Resensi

Representasi Budaya Cancel Culture di Media Sosial dalam Budi Pekerti

Kehancuran hidup seorang guru dan keluarganya di film Budi Pekerti

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Cinema 21

SKETSA — Budi Pekerti yang rilis pada Kamis (2/11) lalu menjadi film panjang kedua yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja setelah sebelumnya sukses dengan film bertajuk Penyalin Cahaya (2021). 

Pada karya keduanya, Wregas Bhanuteja menyajikan sebuah film yang sangat kental akan kritik sosial. Jika sebelumnya ia mengangkat isu pelecehan seksual, kali ini, dalam Budi Pekerti, Wregas menyuguhkan isu yang saat ini cukup hangat dan dekat dengan kehidupan kita saat ini. Ya! cancel culture

Film ini menceritakan tentang Bu Prani (Sha Ine Febriyanti), seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di sebuah SMP Yogyakarta yang memiliki cara untuk mendidik muridnya yang bermasalah dengan kegiatan kreatif yang ia beri nama sebagai ‘Refleksi’. 

Di sela kesibukannya, Bu Prani harus merawat suaminya, Pak Didit (Dwi Sasono) yang mengalami bipolar setelah kegagalannya dalam menjalankan berbagai macam jenis usaha. 

Berkat keberhasilannya dalam mendidik anak muridnya, Bu Prani mendapatkan kesempatan untuk naik jabatan menjadi Wakil Kepala Sekolah selanjutnya, dengan harapan mendapat kenaikan gaji dan mampu membiayai pengobatan suaminya. 

Namun, masalah dan konflik dari keseluruhan cerita ini dimulai ketika perdebatan Bu Prani dengan seorang pelanggan yang menyerobot antrian belanja kue putu direkam dan tersebar di internet. 

Potongan video yang menampilkan Bu Prani pergi dengan mengumpat menjadi ramai dan viral di mana-mana. Video yang bahkan tidak sampai satu menit itu berhasil mengobrak-abrik kehidupan Bu Prani beserta keluarganya dalam waktu yang sangat singkat. 

Percobaan Bu Prani untuk meluruskan dan menceritakan kejadian sesungguhnya, ketika ia sebenarnya tidak mengumpat, tetapi menyebut “Ah, suwi” yang memiliki arti “Ah, lama” dalam bahasa Jawa. Kata tersebut memang sekilas terdengar seperti penyebutan kata “asu” yang berarti “anjing”. Namun, bukannya mereda, hal itu justru menimbulkan masalah-masalah baru, hingga Bu Prani harus merelakan pekerjaannya sebagai guru dan pindah ke tempat baru.

Hal yang menjadi sorotan dari film ini adalah budaya cancel culture yang mulai merebak, khususnya di dunia internet yang kini menjadi segalanya. Cancel culture memiliki arti yang sama dengan boikot. Kondisi tersebut terjadi ketika warganet beramai-ramai mencap atau menjatuhkan seseorang di ranah media sosial atas kejahatan atau masalah yang ditimbulkan.

Hidup Bu Prani yang sebelumnya mengalami kesulitan karena kesehatan mental suaminya, ditambah dengan latar film yang mengambil situasi pandemi Covid-19 menjadi semakin parah setelah dirinya viral dan dihujat sana-sini oleh para warganet atas segala pemberitaan negatif tentang dirinya.

Efek dari cancel culture menimbulkan reaksi berantai lalu menyebar layaknya api. Segala aspek kehidupan Bu Prani ikut berantakan akibat masalah yang terus menerus muncul yang dipicu oleh sebuah video berdurasi 20 detik. 

Video tersebut menyebar hingga kedua anak-anaknya ikut menjadi target bulan-bulanan warganet, seperti Muklas (Angga Yunanda) yang dikenal sebagai Tiktoker dengan konten utama self-healing yang karirnya harus hancur karena membantu meluruskan dan membersihkan nama ibunya yang terlanjur jelek. 

Tita (Prilly Latuconsina) pun ikut merasakan imbas ketika dirinya harus meninggalkan usaha thrift shop miliknya dan kehilangan posisi di bandnya karena alasan yang sama, yakni berupaya untuk membersihkan nama ibunya.

Apa yang membuat cancel culture menjadi senjata berbahaya adalah bagaimana mudahnya perspektif warganet dapat diubah dan dimainkan oleh media-media yang tidak bertanggung jawab. Mereka mampu memutarbalikkan fakta yang ada hingga membawakan berita yang menyimpang dan jauh dari realita sebenarnya.

Ketika video marah-marah Bu Prani yang menjadi bahan bercandaan netizen dibuat menjadi meme hingga remix DJ, hal itu semakin memperkeruh keadaan setelah pengakuan murid terdahulunya, Gora (Omara Esteghlal) yang menerima refleksi darinya berupa menggali kubur setelah ketahuan berkelahi dengan niat membuat Gora lebih menghargai makna kehidupan. Pengakuan ini sebenarnya bertujuan untuk membuka mata para warganet bahwa didikan Bu Prani berhasil membuatnya sadar dan tidak mengulangi kesalahannya. 

