Meditasi Fantasi dalam "Frieren: Beyond Journey’s End"
Frieren tawarkan refleksi emosional tentang waktu, kehilangan, dan arti kebersamaan
- 17 Apr 2025
- Komentar
- 215 Kali

Sumber Gambar: X @Anime_Frieren
SKETSA – Diadaptasi dari manga karya Kanehito Yamada dan Tsukasa Abe, anime “Frieren: Beyond Journey's End" tayang pada periode fall, 2023 lalu. Anime bergenre fantasi dan petualangan ini diproduksi oleh studio ternama Madhouse dan disutradarai oleh Keiichiro Saito. Serial yang terdiri dari total 28 episode ini memberi ruang yang cukup untuk pengembangan cerita dan karakter secara mendalam.
Prestasi "Frieren" secara global juga tak kalah mengesankan. Anime ini berhasil menduduki peringkat pertama di situs komunitas anime terbesar dunia, MyAnimeList, dengan skor 9.31/10, menggantikan posisi legendaris "Fullmetal Alchemist: Brotherhood" yang selama bertahun-tahun tak tergeser dari posisi puncak. Pencapaian ini menjadi bukti apresiasi besar dari para penonton terhadap kualitas narasi, kedalaman emosional, dan gaya visual yang ditawarkan.
Dalam lautan anime bergenre fantasi yang biasanya diwarnai pertarungan epik dan misi penyelamatan dunia, “Frieren” hadir sebagai oase yang tenang dan menyentuh. Anime ini tidak hanya berbeda dalam cara bercerita, tetapi juga dalam pesan yang disampaikan. Kisah di dalamnya membawa penonton merenungkan waktu, kehilangan, dan pentingnya menghargai momen yang seringkali dianggap remeh.
Alih-alih bercerita tentang perjuangan mengalahkan kejahatan, anime ini dimulai dari akhir bahagia perjuangan para pahlawan. Setelah berkelana bersama tiga sahabatnya, Himmel, Heiter, dan Eisen, untuk mengalahkan Raja Iblis, Frieren, sang penyihir elf yang telah kembali melanjutkan hidupnya yang panjang.
Namun, karena perbedaan rentang usia antara dirinya dan rekan-rekan manusianya, ia harus menghadapi kenyataan bahwa waktu yang singkat bagi manusia ternyata sangat berharga dan tak tergantikan.
Ketika ia kembali setelah 50 tahun, sahabat terdekatnya, Himmel, telah menjadi tua dan meninggal. Kehilangan itu bukan hanya kejutan emosional bagi Frieren, tetapi juga awal dari perjalanan kontemplatif untuk memahami makna hubungan dan waktu.
Anime ini memperlakukan waktu sebagai entitas yang tidak netral. Bagi manusia, waktu sangat terbatas dan tak bisa diulang. Tapi bagi Frieren, elf yang bisa hidup ribuan tahun, waktu adalah sesuatu yang awalnya ia pandang biasa saja.
Konflik emosional inilah yang menjadi dasar dari perkembangan karakter dan cerita. Frieren perlahan menyadari bahwa kenangan-kenangan kecil seperti obrolan ringan, hadiah ulang tahun, dan bunga liar yang dipetik bersama menjadi lebih berharga daripada pertarungan besar atau pencapaian heroik. Hal ini mengingatkan penonton bahwa kebersamaan sehari-hari pun bisa menjadi kenangan paling mendalam jika disadari betapa cepatnya waktu berlalu.
Dalam satu adegan, Frieren bertanya pada Fern, "Mengapa manusia begitu terburu-buru?". Jawaban Fern, "Karena kita tidak punya waktu untuk disia-siakan," menjadi titik balik yang menyadarkan Frieren dan penonton tentang betapa berharganya hidup yang singkat.
Meski bergenre fantasi, anime ini mengedepankan pendekatan humanistik dalam penggambaran karakternya. Hubungan Frieren dengan Fern dan Stark, dua rekan barunya dalam petualangan, berkembang bukan lewat pertarungan, melainkan percakapan, kerja sama, dan kebersamaan dalam aktivitas sederhana. Melalui proses inilah Frieren belajar menjadi lebih peduli, lebih hadir, dan lebih manusiawi.
Salah satu kutipan ikonik dari anime ini adalah ketika Heiter berkata, "Karena Himmel sang pahlawan akan melakukan hal yang sama". Kalimat ini diucapkan saat Heiter menjelaskan kepada Frieren mengapa dia memilih menyelamatkan Fern, yang selanjutnya selalu dikatakan Frieren ketika melakukan kebaikan.
Pernyataan itu bukan hanya sebuah alasan pribadi, melainkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai yang ditanamkan oleh Himmel. Tindakan baik dan kepedulian terhadap orang lain dijadikan warisan moral yang terus hidup dalam keputusan dan tindakan karakter-karakter setelahnya. Himmel, meski telah tiada, tetap menjadi simbol keberanian, ketulusan, dan kepemimpinan.
Tokoh antagonis pun tidak digambarkan secara hitam putih. Para iblis dalam cerita ini justru mencerminkan pertanyaan filosofis tentang makna hidup, kematian, dan obsesi terhadap kekuatan. Ini menambah kedalaman pada konflik yang muncul dan menjadikan anime ini lebih dari sekadar hiburan.
Dengan alur yang perlahan dan suasana melankolis, Frieren mengajak penonton untuk menikmati setiap adegan secara penuh. Keindahan lanskap, transisi musim, dan momen-momen sunyi tidak disajikan sebagai pengisi waktu, melainkan sebagai bagian dari pengalaman emosional yang utuh.
Visual pastel dan musik latar yang lembut memperkuat suasana kontemplatif tersebut. Bahkan, ekspresi wajah Frieren yang minimalis bisa menyampaikan perkembangan emosional yang signifikan, dari sosok yang dingin menjadi pribadi yang hangat dan penuh empati.
Meski berada dalam dunia magis, pesan utama anime ini sangat manusiawi. Hidup ini singkat, dan hubungan antar manusia adalah hal paling berharga yang kita miliki. Dalam budaya Jepang, hal ini selaras dengan konsep "mono no aware", yaitu kesadaran akan kefanaan yang indah. Namun pesan tersebut juga sangat universal, menyentuh siapa pun yang pernah merasakan kehilangan, penyesalan, atau nostalgia.
"Frieren: Beyond Journey’s End" bukan sekadar anime fantasi, melainkan karya sastra visual yang mengajak kita semua untuk berhenti sejenak dan bertanya, apakah kita benar-benar telah hadir sepenuhnya dalam kehidupan orang-orang yang kita cintai.
“Frieren” membuktikan bahwa anime fantasi tidak perlu mengandalkan plot twist atau aksi spektakuler untuk meninggalkan kesan. Dengan fokus pada kedalaman emosi, keindahan momen sederhana, dan eksplorasi waktu sebagai tema sentral, karya ini berhasil menciptakan pengalaman menonton yang transformatif.
Anime ini mengajak penonton untuk berhenti sejenak, merenung, dan menghargai setiap detik bersama orang-orang tercinta sebelum semuanya menjadi kenangan yang harus ditangisi. (zwg/myy)