Sosok

Sempat Alami Kegagalan hingga Torehkan Prestasi: Kisah Mahasiswa Kedokteran Raih Nilai Tertinggi UKMPPD Nasional

Gagal bukan akhir, Wahyu buktikan mimpi bisa jadi nyata dengan tekad dan kerja keras

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi


SKETSA - Dalam dunia kedokteran, perjuangan sering kali dimulai jauh sebelum menyandang gelar “dokter”. Begitu pula dengan kisah Muhammad Wahyu Al-Fajri, seorang mahasiswa FK Unmul yang berhasil menorehkan prestasi membanggakan. Mahasiswa angkatan 2018 yang akrab disapa Wahyu ini meraih nilai tertinggi nasional pada Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD), khususnya pada tes Computer Based Test (CBT). 

Capaian tersebut bukanlah hasil yang datang tiba-tiba, melainkan buah dari perjalanan panjang, jatuh bangun, serta tekad yang tak pernah padam. 

Sebelum mengenakan jas putih kebanggaan, perjalanan Wahyu sempat dihadang oleh kegagalan. Ia mengaku sempat gagal dalam seleksi masuk program studi (Prodi) kedokteran dan akhirnya diterima di prodi Teknik Kimia. Selama setahun, ia menempuh studi di prodi itu. Namun, hati kecilnya tetap terpaut pada dunia medis. Berbekal tekad yang kuat itu, ia kembali mencoba, hingga pada akhirnya ia diterima menjadi mahasiswa FK Unmul.

Perjuangan panjang yang tidak mudah itu melahirkan motivasi dalam dirinya untuk terus berprestasi. Ia menilai, biaya pendidikan kedokteran yang tidak murah harus sepadan dengan pencapaian yang gemilang. 

Tidak heran, sejak masa pre-klinik, ia sudah menunjukkan keseriusan belajar hingga dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik satu angkatan. Namun, masa co-assistant (Koas) membawa tantangan baru baginya. Persaingan nilai yang ketat membuatnya gagal mempertahankan predikat terbaik. Sejak saat itu, ia menargetkan satu hal, yaitu membuktikan diri melalui UKMPPD. 

Perjuangan yang harus dilewati saat menuju ujian kompetensi bukanlah perkara mudah. Seusai menyelesaikan masa Koas, ia mulai fokus menyiapkan diri menghadapi CBT dan Objective Structured Clinical Examination (OSCE). Keduanya merupakan tahapan penting yang menentukan apakah seseorang layak menyandang gelar dokter. Beruntung, para dosen dan dokter spesialis di fakultasnya memberikan bimbingan intensif sebagai bentuk dukungan.

“Pokoknya mulai belajar aja, konsisten dan disiplin,” ujar Wahyu saat ditanyai Sketsa melalui Zoom meeting, Rabu (17/9) lalu. 

“Dari waktu pre-klinik sebenarnya aku udah sering baca-baca soal dari UKMPPD, jadi akhirnya terbiasa waktu sudah mempersiapkan ujian tersebut. Kalau udah koas, bisa nyoba latihan soal setiap akhir stase. Misal udah selesai stase jiwa, coba aja soal-soal jiwa,” lanjutnya. 

Wahyu menuturkan, tes CBT berisi 150 soal dari berbagai bidang kedokteran yang dikerjakan serentak oleh mahasiswa di seluruh Indonesia. Sementara itu, OSCE menghadirkan simulasi langsung di hadapan pasien dan penguji.

“Kemarin kalau nggak salah ada dua belas kasus, jadi sekitar tiga jam ujiannya waktu OSCE.”

Meski begitu, di balik keberhasilan yang diraih, tersimpan perjuangan yang tidak ringan. Dua hari pelaksanaan ujian pada saat itu menjadi penentu masa depan setelah enam tahun lamanya menempuh pendidikan yang penuh pengorbanan. 

“Kita enggak tau apa (tes) yang bakal keluar, enggak bisa ditebak,” ungkap Wahyu. 

Di luar akademik, ia juga aktif di organisasi Tim Bantuan Medis (TBM) Azygos FK Unmul. Keterlibatannya di sana memperkaya pengalaman lapangan di bidang yang ia tekuni. 

Sebagai penutup kisahnya, Wahyu berpesan kepada mahasiswa lain agar memprioritaskan urusan akademik sejak awal.

“Pokoknya, intinya selesaikan dulu akademiknya. Kalau sudah selesai, baru pergi jalan-jalan. Prioritasin dulu pendidikan,” tuturnya dengan mantap.  

Dari perjuangan Wahyu yang dimulai dengan penolakan hingga menjadi yang terbaik di tingkat nasional, membuktikan bahwa kegigihan selalu menemukan jalannya. (mlt/ali)



Kolom Komentar

Share this article