Tentang Kami

Apa dan Seperti Apa Itu Kebenaran dalam Jurnalisme?

Pada Sabtu (30/9) sore itu, di luar sektetariat sedang hujan sementara di dalam awak Sketsa berkumpul untuk bersama-sama berdiskusi. (Foto: Fira)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Pada Sabtu (30/9) sore itu, di luar sektetariat sedang hujan sementara di dalam awak Sketsa berkumpul untuk bersama-sama berdiskusi dengan tema “Wartawan bekerja untuk Siapa?”. Selayaknya Sketsa sebagai lembaga pers mahasiswa juga merupakan wartawan yang bekerja untuk sivitas akademik Unmul.

Namun, bagaimana dengan wartawan di luar sana? Sejatinya mereka bekerja untuk siapa? untuk negara, masyarakat, atau untuk perusahaan tempatnya bekerja? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang coba kami diskusikan bersama.

Wartawan memiliki prinsip yang merujuk pada 9 elemen jurnalisme yang terdapat dalam buku karangan Bill Kovach dan Tom Rosenstel  berjudul The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and The Public Should Expect (2001).

9 elemen itu terdiri dari (1) jurnalisme memegang pada kebenaran, (2) loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga, (3) esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, (4) jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput, (5) jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan, (6) jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik, (7) harus berupaya membuat hal penting itu menarik dan relevan, (8) jurnalis harus menjaga agar beritanya komperhensif dan proporsional, dan (9) jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka.

Diskusi kali ini dibuka oleh moderator Uswatun Hasanah. Dirinya mengawali dengan memberikan penjelasan mengenai pengertian junalis serta 9 elemen jurnalisme. Moderator memfokuskan pokok diskusi pada elemen jurnalisme pertama yakni kewajiban jurnalisme adalah memegang pada kebenaran.

Uraian pendapat pertama diawali oleh Eka Rizky Prabowo. Ia mempertanyakan seperti apa  kebenaran yang sesungguhnya dalam jurnalisme. Beragam jawaban pun mulai dilontarkan. Menurut Ariani, kebenaran yang sebenarnya adalah kebenaran yang apa adanya yang diperoleh tanpa ada penafsiran lain. Sementara Shafira Pandu Winata lain lagi, ia melihat kebenaran adalah ketika jurnalis bisa independen kepada warga masyarakat dalam memberikan informasi.

Jati Dwi Juwitaningrum menyahut dengan mengatakan kebenaran yang ada pada masing-masing media itu berbeda, maka pintar-pintarlah masyarakat sebagai konsumen untuk memilah berita. Sementara Amelia Rizky, menilai kebenaran bisa didapatkan jika masyarakat melakukan verifikasi terlebih dahulu di tiap berita yang diterima. Karena jika tidak sangat mungkin akan menggiring opini publik ke arah yang tidak tepat dan ujung-ujungnya menciptakan hoaks.

Sementara Wahid Tawaqal melihat kebenaran sebagai sesuatu yang absurd. Itu membuat kebenaran harus selalu diuji dengan mumbudayakan sikap cek and mengecek, serta pentingnya meningkatkan budaya literasi di masyarakat. Lalu Khajjar Rohmah berpendapat bahwa kebenaran memiliki selalu konteksnya masing-masing. Untuk kebenaran dalam jurnalisme haruslah sesuai fakta yang ada, tidak berpihak, serta aktual.

Adalah sebuah keharusan bagi media berpegang teguh pada kebenaran. Namun, faktanya tidak semua produk media itu selalu benar dan tidak berarti juga selalu salah. Media harus berintegrasi dengan nilai-nilai jurnalistik yang ada, agar kebenaran yang disampaikan benar adanya. Untuk menemukan kebenaran maka hendaknya dimulai dengan menjadi bagian masyarakat yang kritis terhadap berita yang didapat, membudayakan verifikasi dari berbagai sumber informasi, dan selalu mau meningkatkan budaya membaca. (fir/wal)



Kolom Komentar

Share this article