Sosok

Isa: Lebaran hingga Hidup di Tanah Rantau

Kisah lebaran perantau.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dok. Pribadi.

SKETSA - Lebaran seharusnya menjadi kesempatan bagi yang merayakan untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Namun, pandemi virus corona menyebabkan semua tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Meski sadar akan kebijakan pemerintah yang membatasi akses keluar masuk daerah untuk menanggulangi risiko penyebaran, banyak orang terpaksa harus kembali ke daerah asalnya untuk dapat bertahan hidup karena kehilangan sumber penghasilannya. Tetapi, ada beberapa yang memilih untuk tidak pulang ke kampung halaman.

Inilah yang dialami oleh perantau asal Garut, Jawa Barat yakni Isa Abdul Munajat. Ia mengaku bahwa selama lima tahun lebih di Samarinda, baru sekali dirinya pulang kampung. Walaupun ada keinginan untuk merayakan lebaran di Garut bersama istrinya, tahun ini Isa memilih untuk tidak menghanyutkan diri ke dalam arus mudik karena situasinya belum memungkinkan.

Ketika ditanya mengenai perbedaan suasana perayaan Idulfitri antara di Samarinda dan di kampungnya, ia mengungkapkan bahwa umumnya sama saja. Hanya berbeda dalam kegiatan silaturahmi. Ketika di kampungnya, Isa dapat mengunjungi keluarga dan tetangga di sekitar rumahnya. Sedangkan di Samarinda, Isa hanya mempunyai kakak ipar dan satu paman. Selebihnya, semua ada di kampung halamannya.

Tidak hanya rasa rindu dengan keluarganya yang tidak terbendung, pandemi ini juga sedikit memberatkan finansial keluarga kecil Isa. Apalagi saat ini istrinya sedang mengandung dan sedang mempersiapkan kelahiran anak pertamanya sehingga membutuhkan lebih banyak biaya lagi.

“Kalau untuk makan aja, ada dari gaji perusahaan masih cukup untuk makan. Tapi lebihnya untuk nabung itu agak susah juga. Ditambah lagi kan harganya gak tentu, kadang naik juga. Jadi ngebuat agak nge-press pengeluaran. Istriku mau lahiran, jadi awalnya yang ada tabungan jadinya berkurang buat lahiran,” ujarnya, Jumat (22/5).

Di tengah terancamnya sejumlah masyarakat akan kehilangan mata pencaharian imbas virus corona, beruntunglah Isa masih bekerja di salah satu perusahaan yang memiliki kerja sama dengan Bank Indonesia. Tugasnya di perusahaan tersebut adalah melakukan survei harga bahan pokok di pasar dan pedagang-pedagang besar.

Pekerjaan ini juga melibatkan survei kepada konsumen. Ini untuk mengetahui pandangan masyarakat tentang kondisi ekonomi terkini, enam bulan sebelumnya, dan enam bulan di masa yang akan datang. Ini mengharuskan dirinya turun langsung ke masyarakat untuk mendapatkan data konsumen.

Karena kondisi pandemi yang membatasi interaksi antar individu, saat ini Isa melakukan survei melalui telepon untuk mendapatkan data responden. Selain itu, ia juga membantu kegiatan pesantren yang pernah menjadi tempat tinggalnya. Seperti melakukan pembagian sembako dan membagikan selebaran dari pesantren.

Isa menceritakan sedikit mengenai dirinya yang kini menginjakkan kaki di Program Studi (Prodi) Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) kepada Sketsa. Mulanya, ia sempat mengenyam pendidikan setelah tamat SMA di Bandung namun tak diteruskannya. Kemudian, Isa diajak oleh gurunya untuk merantau ke Samarinda. Sang guru memberikan rekomendasi sebab sekolah yang ada di sana berkaitan dengan pesantren yang di Samarinda.

Orang tuanya sendiri pada awalnya berat untuk melepas kepergiannya karena dirasa terlalu jauh. Atas tekad kuat dan sedikit nekat serta ingin meringankan beban orang tua, Isa memutuskan untuk mengenyam pendidikan tinggi di Samarinda.

