Resensi

Selamat Pagi, Malam

Flyer Selamat Pagi, Malam (foto: int)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Film tersebut berusaha membongkar dengan pelan bagaimana Jakarta yang saat ini sedang diperangi oleh krisis identitas dengan kian hilangnya budaya. Menyajikan kritik sarkastik sangat dewasa dengan penceritaan melankolis.

Sebuah film indie yang disutradarai oleh Lucky Kuswandi itu berkisah tentang wajah berbeda Jakarta sesaat setelah matahari terbenam. Malam yang mengantarkan kita pada tiga tokoh wanita berbeda usia maupun kelas sosial, namun sama-sama mencurahkan sepenggal kisahnya pada sebuah hotel bernama Lone Star, hotel mesum di salah satu sudut Jakarta. Lucunya, film ini memperlihatkan bagaimana Jakarta menjadi sebuah kota yang lebih jujur, justru pada malam hari.

Ada Indri (Ina Panggabean) si penjaga handuk di sebuah tempat gym, yang ingin mencicipi rasanya menjadi kaum kelas atas Jakarta. Kesempatan itu datang ketika ada seorang laki-laki kaya raya bernama Davit (Paul Agusta) yang dikenalnya melalui chatting BBM, mengajaknya untuk makan malam di sebuah restoran mahal, lalu bermaksud menidurinya. Malangnya, Indri justru kecewa. Davit berbeda jauh dengan profil picture yang digunakannya saat chatting mesra.

Indri terpaksa lari, sambil dicaci Davit habis-habisan. Ketika bingung dalam perjalanannya, Indri bertemu Faisal (Trisa Triandesa), yang merupakan pelayan restoran yang sempat melayaninya kala menunggu kedatangan Davit. Pertemuan Indri dan Faisal berakhir di Lone Star, setelah Indri merelakan keperawanannya pada Faisal sebagai kado ulang tahunnya.

Kisah beralih ke sosok wanita paruh baya bernama Cik Surya (Dayu Wijanto). Seorang ibu-ibu etnis Tionghoa yang aslinya bernama Sarah. Namun kesehariannya dipanggil Cik Surya, yang merupakan nama suaminya. Kebahagiaan rumah tangga Cik Surya tak berlangsung lama. Ia harus rela menerima kenyataan pahit bahwa suaminya terlibat perselingkuhan dengan seorang biduan bernama Sofia (Dira Sugandi) yang bekerja di sebuah tempat hiburan malam.

Cik Surya dengan penuh dendam pada suaminya, memutuskan kabur dari rumah dan menemui Sofia. Sembari menunggu, Cik Surya yang tampil tak biasa dengan mengenakan gaun ala pengunjung bar kebanyakan, diberi minuman keras oleh salah satu pelayan (Aming). Cik Surya pun mabuk. Secara tak sadar ia berjoget ke tengah lantai dan menggoda suami Sofia yang berprofesi sebagai gigolo. Cik Surya sampai rela membayar ratusan ribu untuk bisa tidur dengan gigolo itu demi membalaskan dendam.

Kisah berlanjut pada romantisme sepasang lesbian yang diperankan apik oleh Adinia Wirasti sebagai Gia dan Marissa Anita sebagai Naomi. Gia dan Naomi sama-sama berkuliah di New York, Amerika Serikat. Namun, Naomi lebih dulu kembali ke Indonesia. Sedangkan Gia baru pulang dan berada di Indonesia selama beberapa hari. Mereka akhirnya bertemu di sebuah restoran.

Gia terkejut dengan kondisi Jakarta sekarang yang menurutnya sangat berbeda dengan Jakarta yang dulu, sebelum ia tinggalkan. Jakarta dilihatnya sebagai kota dengan penduduk yang ketergantungan smartphone dan aplikasi social media yang bahkan tidak dimilikinya, sekalipun ia lama tinggal di negara maju yang modern. Gia lebih kaget ketika mengetahui Naomi juga telah berubah. Naomi bakal menikah, karena Jakarta tidak memberi tempat bagi hubungan sejenis. Lone Star, menjadi tempat mereka melepas rindu, bercengkerama hingga pagi tiba.

Melalui ketiga karakter yang saling terhubung oleh malam Jakarta tersebut, Lucky Kuswandi menuturkan kisah sambil bercanda tapi mengena pada sasaran. Cerita yang diangkat dalam film ini memang bukan lagi bisa dibilang baru, termasuk menyelipkan tema berulang tentang pelacuran, perselingkuhan. Oleh Lucky, film ini tak ingin hanya berbungkus klise apalagi layaknya iklan layanan masyarakat yang sarat akan pesan moral. Selamat Pagi, Malam lebih cerdas dan memberikan kejujuran dengan gambar apa adanya. Tidak menampilkan sudut Jakarta yang berbohong agar komersil.

Selama menonton film ini, kita dibuat seolah sedang berjalan menyusuri Jakarta pada malam hari. Adegan dibuat sederhana tanpa konflik yang didramatisir layaknya film drama umumnya. Dialog-dialognya pun tidak terdengar sok cerdas, bahkan cenderung meledek, polos, nakal, dan lucu.

Selamat Pagi, Malam juga mengkritik agama secara visual dan dialog. Agama dijelaskan sebagai pusat pengendali kehidupan dan penentu wajar tidaknya seseorang. Ini tergambar ketika Naomi berkata kepada Gia “There’s no place for us” karena cinta mereka yang tidak akan pernah terwujud di Jakarta sebagaimana di New York.

Akhir film ini nampak sengaja dibuat menggantung, membebaskan penonton untuk menarik kesimpulannya sendiri-sendiri. Film ditutup dengan lagu “Pergi untuk Kembali” karya Minggoes Tahitoe yang dipopulerkan kembali oleh Ello. Lagu itu dinyanyikan oleh Sofia saat adzan subuh berkumandang, dengan nada balada begitu menyentuh namun memberi kesan pedih secara tersirat.

oleh: Amelia Rizky Yunianty



Kolom Komentar

Share this article