Dikhianati UKT: Biaya Kelas Dunia, Fasilitas Dunia Ketiga
UKT mahal tak sebanding fasilitas, mahasiswa Unmul mempertanyakan transparansi dan komitmen kampus
- 21 Nov 2025
- Komentar
- 70 Kali
Sumber Gambar: meer.com
Saat baru selesai menempuh pendidikan sekolah menengah atas (SMA), banyak siswa yang ingin melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi banyak juga siswa yang tidak melanjutkan pendidikan mereka dikarenakan terhalang oleh kondisi ekonomi. Biaya masuk ke perguruan tinggi yang relatif mahal membuat banyak siswa mengubur mimpi mereka untuk bisa masuk ke perguruan tinggi dan jurusan yang mereka impikan.
Di tengah hiruk-pikuk klaim peningkatan mutu dan pembangunan infrastruktur modern, terjadi kontradiksi menyakitkan di kampus-kampus negeri. Besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus merangkak naik ke level fantastis, sama sekali tidak tercermin pada fasilitas belajar, laboratorium, maupun sarana prasarana yang kondisinya kian memprihatinkan.
Terutama di Unmul. Banyak mahasiswa yang mengeluhkan perihal besarnya biaya UKT tersebut. Mahasiswa sering mengeluhkan tingginya biaya UKT yang harus dibayarkan tetapi tidak sebanding dengan fasilitas yang didapatkan.
Sebagai contoh ruang kelas yang sudah kurang layak dipergunakan, kursi dan meja banyak yang rusak, kipas angin yang sudah mulai tidak berputar, hingga area sekitar kampus yang masih sering terkena banjir. Bahkan mengingat pada Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), banyak mahasiswa baru (Maba) yang tumbang perihal suasana GOR 27 Unmul yang sangat penuh, panas, dan pengap.
Selain itu, ketika hujan melanda, terdapat beberapa titik daerah kampus unmul yang terdampak banjir, salah satunya gedung FKIP Unmul, jalan utama di depan gedung FEB Unmul, dan di area sekitar kampus banggeris Unmul.
Berkaitan dengan permasalahan ini, peran pejabat kampus sangat penting dalam mengatasi dan menangani banyaknya sarana dan prasarana yang sudah kurang layak untuk digunakan.
Fenomena UKT tinggi dengan fasilitas yang minim bukan hanya terjadi di gerbang Unmul, tetapi juga menjadi polemik nasional. Lalu, bagaimana pakar melihat ironi ini?
Pakar Ekonomi Unair, Imron, menekankan perlunya keadilan dan pembaharuan dalam penetapan UKT. Dikutip dari Unair News, dirinya menyatakan, kualitas pendidikan memang butuh biaya besar, tetapi jangan semua beban terdapat pada mahasiswa. Pemerintah harus memiliki andil yang besar agar UKT dapat turun.
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Satria Unggul Wicaksana melalui detikedu menyatakan secara eksplisit bahwa kenaikan UKT saat ini belum berbanding lurus dengan yang diterima oleh mahasiswa, seperti kualitas pendidikan, akademik, maupun fasilitas.
UKT yang terus melambung tanpa diimbangi perbaikan fasilitas dasar secara langsung melanggar prinsip aksesibilitas yang dijamin konstitusi. Biaya mahal ini bukan hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga menghambat terwujudnya cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: "mencerdaskan kehidupan bangsa."
Bagaimana mungkin bangsa ini cerdas jika akses menuju pendidikan tinggi berkualitas menjadi hak istimewa bagi “kaum berduit” saja? Kasus di Unmul, di mana mahasiswa dipaksa membayar biaya premium namun masih mengeluhkan kipas angin mati atau toilet yang tidak layak, adalah cerminan kegagalan institusi dalam mengelola dana pendidikan untuk kepentingan publik.
Jelas, tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak sebanding dengan fasilitas yang diterima mahasiswa bukan hanya masalah administrasi kampus, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip keadilan dan janji konstitusi. Jika Negara sungguh-sungguh ingin mewujudkan cita-cita "mencerdaskan kehidupan bangsa," maka komersialisasi pendidikan harus dihentikan.
UKT wajib dikembalikan fungsinya sebagai sarana subsidi, bukan alat untuk membebani mahasiswa dengan biaya "kelas dunia" demi fasilitas yang tak layak.
Fenomena UKT mahal untuk fasilitas minim adalah alarm darurat yang menuntut aksi nyata. Tidak ada lagi toleransi bagi kampus yang menuntut biaya premium namun hanya menyediakan layanan seadanya.
Demi masa depan bangsa yang cerdas dan adil, mahasiswa, orang tua, dan pemerintah harus bersatu menuntut akuntabilitas penuh; memastikan bahwa setiap rupiah UKT yang dibayarkan benar-benar digunakan untuk memuliakan kualitas pendidikan, bukan hanya mengisi kas institusi.
Opini ini ditulis oleh Daffa Yuana Putra, mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unmul 2025