Namun, media berita tempat Gora bekerja memanfaatkan video tersebut dan membuatnya seakan-akan menjadi korban atas didikan yang salah dan berujung merusak kesehatan mentalnya. Pandangan warganet seketika berubah, dari yang awalnya mulai mendukung, malah balik menentang  Bu Prani sebab cara mendidiknya yang dianggap membahayakan. 

Film ini membawa emosi penontonnya seperti naik roller coaster, ketika semua dirasa mulai membaik, dengan cepat masalah baru yang lebih parah dari sebelumnya datang dan membombardir kehidupan Bu Prani. 

Hal yang menarik dari film ini adalah bagaimana akhir dari cerita ini. Kasus yang berawal dari video viral itu tidak benar-benar selesai. Nama Bu Prani sudah terlanjur rusak. Siapa yang menyebarkan video tersebut pertama kali bahkan tidak ditemukan hingga film berakhir. 

Luka dan tekanan yang diterima keluarga Bu Prani sudah terlalu berat dan sulit untuk diselesaikan. Di penghujung cerita, diperlihatkan bahwa mereka mengangkut barang dan memilih untuk pindah ke tempat baru dan memulai semuanya dari awal. 

Akhir yang sulit disebut sebagai happy ending, menjadi penyegar di antara banyaknya film dengan akhir dan konklusi yang membahagiakan untuk tokoh utama. Bagaimana nasib keluarga Bu Prani selanjutnya diserahkan kepada penonton dengan berbagai perspektif.

Film ini menampilkan realitas dari dunia media sosial kita. Banyaknya kasus viral yang memiliki akhir tidak baik, tak jarang malah menambah masalah baru, karena warganet cenderung melihat permasalahan dari satu sudut pandang atau melihat permasalahan hanya dari permukaan saja. 

Reaksi yang cenderung latah tanpa adanya riset dalam menanggapi sebuah isu juga menjadi sebab sebuah kasus yang semakin berlarut tanpa akhir yang pasti. Selain itu, seringkali warganet mengiyakan pendapat dari orang-orang berpengaruh dan menganggapnya sebagai kebenaran yang mutlak, tanpa mengetahui apakah pendapat tersebut didasari oleh fakta yang benar atau tidak.

Selain masalah cancel culture dan the power of netizen yang mampu merubah hidup seseorang dengan mudah, film ini juga ingin mengkritisi dunia pendidikan Indonesia. Banyak sekolah-sekolah yang berusaha sedemikian rupa untuk menjaga nama baik mereka agar tidak kehilangan calon pendaftar. Hal ini digambarkan dalam film Budi Pekerti ketika pihak sekolah yang memaksa Bu Prani membuat klarifikasi agar sekolah mereka tidak ikut terseret masalah tersebut. 

Alih-alih membantu menyelesaikan masalah, pihak sekolah seakan memilih untuk menutup mata dan memerintah Bu Prani untuk meminta maaf saja tanpa mengusut kasus tersebut secara mendalam. 

Akting dari para pemeran tokoh dalam film ini sangatlah apik, apalagi pemeran para tokoh utama yang namanya sudah sangat dikenal di kalangan sinefil. Membuat karakter yang mereka perankan terasa begitu dekat dengan penonton. Sebagai sebuah film drama dengan berbagai adegan dramatis yang mengundang kesedihan, scoring dalam Budi Pekerti terdengar tidak berlebihan dan lebih memanfaatkan suara ambience sehingga terkesan lebih natural.

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu juga dengan Budi Pekerti.  Beberapa permasalahan yang diterima Bu Prani terkadang terasa dilebih-lebihkan untuk menambah penderitaan sang tokoh dan terkesan hanya menambah durasi. 

Akhir dari cerita ini pun bisa menjadi sebuah kekurangan, tergantung bagaimana selera setiap penonton. Sebagian orang mungkin menyukai ending yang berbeda dari kebanyakan film pada umumnya, sementara penonton lainnya juga ada yang tidak menyukai jenis ending yang digunakan dalam Budi Pekerti yang tidak memberikan konklusi dengan jelas dari konflik yang dialami tokoh utama dan bersifat open-ending.

Masih banyak hal menarik yang bisa dibahas dari film ini yang rasanya sulit untuk dirangkum keseluruhannya dalam bentuk tulisan. Film ini akan terasa lebih nikmat jika menontonnya dari awal sampai akhir sembari berkaca pada dunia internet saat ini yang pergerakannya kadang terlalu cepat. 

Budi Pekerti juga menjadi sebuah pengingat bahwa ucapan itu lebih tajam dari pisau. Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu dialog dari film ini yang cukup membekas di benak sejak menonton film ini,

“Kalau dunia lagi berisik, tutup telinga sebentar saja.” (zrt/dre)



Kolom Komentar

Share this article