Sosok

Amran Sulaiman Pejuang Integritas Pangan

Sumber gambar: jakartagreater.com

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Namanya mungkin kalah terkenal dari beberapa rekannya sesama menteri di Kabinet Kerja Jokowi. Tidak senyentrik Susi Pudjiastuti atau kurang bikin sensasi seperti Yasonna Laoly. Mungkin bidangnya juga dianggap  adem ayem atau masyarakat malah sudah kadung malas membahasnya.

Masalah petani, siapa yang peduli? Masyarakat lebih senang dengar kapal diledakkan, proyek besar nan mentereng MRT (Mass Rapid Transit) di Jakarta, atau lebih riuh pro kontra masalah penghapusan kolom agama di KTP. Pertanian, sekali lagi siapa peduli? 

Ya, dialah Andi Amran Sulaiman Menteri pertanian (Mentan) periode 2014-2019, pertama dari Indonesia timur. Ia adalah salah satu menteri yang dipilih Jokowi dari kalangan professional, non partai. Menjadi seorang menteri tentu pengalaman baru buatnya. Tak jarang yang underestimate dan menganggapnya tidak mampu. Tapi prinsipnya, spirit itu lebih tinggi dari kemampuan. Dengan semangat luar biasa dan kerja keras, ia buktikan dua tahun masa kerjanya sudah memberikan hasil optimal. 

“Baru saja kami rilis survey dari kementerian, tingkat kepuasan petani kita 72,9 persen. Pak Presiden tanya, kok petani puas Pak Menteri? Gimana bisa memuaskan petani? Beri ruang mereka bela mereka, Pak!” cerita Amran saat mengisi kuliah umum di depan mahasiswa Unmul pada (11/10) lalu.

Di bawah kepemimpinannya, ia bertekad untuk menekan nilai impor pangan Indonesia hingga 0 persen. Usahanya demikian bukan tanpa alasan. Indonesia harus dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Kedaulatan pangan adalah masalah integritas. Amran menyebut nilai impor pangan Indonesia sudah menurun hingga 56,3 persen dan pihaknya optimis untuk terus mengecilkan angka tersebut. Tahun ini, kementerian juga berhasil menekan impor jagung hingga 8 ribu ton dari 4 juta ton rencana awal. 

“Bawang kita sudah ekspor, tidak impor. Insha Allah tahun depan cabai, beras, kita tidak impor lagi,” tekad pria asal Sulawesi Selatan itu.

Bahkan ia juga bertekad mengatasi selundupan beras yang selama ini lancar lalu lalang lewat perbatasan. “Tanam padi di perbatasan 10 ribu hektar, kita diperbatasan lempar saja sudah ekspor. Apa traktor aku kirim benih aku kirim, gratis,” perintahnya kepada pemerintah daerah di perbatasan Batam-Singapura. Kini sudah dibuka lahan pertanian 300 hektar di kawasan tersebut.

Mengatasi masalah impor pangan, diakuinya bukan hal mudah. Ia harus melawan mafia impor yang selama ini diuntungkan dari proses masuknya barang luar negeri ke Indonesia. 

”Yang berat bukan tanam jagung, bukan tanam padi. Yang berat adalah melawan saudara sendiri,” keluhnya menghadapi para importir.

Keseriusan Amran soal masalah pangan membuatnya merancang target besar, tahun 2045 bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan, Indonesia harus menjadi lumbung pangan dunia. 

“Kalau kita berpikir bisa, bilang bisa, pasti bisa. Kalau bilang enggak akan bisa swasembada, sampai kiamat juga enggak bisa!” katanya meyakinkan.

Perihal kedatangannya ke Kalimantan Timur (11-12/10), selain memberikan kuliah umum kepada mahasiswa Unmul, adalah untuk rapat koordinasi dengan seluruh Kepala Dinas (Kadis) Pertanian se-Kalimantan demi menyukseskan program swasembada pangan yang diwacanakan tahun depan tersebut. Amran yang terlahir miskin dan memiliki 11 saudara sudah terbiasa menghadapi kerasnya hidup. Dulu ia harus menjual batu untuk makan. Kini dirinya menjadi seorang menteri, perjuangannya lebih berat lagi. 

”Ini tarsan dari hutan begitu naik dia lupa turun sebelum selesaikan persoalan pangan. Ikhlaskan kami bekerja untuk republik ini,” pesannya pada masyarakat Indonesia.

Perjuangan Amran untuk memerdekakan pangan Indonesia membuat kita teringat akan pesan Bapak Republik. “Soal pangan adalah soal hidup atau mati” (Soekarno, 1952). (krv/e2) 



Kolom Komentar

Share this article