuk dapat transparan dalam menjelaskan penilaian kepada mahasiswa berdasarkan indikator-indikator yang ada. Namun, realitanya, khususnya di FISIP sendiri cukup sulit untuk menerapkan sistem penilaian berbasis matriks secara ideal dikarenakan banyaknya jumlah mahasiswa.

Di samping itu pembuatan matriks penilaian membutuhkan waktu yang banyak, serta ragamnya tugas yang dimiliki dosen selain daripada melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

“... memang treatment-nya itu agak sulit mengaplikasikan penilaian berbasis matriks tadi. Kenapa? karena jumlah mahasiswa kita banyak banget, menilai masing-masing individu itu ternyata gak mudah, saya berusaha konsisten beberapa tahun ini khusus di kelas soskom (Sosiologi Komunikasi) saya aplikasikan itu wasting time banget,” jelas Ainun saat ditemui awak Sketsa di Ruang GJMF FISIP pada Kamis (4/7) lalu.

“Nah, membuat matriks itu enggak mudah, membutuhkan waktu yang banyak sekali. Sementara dosen sendiri juga memang tuntutannya tidak hanya memberikan nilai, tidak hanya mengajar, banyak tugas-tugas yang lain,” lanjutnya.

Menurutnya, bisa jadi ada dosen yang sudah berusaha untuk semaksimal mungkin memberikan nilai, seobjektif mungkin. Namun, tidak memiliki waktu yang cukup mumpuni untuk menjelaskan secara detail kepada mahasiswa terkait indikator-indikator penilaian yang ada.

Selain itu, Ainun juga tidak menepis kemungkinan bahwa terdapat pula sejumlah oknum, akibat banyaknya pekerjaan yang dimiliki dosen, menjadikan penilaian bukanlah sebuah prioritas. Tidak menilai latar belakang serta usaha yang dikeluarkan mahasiswa.

“... highlight saya itu adalah kepada bagaimana dosen merespons mahasiswa. Memberikan nilai itu kewajiban dosen, menerima nilai itu haknya mahasiswa, mempertanyakan kenapa nilainya demikian itu haknya mahasiswa juga dan dosen itu juga sebenarnya wajib untuk menjelaskan itu.”

Di sisi lain, Sketsa menemukan bahwa dosen juga telah cukup maksimal dalam memberikan penilaian akhir semester pada setiap mahasiswa. Hal ini dikarenakan kehadiran sistem penilaian melalui Academic Integrated System (AIS) sebagai salah satu sarana yang cukup ideal dalam memberikan nilai kepada setiap mahasiswa.

“... sekarang kami semua dosen itu wajib memasukkan nilai berdasarkan skema, yang mana sudah dirincikan nilai tugas berapa, UAS berapa, proyek berapa, case study berapa, kuis berapa. Antara 5 atau 6 skema penilaian dan itu sudah by system, kami enggak bisa hanya memberi satu nilai saja karena enggak akan tersimpan,” terang Ainun.

Ainun turut menyoroti bahwa permasalahan serupa memang kerap kali terjadi, selama Ia berada di GJMF - FISIP terdapat beberapa mahasiswa yang curhat terkait penilaian akhir semester yang didapatkan. 

“Namun, kebanyakan mahasiswa juga diem, takut nilainya malah turun dan seterusnya. akhirnya, diem. padahal hal-hal seperti itu enggak akan bisa diperbaiki kalau kami gak tau ….”

Ainun menegaskan bahwa mahasiswa tidak dapat mengatur berbagai macam karakter dosen yang berbeda-beda. Namun, mahasiswa dapat mengatur cara mereka merespons atas apa yang mereka dapatkan.

Terakhir, Ainun menyebutkan bahwa mengembalikan tugas dosen berdasarkan Tri Dharma perguruan tinggi serta memfasilitasi dosen dalam hal administrasi sehingga jajarannya bisa fokus melakukan penilaian tanpa ada beban tambahan.

Ia menyebutkan jika tiga nilai dari Tri Dharma tersebut sudah terpenuhi, maka kemungkinan untuk menilai mahasiswa secara objektif bisa menjadi lebih mudah diterapkan.

“Namun, dengan sistem yang sudah diberikan oleh universitas menurut saya itu sudah salah satu jalan yang membantu sekali. Tinggal bagaimana kita memperkuat trust antara mahasiswa ke dosen, juga gimana dosen-dosen bisa lebih humanis lagi kepada mahasiswa,” pungkasnya. (ysn/lap/nnf/ali).



Kolom Komentar

Share this article