Resensi

Sokola Rimba: Sebuah Renungan Atas Arah Pembangunan Hari Ini

Sokola Rimba: Sebuah Renungan Atas Arah Pembangunan Hari Ini

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Tribunnewswiki.com

SKETSA – Sekolah rimba yang didirikan Butet Manurung bukan tanpa alasan, atau sekadar terlihat keren dalam aksi kerelawanan. Butet yang awalnya terlibat dalam lembaga non-pemerintah bernama Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, mengajar baca tulis hitung masyarakat adat di pedalaman Jambi. Tak mudah mendekati kelompok masyarakat adat, butuh adaptasi cepat seperti meniru cara berpakaian, penggunaan bahasa, serta budaya mereka agar diterima.

Kisah inspiratif yang diadaptasi dari buku ini, tertuang dalam film berjudul Sokola Rimba besutan produser Riri Riza dan Mira Lesmana sebagai sutradara. Meskipun film ini diproduksi sudah sejak 2013, namun nilai-nilai yang dibangun dalam film ini masih lekat terhubung, menjadi permasalahan yang tak kunjung usai tentang arah pembangunan Indonesia sebenarnya. Khususnya pada tataran pendidikan.

Tokoh Butet yang diperankan oleh Prisia Nasution harus didampingi oleh banyak kru, baik dari tim internal maupun lokal saat proses syuting berlangsung. Film ini juga lebih memilih masyarakat adat langsung sebagai aktor, dibandingkan mencari pemeran yang dirasa lebih mumpuni. Latar dan pakaian yang dipakai pun khas masyarakat adat Jambi, atau disebut Orang Rimba yang bermukim di Taman Nasional Bukit Duabelas. Sebab itu film ini di awal terasa seperti film dokumenter. Meski demikian, narasi yang dibangun film ini tak melakukan improvisasi berlebihan.

Kisah diawali saat Butet yang hendak mengajar seperti biasa dan berjalan jauh menuju masyarakat adat bagian hulu. Namun, kondisinya yang tak stabil membuat ia pingsan di tengah hutan, sampai akhirnya diselamatkan oleh Bungo. Seorang anak hilir yang belum terpapar ilmu pengetahuan, tetapi selalu penasaran tentang hal tersebut. Hingga akhirnya Bungo mengantar Butet pada kelompok Orang Rimba hulu.

Saat bangun, anak hulu menceritakan siapa yang membawanya ke sini. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Butet selalu bertanya-tanya siapa nama anak itu. Suatu hari, Bungo mengintip di kejauhan, tercermin jelas di wajahnya bahwa ia juga ingin menimba ilmu. Beindah dan Nengkabau, sepasang anak yang dekat sekali dengan Butet ini pun menghampirinya. Lalu, perkenalan dimulai.

Butet hendak mendatangi Orang Rimba di Hilir, ingin menjangkau lebih komunitas yang akan ia ajarkan baca tulis. Kedatangan Butet ditemani dengan Beindah dan Nengkabau, awalnya disambut baik. Bungo senang dan sempat bercerita soal surat perjanjian alih lahan yang ingin sekali diketahuinya dengan membaca. Namun, ibu Bungo marah sebab kepercayaan bahwa pensil (alat tulis) akan membawa penyakit. Ilmu pengetahuan dapat mendatangkan malapetaka. Butet akhirnya kembali ke komunitas Orang Rimba hulu.

Setelahnya, Butet mendapat jalan untuk mengajar di rumah rantauan Jawa Tengah, yang sering disinggahi Orang Rimba hilir dan Bungo ada di dalamnya. Hari demi hari dihabiskan anak-anak rimba dengan belajar bersama ibu guru Butet, begitu dia akrab disapa. Bungo yang dilematis sebab di satu sisi ingin belajar, di sisi lain tumbuh besar menjadi anak dari komunitas adat. Mau tak mau harus menyisihkan waktunya untuk berjalan dari hilir menuju pemukiman ramai penduduk untuk dapat membaca, menulis, dan berhitung.

Suatu waktu, Bungo dipaksa pulang sebab kepercayaan adat itu benar dialami kelompoknya. Salah satu orang meninggal dan mereka harus nomaden mencari tempat tinggal baru sampai duka itu hilang. Kecamuk yang dirasakan Bungo juga menjadi titik balik untuk Butet. Sebab, petaka dari ilmu pengetahuan itu memang ada, kesedihan yang dirasakan Butet dari mengajar menjadi salah satunya.

Butet mengundurkan diri dari KKI dan rehat ke ibu kota. Setelah mendapat motivasi dari sang Ibu, ia berniat mendirikan sekolah rimba, yang dalam bahasa Orang Rimba disebut “Sokola Rimba”. Inisiatifnya itu didanai. Akhirnya, film ditutup dengan perjumpaan Butet dengan Orang Rimba di pondok Sokola Rimba. Selain itu, Bungo kini sudah mampu membacakan surat perjanjian saat ingin ‘dikibuli’ oleh pebisnis sawit, agar mereka mau melepas tanah adatnya.

Film ini setidaknya memperlihatkan kita wajah pembangunan sejak dulu hingga sekarang yang agaknya tak kunjung progresif. Masyarakat adat masih dianggap terbelakang dan miskin, dengan segala standarisasi yang mungkin tak pernah disepakati dan diiyakan oleh masyarakat adat. Lantaran masyarakat adat sudah ‘kaya’ lewat orientasi komunal mereka, bukan laba seperti kita masyarakat urban.

Cerminan lain yang disuguhkan film ini terpancar ketika masyarakat adat harus menghadapi kegiatan pembukaan lahan sawit. Satu sisi masyarakat adat telah diatur dalam Undang-Undang (UU), di sisi lain pemberdayaan atas masyarakat adat belum dimaksimalkan. Selain itu, pendidikan masih menemukan ketimpangannya.

Bagaimana, tertarik menonton film Sokola Rimba yang menyuguhkan alur cerita ciamik, dan merupakan kisah nyata ini untuk menemani puasamu? (rst/fzn)



Kolom Komentar

Share this article