"Lagian aku dapat beasiswa di sini jadinya sayang juga kan. Daripada di Bandung, kuliah harus bayar sendiri. Sudah nanya-nanya juga katanya Unmul ini bagus, jadi mending ke Kalimantan aja,” kenangnya.

Kuliah Sastra Inggris ternyata tidak semudah yang ia bayangkan sebelumnya. Isa mengira kuliahnya akan lancar seperti ketika ia masih kursus Bahasa Jepang di Bandung, yaitu hanya mempelajari bahasa asing dari dasar. Ia merasa bingung saat awal perkuliahannya di tahun 2015. Karena terlanjur mengambilnya, Isa tetap berniat menyelesaikan kuliahnya. Mau tak mau, Isa harus harus meluangkan lebih banyak waktunya untuk belajar dan mengejar ketertinggalan.

Isa juga bernostalgia mengenai pengalamannya ketika baru menginjakkan kaki di Kaltim. Ia mengaku mengalami culture shock karena ada beberapa hal yang sangat berbeda dari daerah asalnya. Misalnya suasana perkotaan Samarinda yang berbeda dengan suasana kampung halamannya di Garut.

Ia bercerita, orang-orang di kampungnya cenderung bekerja sama untuk membuat sesuatu daripada membelinya. Sangat terbalik dengan kultur di Samarinda yang cenderung lebih memilih untuk membeli sesuatu daripada membuatnya.

Selain itu, gaya berbicara yang ada di Samarinda juga membuatnya sedikit mengalami culture shock. Isa menyebutkan, saat di Garut orang-orang berbicara dengan lembut dan menaikkan sedikit nada bicara akan dianggap tidak sopan. Namun di sini, menaikkan nada bicara adalah hal yang dianggap sangat wajar. Adapun beberapa kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari juga membuatnya sempat kebingungan.


“Contohnya ‘kayak apa pang?’ terus tiap pertanyaan ditambah ‘kah’ diakhirnya. Kemudian ada beberapa kata yang sama tapi artinya beda. Orang sini bilangnya ‘bujuran’ kan itu ‘beneran’. Tapi kalau di tempatku, ‘bujur’ itu sesuatu hal yang tabu dan mestinya gak diomongin. Itu yang membuat aku kaget waktu pertama kali kesini,” kenangnya.

Di sisi lain, Isa juga menyampaikan keluh kesahnya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Ia mengemukakan soal skripsinya yang terhambat karena sulitnya untuk menentukan jadwal konsul kepada dosen pembimbingnya. Hal ini dikarenakan ada beberapa dosen pembimbingnya yang menginginkan untuk bertemu langsung sedangkan Unmul sendiri melarang untuk pertemuan tatap muka selama pandemi masih berlangsung.

Ia juga menyayangkan sikap kurang ramah dari staf akademik fakultasnya dalam keadaan ini. Ia mengalami kesulitan untuk mengurus persyaratan beasiswa.

“Kemarin aku mau ngurus persyaratan beasiswa, tapi agak susah. Untuk akademik, tolong mudahkan mahasiswanya buat ngurus persyaratan supaya dapat beasiswanya. Semacam aku kemarin, mau minta surat aktif kuliah dan transkrip kok ada omongan ‘saya gak mau kalau satu orang.’ Masa kita harus nyari orang yang butuh transkrip, sementara yang butuh kita aja,” ungkapnya.

Mengenai masa pandemi, ia berpesan kepada masyarakat untuk tidak bersikap egois dan bertindak bodoh selama virus corona masih menyerang. Menurutnya, situasi saat ini bukanlah hal yang main-main tetapi sebagian besar masyarakat malah mengabaikan imbauan pemerintah.

Ia berharap, pemerintah lebih bersikap mengayomi, melindungi dan membantu masyarakat yang terdampak virus corona dan bukannya fokus ke masalah-masalah lain yang tidak terlalu penting. (pil/wuu/ycp/len)



Kolom Komentar

Share this article